Find Us On Social Media :

Arsip Intisari: Latar Belakang Penjajahan Israel Atas Palestina

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 16 Juli 2024 | 11:34 WIB

Balfour Declaration atau Deklarasi Balfour yang dianggap sebagai pintu masuk pendudukan Israel kepada bangsa Palestina.

[ARSIP INTISARI]

Balfour Declaration yang diterbitkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris disebut sebagai biang kerok pendudukan Israel atas tanah Palestina hingga sekarang ini.

Penulis: Drs Moehkardi untuk Majalah Intisari edisi Maret 1974

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Masalah Palestina atau sengketa Arab-Israel tentang tanah Palestina telah puluhan tahun memenuhi halaman sejarah Timur Tengah. Bangsa Yahudi sebagai bangsa pendatang baru, karena alasan-alasan historis dan religius telah mengklaim Palestina sebagai tanah airnya.

Sedang penduduk Arab Palestina yang sejak berabad-abad mendiami negeri itu mempertahankannya sebagai tanah airnya pula. Masalah Palestina itu bertambah ruwet lagi dengan campur tangannya negara-negara besar yang melibatkan kepentingannya dengan persoalan tersebut.

Agar bisa memahami masalah Palestina ini lebih jelas, perlu kita sekarang selintas pandang membalik-balik lembaran sejarah negeri itu, terutama pada masa-masa satu abad yang lalu.

Sejarah kuno Israel

Menurut kisah kitab-kitab suci umat Yahudi, Kristen maupun Islam, bangsa Arab dan Yahudi itu sesungguhnya adalah sama-sama keturunan Nabi Ibrahim, seorang Nabi yang mereka muliakan bersama. Dari putra Nabi Ibrahim tertua bernama Nabi Ismail, berkembanglah kemudian keturunannya menjadi bangsa Arab yang sejak semula menetap di daerah Jazirah Arabia. Sedangkan dari putra kedua bernama Nabi Ishak, turun ke Nabi Yakub, berkembanglah kemudian keturunannya menjadi bangsa Israel atau bangsa Yahudi.

Sejarah bangsa Israel di Palestina telah dimulai kira-kira sejak abad 14 Sebelum Masehi (SM). Kerajaan Israel yang pertama berkembang di zaman pemerintahan raja Daud, yang membangun kota benteng di atas bukit Zion, yang kemudian dikenal sebagai kota Yerusalem. Kerajaan Israel mencapai puncak kejayaannya di zaman pemerintahan raja Sulaiman (975 — 935 SM), putera Daud.

Di zaman inilah didirikan bangunan suci yang megah di Yerusalem, disebut Baitullah atau Bait Allah atau Haikal Sulaiman, yang kemegahannya selalu dikenang oleh bangsa Yahudi sepanjang zaman.

Sepeninggal Sulaiman kerajaan Israel cepat mundur karena perpecahan, sehingga sejak abad 8 SM, bangsa Israel berturut-turut dan berganti-ganti dijajah oleh bangsa Assyria, Babilonia, Persia, Yunani, dan terakhir bangsa Romawi. Ketika pada 586 SM bangsa Babilonia menyerang Israel, kota Yerusalem dan bangunan Baitullah telah dihancurkannya dan ribuan orang Israel dibuang ke Babilonia sebagai budak.

Di masa penjajahan Romawi, bangsa Israel pernah pula mencoba memberontak di tahun 70 SM, tetapi bisa ditindas dengan kejam oleh Jenderal Vespasianus dan kota Yerusalem untuk kedua kalinya dihancurkan dan dibakar.

Sejak peristiwa itu, banyak orang-orang Yahudi kemudian meninggalkan negeri mereka, dan hidup menetap tersebar di berbagai negeri, sehingga jumlah penduduk Yahudi di Palestina lambat laun menjadi menipis. Sedangkan penduduk Arab yang semula sebagai pendatang kian lama kian bertambah besar.

Arab Palestina

Sebelum agama Islam berkembang di abad 7 M, telah banyak saudagar Arab bermukim di negeri Palestina. Setelah agama Islam berkembang, dan Khalifah Umar pada tahun 637 M berhasil merebut Palestina dari tangan bangsa Romawi, maka sejak itu makin banyaklah orang Arab menetap di Palestina.

