Penulis
[ARSIP]
Di saat korupsi menajisi harga diri bangsa, tiba-tiba keris menyengat dunia. Karya adiluhung leluhur ini diakui dunia sebagai karya agung bangsa Indonesia. Keris diakui UNESCO pada 2005.
Penulis: Haryono Haryoguritno untuk Intisari April 2006
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Bibir berusia 74 tahun (tahun 2006) itu tersenyum. Tangannya bersedekap. Menatap keris itu berdiri anggun di atas warangkanya, mensiratkan intensitas empu pembuatnya yang hidup lebih dari 300 tahun lalu.
Senyum Pak Tua itu kembali mengembang, lebih lebar, lebih lama. Kabar di bulan November 2005 itu sungguh membanggakan. Keris, karya adiluhung para leluhur, telah diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) sebagai warisan budaya oral dan nonbendawi manusia. Kabar itu menyejukkan hatinya, yang telah lebih 40 tahun mencintai keris.
Berarti, dunia telah mengakui keris sebagai karya agung bangsa Indonesia. Hancurlah harapan negara tetangga kita yang sebelumnya kasak-kusuk ingin mengakui keris sebagai karya bangsanya. Padahal, mereka mengenal keris baru abad ke-13.
Memang, tak ada yang mampu menandingi teknik tempa keris, termasuk pedang arab, pisau iran, bahkan pedang turki sekalipun. Pamor mereka hasil sinarasah (ukir). Sedang pamor keris hasil penempaan, sehingga seolah pamor "tumbuh" dari dalam bilahnya.
Senyum kepuasan di wajah lr. Haryono Haryoguritno, si empunya bibir 74 tahun yang dikelilingi kumis dan jenggot memutih itu, seolah katup pelepas kelegaan. Sejak ditemukan pertama kali di Jawa pada abad ke-6, tak ada upaya pihak mana pun untuk mengangkat derajatnya sebagai warisan budaya leluhur. Padahal, budaya keris telah merambah ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand Selatan, Kamboja (pesisir), dan Filipina Selatan melalui ekspansi kerajaan Singasari dan Majapahit.
Bukan senjata pembunuh
Kualitas seni sebilah keris sudah terlihat sejak sebelum dicabut dari warangkanya. Bahan yang digunakan pada sarung wadahnya (pendok) ada yang terbuat dari emas murni (atau perak, kuningan, tembaga) dihias ukiran lembut ditaburi intan, berlian, atau batu permata lainnya.
Sedangkan gagang keris (ukiran) juga beragam bentuknya. Ada yang mengambil sosok stilasi manusia, binatang, dan Iain-lain. Bahannya bisa terbuat dari kayu, atau gading, tanduk, tulang binatang, gigi ikan, juga logam.
Dengan tekstur diukir halus dan lembut, tak jarang dihiasi pula dengan batu permata. Tekstur warna pada kayu warangka dengan pola sesuai gambaran serat kayunya tentu saja indah. Terbuat dari kayu, gading, tanduk kerbau, bahkan fosil binatang purba, warangka bisa memperlihatkan status ekonomi sang pemilik. Apalagi dipadupadankan dengan cincin keris (mendak) yang selain dihiasi batu zircon, pada keris kelas atas malah terbuat dari emas murni bertatahkan berlian (selut) yang harganya mencapai puluhan juta rupiah. Mewah!
Begitu keris dicabut dari warangka, lalu diangkat sedikit di atas wajah, maka dalam posisi itu akan tampak gaya irama bentuk dan kesan perwatakan sang keris (pasikutan). Bilahnya yang benar-benar lurus bak ular bertapa, atau lekuknya (luk) meliuk indah bak ular berjalan, dengan presisi jarak antarlekuknya tak jarang mengundang decak kagum. Padahal, ketika dibuat ratusan tahun lalu. sang empu hanya mengandalkan intuisi. Sebagai perlambang lingga (simbol kelamin jantan), bilah keris ini seolah "menyatu" dengan yoni (simbol kelamin betina) di bagian alas bilah (ganja).
