Find Us On Social Media :

[ARSIP] Ketika Cahaya Keris Berhasil Menyilaukan Mata Dunia Pada 2005

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 3 Agustus 2024 | 15:32 WIB

Keris menyengat dunia. Karya adiluhung leluhur ini diakui dunia sebagai karya agung bangsa Indonesia. Keris diakui UNESCO pada 2005.

"Sebenarnya, hal itu sudah terjadi sejak dulu kala, sebab apresiasi mereka lebih peka terhadap benda seni yang bermakna," timpal Haryono. Hal itu ditunjang oleh pendidikan, daya beli, dan informasi yang mereka miliki. Mereka memang lebih "maju".

Ayah dua putri kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, tahun 1932, ini mengeluh, kita memang "kecolongan". Sebab, kaum terpelajar kita tak berminat pada keris. Bahkan para priyayi dan pemuka masyarakat tak sedikit yang menjauhi keris, karena salah persepsi yang selama ini terjadi, yakni keris dicitrakan sebagai benda keramat yang lekat dengan dunia gaib.

Dia akui, keris-keris berkualitas mengalir ke luar negeri semenjak zaman Belanda. Para pemegang kekuasaan pada waktu itu hanya membiarkan saja. Bahkan, pihak keraton menjadikan keris sebagai cinderamata yang diberikan pada tamu agung, sebagai tanda persahabatan yang erat. Syukurlah, yang diberikan bukan keris pusaka, hanya duplikatnya. Atau, keris baru yang mutu materialnya tinggi, antara lain emas, berlian, dan permatanya asli semua, cuma bilahnya tergolong muda.

Namun, tentunya, orang-orang asing yang jeli akan memburu langsung pada pemiliknya. "Mereka menyadari kondisi keuangan si empunya keris," sesal Haryono. Dia menyayangkan terjadinya hal itu. Keris Mataram berusia sekitar 300 tahun, padahal keris zaman itu tak bisa lagi dikopi. Artinya, kita tak bisa lagi membuat yang lebih baik dari itu.

Sejak satu abad lalu, pada zaman Belanda, sama sekali tak ada larangan atau kendala apa pun, karena jumlahnya masih ribuan, hampir setiap keluarga memiliki keris. Aliran terkuat tentulah menuju Belanda dan Inggris, mantan penjajah kita. Keris diangkut ke negeri mereka, sebab siapa bisa melarang.

Museum di Belanda, Inggris, Perancis, Austria, Rusia, dan Jerman juga banyak terdapat keris, karena bangsa mereka berminat sekali pada budaya logam. Tanpa hubungan politik pun mereka bisa mendapatkan keris-keris bagus. Akan tiba saatnya, jika ingin mempelajari atau menikmati keris berkualitas buatan leluhur sendiri, terpaksalah kita datang ke museum luar negeri.

Tak lagi tak peduli

Bukannya tak ada upaya mencegah, Haryono sendiri sering diminta Direktorat Bea dan Cukai untuk menyeleksi keris lama dan baru yang boleh dikirim ke luar negeri. Keris tua di atas 50 tahun (sesuai Undang-undang Cagar Budaya) dilarang diekspor. Yang diperbolehkan hanyalah keris-keris buatan baru, untuk memberi lapangan kerja bagi perajin keris di sini.

Pengiriman keris itu biasanya dilakukan oleh artshop di Yogyakarta. Solo, dan Bali. Namun, "Tanpa disadari mereka juga menjual keris berusia di atas 50 tahun. Tidak ada unsur kesengajaan, semata karena mereka tidak tahu cara menilai keris," tambah Haryono.

Yang amat membuatnya prihatin, justru sikap bangsa kita sendiri, yang menganggap keris hanyalah barang antik yang tak bisa bicara apa-apa di masa milenium ini. Seharusnya, terutama generasi muda, wajib berbangga hati memiliki mata budaya yang sejajar dengan budaya bangsa-bangsa besar di dunia lain. "Ini penting untuk pembentukan karakter bangsa!" tandas mantan ajudan terakhir Bung Karno ini.

Tak bisa dipungkiri, sampai saat ini kebangsaan atas pengakuan masyarakat dunia itu hanyalah--mungkin--bergema di kalangan komunitas perkerisan. Gaungnya belum menyentuh masyarakat yang lebih luas.

Komunitas itu sendiri berkembang lambat dalam eksklusivitas. Hanya berkutat sekitar segelintir pecinta keris. Sarasehan yang diadakan lebih merupakan pendalaman pemahaman perkerisan. Mereka yang awam, jeri (bimbang) untuk ikut serta, karena pembahasannya sudah advanced. Barangkali perlu dipikirkan untuk melibatkan masyarakat awam dalam diskusi ringan untuk sekadar menumbuhkan apresiasi.