Negeri Palestina dengan Yerusalem-nya, memang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan beragama umat Islam. Sebab di kota Yerusalem ini pula terletak salah satu bangunan suci Islam, yaitu Masjid Al-Aqsa atau Baitul Maqdis. Masjid ini merupakan salah satu di antara tiga Masjid utama Islam, dua yang lain adalah masjid Haram di Mekah dan masjid Nabawi di Madinah.

Ketiga masjid itu diutamakan karena sejarah dan kejadian-kejadian yang berlaku di dalam dan di sekitarnya. Di masjid Aqsa inilah dahulu Nabi Muhammad SAW telah memperlihatkan kemukjizatan mi'rajnya. Karena itu oleh umat Islam masjid ini dianggap suci dan menjadi salah satu tempat ziarah yang terkenal. .

Setelah bangsa Arab menetap berabad-abad di Palestina, mereka telah berkembang menjadi penduduk mayoritas atau penduduk pribumi di negeri itu. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang Arab Palestina. Wajarlah kalau mereka ini kemudian menganggap Palestina sudah menjadi negeri dan tanah airnya. Seperti halnya sekarang orang-orang Amerika dan Australia, pendatang di abad 17 M itu, menganggap negeri Amerika dan Australia sebagai negeri dan tanah air mereka.

Waktu Palestina dikuasai oleh Turki (1517 — 1919), mulailah ada orang-orang Yahudi yang kembali menetap di Palestina. Sampai pada tahun 1914, jumlah penduduk Yahudi tersebut baru berjumlah 90.000 orang, di tengah-tengah mayoritas penduduk Arab. Meskipun demikian kedua bangsa itu bisa hidup berdampingan secara damai.

Pertentangan Arab-Yahudi di Palestina baru terjadi kemudian sejak Palestina dikuasai oleh Inggris (1920 — 1948), dan imigran-imigran Yahudi yang baru membanjiri Palestina dengan membawa cita-cita Zionisme, suatu cita-cita yang mengancam hak hidup bangsa Arab Palestina di negeri dan di tanah airnya sendiri.

Zionisme

Proses tersebarnya bangsa Yahudi ke seluruh dunia sebenarnya telah berjalan sejak selesainya masa pembuangan Babilonia di abad 6 SM. Di awal abad 1 M saja, sudah ada 5 juta orang Yahudi yang menetap tersebar di wilayah kerajaan Romawi. Bangsa Yahudi adalah salah satu dari bangsa-bangsa di dunia yang mempunyai kesadaran rasial dan nasional yang amat kuat.

Meskipun negara mereka telah hancur dan berabad-abad menetap di negeri orang, dan bercampur darah dengan anak negeri setempat, mereka masih tetap juga bisa memelihara identitas mereka sebagai orang Yahudi. Hal yang memungkinkannya adalah karena pada mereka ada ikatan keagamaan (agama Yahudi) yang amat kuat, yang di dalamnya terpateri pula kesadaran sejarah nenek moyangnya di masa lampau.

Di mana-mana orang Yahudi biasanya tinggal menyendiri di perkampungan Yahudi yang disebut Ghetto. Umumnya mereka hidup sebagai pedagang, bankir atau rentenir; terkenal rajin, ulet dan hemat (terkenal pelit), sehingga banyak di antara mereka menjadi jutawan. Sifatnya yang demikian itu, ditambah lagi dengan sifatnya yang sukar untuk berasimilasi, menyebabkan di berbagai negeri sering timbul gerakan anti -Yahudi atau anti-Semit dari penduduk negeri setempat; seperti yang pernah terjadi di Rusia tahun 1882, dan di Jerman di masa pemerintahan Adolf Hitler.

Sering timbulnya gerakan anti Semit itulah yang kemudian mendorong lahirnya gerakan Zionisme sedunia. Gerakan ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1896 oleh Dr. Theodore Herzl, seorang Yahudi Hongaria di Paris. Menurut Herzl, satu-satunya obat mujarab untuk menanggulangi anti Semit di dunia adalah, menciptakan suatu tanah air bagi bangsa Yahudi.

