Find Us On Social Media :

[ARSIP] Mereka Yang Mengelabui Penjajah Untuk Menyiarkan Sejarah

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 11 Agustus 2024 | 09:32 WIB

Momen proklamasi kemerdekaan RI tak hanya milik Sukarno dan Hatta, tapi juga milik mereka yang berjuang dalam senyap menyebarkan kabar bahagia tersebut.

Berbekal sepucuk pistol, Radja Tjut Rachman, Rahadi Usman, dan Ridwan segera memenuhi tugas berat itu. Rencana mereka rapi dan memang sudah diatur secara canggih. Sebelumnya telah dilakukan hubungan dengan karyawan yang bekerja di Gedung Radio tersebut.

Soalnya, pada saat itu Gedung Radio masih berada di bawah kekuasaan Jepang dan dijaga ketat oleh kempetai. Layaknya sebuah adegan film, dengan kepiawaian yang mengagumkan mereka berhasil memasuki ruang operator radio tepat seperempat jam menjelang pukul 10.00. Rentang waktu yang tinggal 15 menit lagi itu mereka rasakan sebagai menunggu bertahun-tahun.

Seorang Jepang tiba-tiba datang menghampiri mereka di kabin siaran. Terjadi keributan kecil di antara mereka. Lantas seorang pemuda lain berlari memberitahu mereka bahwa usaha menyerobot stasiun radio telah gagal dan kepergok Jepang. Pemuda itu menambahkan bahwa mobil lapis baja yang berisi penuh kempetai sudah menunggu di luar.

Proklamasi kemerdekaan RI itu akhirnya gagal disiarkan langsung pada Jumat pagi yang bersejarah itu. Usaha menyelundupkan naskah proklamasi oleh sejumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran yang bermarkas di Jl. Prapatan 10 gagal total.

Trik mengelabui Jepang

Barulah di sini berkembang beberapa versi. Sejarah mencatat Sjahruddin, salah seorang wartawan Kantor Berita Domei, berhasil menyelundupkan naskah proklamasi ke studio, dia disebutkan masuk dengan cara memanjat tembok belakang pada saat Jepang lengah. Penyusupan ini dilakukan selepas magrib, tepat pukul 18.30.

Setengah jam berikutnya yang terkesan dramatis, yakni tepat pukul 19.00, berita itu dapat disiarkan oleh Mohammad Jusuf Ronodipuro. Dia dibantu oleh Suprapto dan Bachtar Lubis, penyiar seksi luar negeri. Yang disebut terakhir, adalah kakak dan Mochtar “Wartawan Jihad” Lubis. Ronodipuro membacakan naskah dalam bahasa Indonesia, sementara Suprapto beraksi dalam bahasa Inggris.

Konon siaran ini dapat mengudara dari studio dan kamar kontrol seksi siaran luar negeri yang selama tiga hari sudah tidak dipakai. Cara cerdik yang mereka gunakan untuk mengelabui Jepang dengan memutar lagu-lagu dari piringan hitam di studio dan kamar kontrol yang sedang mengadakan siaran. Lagu-lagu itu tidak disalurkan ke pemancar, melainkan melalui pengeras suara dalam studio. Jepang sama sekali tidak menduga di dalam studio justru berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sedang disiarkan.

Siaran ini akhirnya tertangkap Jepang. Pukul 22.00 datang beberapa perwira kempetai ke studio, menciduk Jusuf Ronodipuro dan Bachtar Lubis. Keduanya disiksa habis-habisan, sementara Suprapto dapat melarikan diri.

Entah apa jadinya kalau seorang Jepang bernama Tomobachi yang dikenal punya hubungan baik dengan Indonesia tidak segera datang ke studio. Bisa jadi dua pejuang yang cerdik dan pemberani itu sudah menjadi makanan empuk samurai mereka. Karena campur tangan Tomobachi itulah akhirnya keduanya luput dari maut.