Bentuk atau tipe keris itu biasa disebut dhapur. Dalam manuskrip Sejarah Empu, Pangeran Wijil menuliskan pakem dhapur lurus ada 40 macam, luk (lekuk) tiga (13 macam), luk sebelas (10 macam), luk tiga belas (11 macam), luk lima belas (6 macam), luk tujuh belas (2 macam), luk sembilan belas hingga luk dua puluh sembilan (2 macam), sedang luk tiga puluh lima hanya ada semacam.
Yang paling mengagumkan adalah keindahan ornamen pada bilah keris (pamor) yang seakan tumbuh dari dalam bilah. Motif hiasan itu timbul dengan sendirinya akibat proses penempaan, dan bukan karena diukir, apalagi melapisi bilah keris dengan bahan logam lain.
Para empu leluhur membuat keris memang bukan semata sebagai senjata fisik, melainkan senjata batiniah. Kelajaman dan runcingnya keris memiliki makna filosofis sebagai perlambang ketajaman hati pemiliknya. Keris adalah benda pusaka yang mempunyai kedudukan tinggi, jauh lebih tinggi daripada sekadar alat pembunuh (Bambang Harsrinuksmo. Javakeris.com).
Harus seizin Allah
Walau terkesan rumit dan menuntut intensitas tinggi membuat keris tak luput dari hubungan transendental dengan Yang Mahakuasa. Sebelum, selama, dan saat mengakhiri pembuatan keris, seorang empu tak pernah lepas dari upacara ritual memohon keberkahan-Nya.Di tahap akhir, jika tak diizinkan-Nya, proses pembuatan keris selama berbulan-bulan itu akan gagal total.
Diawali dengan memanasi besi bahan seberat 18 kg hingga merah membara lalu ditempa berulang-ulang hingga bentuknya memanjang dan beratnya menyusut tinggal 7 - 9 kg. Kemudian besi ditekuk hingga berbentuk huruf U, lalu diselipi bahan pamor (batu meteorit), ditempa, ditekuk lagi, ditempa lagi, terus begitu, sedikitnya 24 kali tempaan hingga besi dan pamor menyatu. Beratnya tinggal 4 kg. Lalu dipotong lagi sama panjang, direkatkan dengan menyelipkan baja di tengahnya, diikat kawat, lalu dipanasi lagi, ditempa lagi, terus berulang-ulang.
Proses pemanasan itu tak boleh melewati 1.300"C agar tetap heterogen. Jadi, unsur besi, baja, dan pamor telap terpisah. "Jika mencapai 1.500°C, maka besi akan melewati fase cair, jadi bersifat homogen, kehilangan serat-seratnya, terang Haryono.
Namun, di tahap akhir keris yang sudah dibentuk, baik lurus maupun berluk, lalu dipanaskan hingga membara (650 - 750°C), kemudian tiba-tiba dicelupkan ke bambu besar berisi air dengan ramuan tertentu. Di sinilah sang empu meningkatkan ritual doa, minta izin Allah. Sebab, kalau gagal, maka bilah keris itu akan meleyot, tak ada gunanya lagi.
Ketika membuat keris klasik tangguh Sedayu, Empu Djeno Harumbrodjo dari Yogyakarta membutuhkan besi 15 kg, besi pamor 1,5 kg, dan baja 0,5 kg. Dia melakukan pemanasan, penempaan dan pelipatan sebanyak 4.098 lipatan, sehingga bahan 17 kg itu tinggal beberapa ratus gram saja. Dia membutuhkan waktu enam bulan untuk menyempurnakan keris itu dengan kandungan spiritual.
Mendahului negara maju
Kebun Raya Bogor, Laboratorium Treub. Menurut almarhum Bambang Harsrinuksmo, penulis Ensiklopedi Keris, di sini pernah diteliti kandungan batu pamor Prambanan, yakni batu meteor yang jatuh di sekitar Candi Prambanan pertengahan abad ke-18 dan kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Ternyata, batu itu mengandung besi 49,38%, nikel 4,70%, dan fosfor 0,53%. Namun, penelitian di zaman penjajahan itu hanya mengandalkan analisis kimiawi.