Melalui pamfletnya yang berjudul "Der Yuden Staat” ia telah mempropagandakan cita-citanya itu. Pada mulanya Herzl belum menegaskan di mana letak tanah air bangsa Yahudi itu. Disebut-sebutnya mula-mula Argentina dan Palestina. Tetapi dalam kongres kaum Zionis pertama di Basel, Swiss tahun 1897, mereka telah menetapkan Palestina sebagai pilihannya.

Ada yang beranggapan, bahwa pengertian nation bagi umat Yahudi sekarang ini sesungguhnya telah kabur. Begitu juga sulit untuk menyebut umat Yahudi itu sebagai volk atau ras, karena pada mereka tak kedapatan lagi keseragaman watak dan ciri-ciri jasmani. Hal ini diakui pula oleh seorang sosiolog Yahudi terkenal, George Friedman.

Pada garis besarnya sekarang ini ada dua macam orang Yahudi. Orang Yahudi Eropa, berkulit putih, tingkat hidupnya sudah tinggi dan maju, dan dalam segala hal merasa dirinya lebih, dan orang Yahudi dari Afrika dan Asia yang berkulit berwarna, umumnya terbelakang dan miskin. Orang Yahudi-Eropa itulah yang kini mendominasi dan berkuasa di negara Israel.

Di luar kedua golongan itu, masih ada lagi orang Yahudi kaum proselit. Yaitu mereka yang sebenarnya bukan orang Yahudi, tetapi kemudian meng-Yahudikan diri karena mereka memeluk agama Yahudi. Mereka ini banyak terdapat di Asia, Afrika dan di Eropah Timur (Ukraina, Polandia).Dengan pengertian nation yang kabur itulah kini kaum Zionis dengan dalih sejarah keturunan Yakub, menuntut Palestina sebagai tanah air mereka.

Tanpa mereka memikirkan hak bangsa lain, bangsa Arab Palestina yang telah menjadi penduduk pribuminya. Gara-gara politik Inggris di Timur Tengah Waktu Perang Dunia I pecah (1914-1918), di front Timur Tengah, Inggris harus menghadapi kekuatan Turki sebagai lawan utama. Untuk itu Inggris lalu mendekati rakyat Arab di daerah tersebut, untuk diajak bersama-sama melawan Turki.

Dengan janji manis kalau Inggris menang, bangsa Arab akan dibebaskan dari penjajahan Turki dan diberi kemerdekaan. Tetapi sementara itu, tanpa setahu pihak Arab, Inggris pun telah mendekati pula kaum Zionis Yahudi, yang pada saat itu pada umumnya lebih cenderung pro-Jerman.

Terutama orang-orang Yahudi di Amerika Serikat dikhawatirkan akan melambatkan bantuan perang A.S kepada Inggris. Sedang orang-orang Yahudi di Rusia yang berpengaruh besar dalam Partai Komunis (Bolshevik) dikhawatirkan akan bisa mendorong Rusia berdamai sepihak dengan Jerman.

Karena itu ketika kaum Zionis melalui Baron de Rothschild, jutawan Yahudi, berkirim surat kepada Menlu Inggris Balfour, yang berisi permohonan agar Inggris menyatakan simpatinya kepada Zionisme, maka serta-merta pada tanggal 2 November 1917, Balfour telah menjawabnya.

Isi jawaban surat tersebut kemudian dikenal sebagai Balfour Declaration, yang berisi janji Inggris untuk memberikan tempat tinggal nasional di Palestina bagi orang Yahudi di seluruh dunia. Dengan Balfour Declaration inilah sebenarnya pangkal sengketa dan keruwetan di Palestina telah diletakkan.

Di satu pihak Inggris berjanji kepada Arab akan memberi kemerdekaan, jadi termasuk pula Arab Palestina, tetapi di pihak lain Inggris berjanji pula kepada Yahudi akan memberikan Palestina kepada mereka.

Tetapi di pihak lain lagi, secara rahasia Inggris telah pula mengadakan persetujuan dengan Perancis untuk membagi-bagi Timur Tengah bagi mereka berdua. Inggris akan memperoleh Irak dan Palestina, dan Perancis akan memperoleh Lebanon dan Suriah.