Versi lain menyebutkan, pada malam harinya siaran proklamasi dapat dilakukan baik melalui pemancar Hosokanrikyoku untuk pemberitaan dalam negeri, maupun lewat Taigaihosobu, pemancar militer Jepang yang ditujukan ke luar negeri. Dari kalangan pegawai radio ada beberapa anggota yang menamakan diri Barisan Pelopor Istimewa semisal Sukasmo, Marjono, Sastrohardjo, dan K. Sastrowijoto.

Mereka memang sejak lama dikenal sebagai orang yang anti-Jepang baik dari bagian penyiar, operator, telegraf, maupun stenografi. Mereka inilah yang mempunyai hubungan dekat dengan Dr. Abdulrachman Saleh, seorang dosen di Ika Dai Gaku yang sangat menguasai seluk-beluk teknik radio sampai ke akar-akarnya.

Regu Dajjal yang gagal dalam operasinya itu kemudian mendapat tugas baru, yakni menyiapkan sukarelawan untuk menyebarkan selebaran proklamasi kemerdekaan yang distensil di Kantor Berita Domei. Mereka berteriak sepanjang jalan, "Indonesia Merdeka!" sambil tak lupa menyebarkan pamflet-pamflet tersebut. Kali ini operasi mereka berhasil.

Reaksi luar negeri

Surabaya Hosokyoku memantau berita proklamasi dari buletin Harian Suara Rakyat yang dikirimkan ke studio pada hari itu juga. Tapi kepergok Jepang yang langsung menyitanya. Studio diawasi ketat. Barulah pada malam harinya radio Surabaya dapat menyiarkan berita itu dalam bahasa Madura! Bandung Hosokyoku terlambat satu hari.

Stasiun radio itu baru dapat menyiarkan pada keesokan harinya, yakni tanggal 18 Agustus 1945. Penyiar Sakti Alamsyah menyiarkan berita proklamasi dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Siaran diulangi satu jam berikutnya dan kini malah dapat disiarkan langsung ke luar negeri melalui gelombang pendek berkat bantuan kawan-kawan dari Pos, Telepon, dan Telegraf (PTT).

Konon Semarang Hosokyoku satu-satunya stasiun yang dapat menyiarkan berita proklamasi pada hari itu juga. Seperti biasa, pada hari Jumat radio Semarang menyiarkan acara salat Jumat dari masjid agung kota tersebut. Penduduk mendadak terkejut. Sebab ketika siaran dimulai, bukan azan atau khotbah yang berkumandang, melainkan pembacaan naskah proklamasi!

Ini bisa terjadi karena Kantor Berita Domei pusat di Jakarta menyiarkan naskah tersebut secara luas lewat berita kawat sebelumnya, ke dalam maupun luar negeri, meski sebenarnya harus melalui sensor yang ketat. Berita ini selain disiarkan lewat kawat, juga disiarkan oleh staf Indonesia melalui telepon dan telegraf.

Jadi semacam susu instan yang bisa larut seketika, berita proklamasi dalam sekejap bisa menjalar ke mana-mana. Ada usaha Jepang untuk menyiarkan berita susulan yang dimaksudkan sebagai pembatalan atau katakanlah berita bantahan. Namun arus berita sudah "mengalir sedemikian dahsyatnya, tidak mungkin dapat dicegah hanya oleh beberapa helai jerami saja.

Peranan radio memang terbukti ampuh dalam penyebaran berita tentang proklamasi kemerdekaan RI. Baik masyarakat dalam maupun luar negeri tersadar dibuatnya. Radio dalam hal ini telah memainkan peranan penting sebagai aktor sejarah. Khusus untuk tercapainya berita proklamasi ke luar negeri, ada beberapa kelompok yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Mereka yang jarang atau tidak pernah disebut-sebut ternyata merupakan aktor yang tidak kecil peranannya dalam panggung sejarah proklamasi kemerdekaan RI. Masih banyak lainnya yang bahkan tidak pernah disebut-sebut. Yang jelas, mereka tidak menuntut apa-apa, selain menuntut tanah air Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan, terbebas dari terali kolonialisasi.

Merdeka!