Penelitian lain dilakukan tahun 1960-an, oleh Dr. Frankle, sarjana nuklir UCLA, Los Angeles. Sembari menjadi dosen bantu di Universitas Gadjah Mada, ia lakukan analisis kimia dan fisika atas beberapa potongan keris lama. Sayang, penelitian dihentikan akibat gejolak politik anti-AS saat itu.
Yang paling spektakuler dilakukan oleh tiga sarjana fisika nuklir Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Yogyakarta, yakni Haryono Arumbinang, M.Sc, Dr. Sudyartomo Suntono, dan Dr. Hadi Susanto.
Penelitian di tahun 1983 dengan peralatan modern itu dilakukan terhadap delapan bilah keris, lima tombak, dan sebilah pedang tua, yang ditaruh bergantian di atas tabung nitrogen cair. Terhadap masing-masing ujung bilah, tengah, dan pangkalnya, ditembakkan sinar gamma. Susunan atom di bagian-bagian keris itu akan memancarkan sinar X, yang dipantau detektor silicum-lithium (Sili), yang hasilnya kemudian dianalisis dengan spektrometer atau analisator pulsa tinggi, dilengkapi komputer. Hasil berupa spektrum tampak pada layar oksiloskop yang dilengkapi kamera polaroid. Ternyata, bahan pamor pada tosan aji itu mengandung titanium.
Penelitian dikembangkan ke batu pamor. Sekeping batu pamor Prambanan mengandung kapur, titanium, besi. zirkonium, dan niobium. Akan tetapi tak terdapat nikel.
Hal ini menggugurkan pendapat para peneliti Barat bahwa pamor keris selalu mengandung nikel. Agaknya, nikel hanya terdapat pada keris yang tergolong muda. Berbeda dengan keris-kens tua, dari zaman Mataram misalnya, yang dipastikan mengandung titanium. Lagi pula, titanium tak mungkin bisa dideteksi melalui analisis kimiawi.
Betapa para empu kita ratusan tahun lalu telah memanfaatkan teknologi masa kini, dengan menggunakan titanium, yakni unsur logam yang amat keras, tahan karat, tahan panas, berwarna putih mengkilat keperakan (Ensiklopedi Keris). Karena titik didihnya teramat tinggi, maka kandungan titanium batu meteor yang jatuh ke Bumi masih tersisa cukup banyak.
Kini titanium dipakai sebagai bahan pelapis peluru kendali antarbenua, roket luar angkasa, dan berbagai perlengkapan wahana angkasa luar. Padahal, keris leluhur kita telah mendahuluinya berabad-abad sebelumnya.
Mengalir ke luar negeri
Pengakuan dunia internasional dikhawatirkan akan menyedot datangnya orang asing pemburu keris, yang karena modalnya kuat bukan tak mungkin akan memperderas mengalirnya keris berkualitas ke luar negeri.
"Sebenarnya, hal itu sudah terjadi sejak dulu kala, sebab apresiasi mereka lebih peka terhadap benda seni yang bermakna," timpal Haryono. Hal itu ditunjang oleh pendidikan, daya beli, dan informasi yang mereka miliki. Mereka memang lebih "maju".
Ayah dua putri kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, tahun 1932, ini mengeluh, kita memang "kecolongan". Sebab, kaum terpelajar kita tak berminat pada keris. Bahkan para priyayi dan pemuka masyarakat tak sedikit yang menjauhi keris, karena salah persepsi yang selama ini terjadi, yakni keris dicitrakan sebagai benda keramat yang lekat dengan dunia gaib.
Dia akui, keris-keris berkualitas mengalir ke luar negeri semenjak zaman Belanda. Para pemegang kekuasaan pada waktu itu hanya membiarkan saja. Bahkan, pihak keraton menjadikan keris sebagai cinderamata yang diberikan pada tamu agung, sebagai tanda persahabatan yang erat. Syukurlah, yang diberikan bukan keris pusaka, hanya duplikatnya. Atau, keris baru yang mutu materialnya tinggi, antara lain emas, berlian, dan permatanya asli semua, cuma bilahnya tergolong muda.