Setelah perang berakhir dan persetujuan perdamaian Versailles dirumuskan, Inggris dan Perancis tetap berpegang teguh pada dasar persetujuan mereka tadi. Dengan membawa mandat Liga Bangsa-bangsa, Inggris kemudian memerintah Irak dan Palestina.

Mandat Inggris di Palestina

Setelah Inggris berkuasa di Palestina, maka tindakan pertama yang dilakukan adalah mengangkat Sir Herbert Samuel, seorang keturunan Yahudi, menjadi Komisaris Tinggi Inggris di Palestina. Dengan tindakan tersebut jelas Inggris akan berusaha menepati janjinya kepada pihak Yahudi. Sejak itu pintu Palestina terbuka lebar bagi masuknya imigran Yahudi dari berbagai penjuru Dunia. Akibatnya jumlah imigran Yahudi ke Palestina tiap tahun terus meningkat.

Dari 7000 orang pada tahun 1923, meningkat menjadi 23.800 orang pada tahun 1926 dan pada tahun 1935 bahkan menanjak menjadi 61.854 orang. Bersama dengan mengalirnya imigran itu mengalir pula modal Yahudi ke Palestina, yang mereka tanamkan dalam industri dan tanah-tanah pertanian, dengan memborong tanah-tanah pertanian subur milik petani-petani yang umumnya miskin-miskin.

Menghadapi policy Inggris dan kaum Zionis itu, orang-orang Arab Palestina mula-mula hanya bisa memendam rasa cemas dan gusar. Tetapi ibarat api dalam sekam, rasa terpendam itu makin lama makin berkobar, sehingga akhirnya meledak menjadi suatu pemberontakan. Pemberontakan besar terjadi pada tahun 1936 yang mendapat simpati luas dari dunia Arab.

Untuk meredakan pemberontakan ini, Inggris lalu menawarkan suatu rencana kepada pihak Arab dan Yahudi, untuk membagi negeri Palestina menjadi dua, bagi Arab dan Yahudi. Sedang kota-kota suci Yerusalem, Betlehem dan Nazareth akan tetap dikuasai oleh Inggris.

Tetapi rencana tersebut ditolak oleh pihak Arab, sebab yang mereka tuntut adalah agar Inggris mengakhiri mandatnya di Palestina, dan Palestina menjadi negara merdeka bagi mereka. Pada 1937, pemberontakan berkobar lagi lebih hebat. Inggris menindasnya dengan kekerasan yang meminta korban sampai 6000 orang, 4000 di antara mereka adalah orang Arab.

Sementara itu bahaya Perang Dunia II telah berada di ambang pintu. Di Timur Tengah, pihak Jerman aktif melancarkan propaganda menarik simpati bangsa Arab. Suatu simpati Arab kepada Jerman, bisa berakibat fatal bagi kepentingan Inggris di Timur Tengah, yaitu kepentingan minyaknya dan kepentingan terusan Suez.

Karena itu sejak 1939, Inggris lalu mengubah strategi politiknya di Palestina. Inggris kemudian mendekati pihak Arab dengan mengeluarkan White Paper (Buku Putih) yang isinya lebih menguntungkan pihak Arab.

Buku Putih itu pokok isinya mengandung janji Inggris untuk mendirikan Negara Palestina Merdeka dalam jangka waktu 10 tahun, yang dalam pemerintahannya akan turut bersama orang Arab dan Yahudi. Imigran Yahudi dibatasi hanya 75 ribu orang buat jangka waktu 5 tahun, lalu dihentikan dan penjualan tanah Arab kepada Yahudi dilarang. Rencana itu ditolak oleh pihak Yahudi, sedang pihak Arab sebagai penduduk mayoritas menerimanya, meskipun dengan curiga.

Kecewa dengan White Paper itu, kaum Zionis setelah Perang Dunia II meletus, lalu memalingkan harapannya kepada Amerika Serikat, bukan lagi kepada Inggris. Karena itu selama perang aktivitas kaum Zionis lalu dipusatkan untuk mempengaruhi publik AS. Hasil aktivitas mereka tersebut bisa dilihat ketika pada Februari 1944 ada usul di Kongres, agar AS melakukan intervensi untuk membentuk Commonwealth Yahudi di Palestina.

Meskipun usul tersebut belum diterima, karena alasan-alasan kepentingan strategi militer AS di Timur Tengah saat itu, namun sejak itu sikap pemerintah AS makin bersimpati kepada kaum Zionis. Setelah perang berakhir, AS terang-terangan mendukung kaum Zionis, dan mendesak kepada Inggris supaya 100 ribu imigran Yahudi diperkenankan masuk ke Palestina.

Lahirnya negara Israel

Pengalaman pahit bangsa Yahudi selama perang, di mana diperkirakan 5 juta orang Yahudi telah tewas dibunuh oleh Nazi Jerman, makin menebalkan tekad bangsa Yahudi untuk mewujudkan cita-cita Zionis mereka.

Terjadilah kemudian imigrasi secara besar-besaran ke Palestina, baik secara legal maupun secara ilegal. Kedudukan Inggris serba sulit, dari pihak Yahudi ia dimusuhi, karena Inggris membatasi imigrasi, sedang dari pihak Arab, Inggris pun dibenci pula karena dituduh main mata dengan pihak Yahudi, dengan mengalirnya imigran-imigran gelap tersebut.

Sementara itu sehabis perang organisasi-organisasi gerilya Yahudi makin bertambah kuat dan bertindak makin nekad. Bukan saja penduduk Arab yang menjadi sasaran teror mereka, tetapi pihak Inggris pun jadi sasaran pula.

Situasi di Palestina yang makin mencemaskan itu, akhirnya menyadarkan negara-negara Arab, perlunya mereka bersatu dalam satu front “Liga Arab”. Pada 28 Mei 1946, negara-negara Arab tersebut mengikrarkan suatu sikap bersama, bahwa masalah Palestina, sekarang bukan lagi masalah orang Arab Palestina saja, tetapi kini telah menjadi masalah bagi seluruh bangsa Arab.

Mereka bertekad akan menjaga dan mempertahankan ke-Arab-an Palestina, dan berseru kepada Inggris agar menepati janji White Paper-nya. Berbagai macam konsep kompromis telah diajukan Inggris untuk mempertemukan pendirian pihak Arab dan Yahudi, tetapi sia-sia saja. Inggris akhirnya merasa tak mampu lagi, lalu menyerahkan persoalan Palestina kepada PBB.

PBB kemudian memutuskan untuk membentuk Komisi Istimewa PBB, beranggotakan 10 negara netral yang bertugas untuk merumuskan suatu penyelesaian politik bagi Palestina. Rumusan mayoritas anggota Komisi menghendaki agar dibentuk dua negara yang terpisah di Palestina, negara Arab dan negara Yahudi, sedang kota Yerusalem dinyatakan sebagai kota Internasional di bawah PBB.

Sedang minoritas anggota Komisi (India, Iran, Yugoslavia) menghendaki dibentuknya dua negara berpemerintahan sendiri-sendiri, tetapi tergabung dalam suatu federasi central di bawah satu presiden, satu UUD dan satu kebangsaan.

Negara-negara Arab cenderung untuk menerima rencana yang kedua ini, sedang pihak Yahudi setuju pada rencana yang pertama. Tetapi dalam sidang PBB November 1947, ternyata rencana pertama itulah yang diterima oleh sidang, jadi Palestina diputuskan dibagi menjadi dua negara, negara Arab dan negara Yahudi yang terpisah.

Keputusan PBB tersebut terutama didukung oleh negara-negara besar A.S, Rusia, dan Perancis; Inggris dan 9 negara lainnya blanco; sedang seluruh negara-negara Arab yang berkepentingan serta negara-negara Asia seperti India, Turki, Pakistan, dan Iran menolaknya.

Liga Arab memprotes keras keputusan tersebut dan bertekad akan menggugurkannya. Akibat keputusan PBB itu, suasana di Palestina makin panas, bentrokan bersenjata antara Arab-Yahudi tiap hari mengganas. Sehingga bulan Januari 1948 saja telah jatuh korban sampai 2000 orang di kedua pihak.