Namun, tentunya, orang-orang asing yang jeli akan memburu langsung pada pemiliknya. "Mereka menyadari kondisi keuangan si empunya keris," sesal Haryono. Dia menyayangkan terjadinya hal itu. Keris Mataram berusia sekitar 300 tahun, padahal keris zaman itu tak bisa lagi dikopi. Artinya, kita tak bisa lagi membuat yang lebih baik dari itu.
Sejak satu abad lalu, pada zaman Belanda, sama sekali tak ada larangan atau kendala apa pun, karena jumlahnya masih ribuan, hampir setiap keluarga memiliki keris. Aliran terkuat tentulah menuju Belanda dan Inggris, mantan penjajah kita. Keris diangkut ke negeri mereka, sebab siapa bisa melarang.
Museum di Belanda, Inggris, Perancis, Austria, Rusia, dan Jerman juga banyak terdapat keris, karena bangsa mereka berminat sekali pada budaya logam. Tanpa hubungan politik pun mereka bisa mendapatkan keris-keris bagus. Akan tiba saatnya, jika ingin mempelajari atau menikmati keris berkualitas buatan leluhur sendiri, terpaksalah kita datang ke museum luar negeri.
Tak lagi tak peduli
Bukannya tak ada upaya mencegah, Haryono sendiri sering diminta Direktorat Bea dan Cukai untuk menyeleksi keris lama dan baru yang boleh dikirim ke luar negeri. Keris tua di atas 50 tahun (sesuai Undang-undang Cagar Budaya) dilarang diekspor. Yang diperbolehkan hanyalah keris-keris buatan baru, untuk memberi lapangan kerja bagi perajin keris di sini.
Pengiriman keris itu biasanya dilakukan oleh artshop di Yogyakarta. Solo, dan Bali. Namun, "Tanpa disadari mereka juga menjual keris berusia di atas 50 tahun. Tidak ada unsur kesengajaan, semata karena mereka tidak tahu cara menilai keris," tambah Haryono.
Yang amat membuatnya prihatin, justru sikap bangsa kita sendiri, yang menganggap keris hanyalah barang antik yang tak bisa bicara apa-apa di masa milenium ini. Seharusnya, terutama generasi muda, wajib berbangga hati memiliki mata budaya yang sejajar dengan budaya bangsa-bangsa besar di dunia lain. "Ini penting untuk pembentukan karakter bangsa!" tandas mantan ajudan terakhir Bung Karno ini.
Tak bisa dipungkiri, sampai saat ini kebangsaan atas pengakuan masyarakat dunia itu hanyalah--mungkin--bergema di kalangan komunitas perkerisan. Gaungnya belum menyentuh masyarakat yang lebih luas.
Komunitas itu sendiri berkembang lambat dalam eksklusivitas. Hanya berkutat sekitar segelintir pecinta keris. Sarasehan yang diadakan lebih merupakan pendalaman pemahaman perkerisan. Mereka yang awam, jeri (bimbang) untuk ikut serta, karena pembahasannya sudah advanced. Barangkali perlu dipikirkan untuk melibatkan masyarakat awam dalam diskusi ringan untuk sekadar menumbuhkan apresiasi.
Setidaknya, terkikislah anggapan bahwa keris memiliki aura magis yang bisa mencelakakan atau sekadar benda antik yang keramat. Dengan demikian, kalangan awam memiliki tolok ukur lebih sederhana dalam menilai keris. Mungkin dari sisi estetikanya, sejarahnya, atau entah apa. Diharapkan, mereka mulai peduli akan keberadaan keris.
Di antara dua paradigma
Namun, mengapa sikap masyarakat terhadap mendua? Di satu sisi ada yang mengaku bangga memiliki keris. Di lain sisi tak sedikit yang menghujat keris.
Haryono melihat ada dua kutub ekstrem yang menghambat diakuinya keris sebagai warisan budaya. Pertama, adanya segolongan orang yang mengagungkan keris secara berlebihan. Sebagai reaksi atas sikap ekstrem itu, ada lagi sikap ekstrem sebaliknya yang menganggap keris itu musyrik, bertentangan dengan kaidah agama. Kedua-duanya merugikan dunia perkerisan.
Dia menganggap, harus ada upaya melakukan pendekatan kepada kedua pendapat ekstrem itu. Barangkali ini porsi pemerintah. Ada baiknya diberikan penilaian objektif terhadap keris, misalnya tentang teknik penempaan pamornya yang memiliki tingkatan tercanggih di dunia. "Yang mengakui ini justru negara-negara yang maju di bidang teknologi," tandas insinyur mesin lulusan ITB 1961 ini.
Yang paling menyesakkan adalah eksploitasi legenda keris-keris "sakti" dalam cerita rakyat yang diangkat ke layar lebar atau layar kaca. Hal ini ikut memperparah keadaan. Di sisi lain, kepercayaan berlebihan terhadap keris justru membuka peluang terjadinya praktik penipuan dan pemalsuan. "Tak sedikit korban yang telah mengalaminya," geram penerima Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI (1995) ini.
Sebaliknya, "Sikap apriori terhadap keris adalah 'bunuh diri budaya' yang halus tak terasa. Tak urung, mempercepat punahnya budaya jati diri manusia Indonesia," bergetar suara penyandang gelar "Manusia Dwija" dari Yayasan Pendidikan Kesenian Surabaya ini.
Secercah harapan
Harapan membernas di Jogja. Tanggal 10 - 12 Maret 2006 Departemen Budaya & Pariwisata (Depbudpar), menggelar syukuran atas diakuinya keris sebagai karya agung bangsa Indonesia, di Benteng Vredeburg. Selain seminar dan sarasehan antarinsan perkerisan se-Jawa-Bali, diadakan pula pameran keris yang menyedot perhatian kalangan awam.
Tak berhenti sampai di situ. Terbentuknya perhimpunan perkerisan nasional juga sangat diharapkan. Dengan berhimpun dalam suatu organisasi, para pecinta keris seluruh Nusantara bisa memperjuangkan bersama diakuinya ilmu perkerisan (krisologi), sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru. Seperti dikatakan Haryono, "Krisologi bukan ilmu yang berdiri sendiri, melainkan didukung dan berinteraksi dengan antropologi, sosiologi, metalurgi, arkeologi, dan sebagainya."
Langkah strategis pembentukan organisasi perkerisan ini dimaksudkan untuk menyatukan semangat dalam melaksanakan Plan of Action yang diajukan Haryono kepada UNESCO sebagai tindak lanjut turunnya pengakuan internasional itu.
Namun, sebagai garis bawah atas "kebangkitan" ini adalah terbitnya buku Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar hasil kontemplasi Ir. Haryono Haryoguritno, IPM selama berpuluh tahun. Buku setebal 458 halaman ini merupakan bahasan paling lengkap mengenai perkerisan, mendampingi Ensiklopedi Keris karya almarhum Bambang Harsrinuksmo yang dikerjakan selama belasan tahun.
Yang lebih menggembirakan lagi, kini di Madura telah banyak anak muda yang magang pada empu setempat. Membuat keris bukan lagi dianggap pekerjaan "susah duit", dibandingkan dengan membuat sabit, clurit, atau cangkul, yang pagi bikin sore jadi duit.
Namun, menurut Haryono, untuk menjadi maestro keris bukan hanya butuh jam terbang, namun juga talenta dan ketekunan. Untunglah, Empu Djeno sudah memiliki pewaris, anaknya sendiri, yaitu Sungkowo Harumbrodjo (50). Dari Solo angin segar juga bertiup, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta memiliki program studi kriya logam, yang memiliki mata kuliah dan kegiatan ekstra perkerisan. "Peminatnya cukup banyak, 20 orang. Bahkan telah menelurkan Basuki, sarjana seni rupa dengan kompetensi dalam bidang perkerisan," jelas Imam Madi, ketua jurusan Seni Rupa STSI (sekarang ISI Surakarta).
Betapa pun, Haryono agak lega. "Dilihat dari kuantitasnya, para empu generasi muda ini bisa menjamin kelestarian pembuatan keris sampai jauh ke depan,” katanya. Bibirnya masih bisa tersenyum lagi. Lebih lebar lagi.