Karena merasa kewalahan, Inggris akhirnya memutuskan akan meninggalkan Palestina pada tanggal 14 Mei 1948, lebih cepat dari tanggal yang telah ditetapkan oleh PBB. Ketika pada tanggal 14 Mei 1948, Inggris benar-benar menarik pasukannya dari Palestina, maka hari itu juga Dewan Nasional Yahudi di Tel Aviv memproklamasikan kemerdekaan Israel.

Beberapa jam kemudian A.S memberikan pengakuan de facto, dan kemudian disusul pula oleh pengakuan Rusia, Perancis dan negara-negara barat lainnya.

Perang Arab-Israel

Reaksi negara-negara Arab terhadap proklamasi Israel itu spontan mengangkat senjata dan terus menyerbunya. Pecahlah kemudian Perang Arab-Israel yang imbasnya terus terjadi hingga saat ini. Sebab pokok yang menyebabkan meletusnya perang-perang tersebut karena masalah pokok dari pertikaian Arab-Israel itu belum terpecahkan.

Dewan Keamanan PBB setiap kali memang berhasil menyetop perang-perang tersebut, tetapi ia tak mampu membawa kedua pihak ke akhir penyelesaian politik.

Dari tiga perang Arab-Israel yang pertama, Israel berhasil memperoleh kemenangan dan merebut wilayah-wilayah Arab, baik di wilayah Palestina sendiri maupun di luar wilayah Palestina. Dalam Perang Kilat (130 jam) tahun 1967, pihak Israel bahkan berhasil merebut wilayah Mesir di Sinai, wilayah Yordania di lembah barat S. Yordan, dan wilayah Suriah di dataran tinggi Golan, yang luas keseluruhannya sama dengan 4x seluas wilayah Israel semula.

Meskipun PBB dalam resolusinya No. 242 tahun 1967 telah berseru kepada Israel, agar Israel menarik mundur pasukannya dari wilayah-wilayah yang didudukinya itu, tetapi hingga 1973, Israel tetap tak mau melaksanakannya.

Hal inilah yang menyebabkan Presiden Anwar Sadat dari Mesir pada bulan Oktober 1973 kemudian memilih jalan kekerasan lagi untuk menembus jalan buntu di atas.

Nasib Pengungsi Arab Palestina

Sementara itu kelahiran negara Israel dan perang-perang yang kemudian mengikutinya itu, telah menimbulkan bencana bagi ribuan penduduk Arab Palestina. Teror dan ancaman maut memaksa mereka kemudian meninggalkan kampung halamannya dan tanah airnya, untuk mengungsi menyelamatkan diri ke negara-negara tetangga terdekat seperti Yordania, Suriah, Lebanon, Mesir dan lain-lain.

Jumlah pengungsi Arab Palestina itu tiap tahun terus meningkat. Menurut laporan PBB tahun 1952, jumlah pengungsi Arab-Palestina di Lebanon ada 105.000 orang, di Gaza (waktu itu wilayah Mesir) ada 200.000 orang, dan di Yordania ada 460.000 orang, suatu jumlah yang sama dengan 40% dari penduduk negeri itu sendiri.

Pada 1955, seluruh jumlah pengungsi tersebut telah meningkat menjadi 912.000 orang. Dan setelah terjadinya perang 1967, jumlah tersebut telah menanjak menjadi 1.200.000 orang! Ini berarti separo lebih dari penduduk Arab Palestina kini telah menjadi pengungsi.

Kehidupan orang-orang Arab Palestina dalam pengungsian amat menyedihkan. Mereka harus hidup di tenda-tenda sempit bersama keluarganya dan bahkan bersama binatang-binatang ternaknya. Kesempatan kerja sedikit sekali di pengungsian itu, sehingga sebagian ;besar mereka terpaksa hidup menganggur.

Mereka memperoleh bantuan pangan dari PBB, tetapi jumlahnya terlalu sedikit, sekedar tidak mati kelaparan. Mereka semuanya masih merindukan untuk kembali pulang ke tanah air mereka, ke kampung halaman, dan ke sawah-ladang mereka.

Tetapi untuk itu, mereka tak sudi kalau harus hidup di bawah kekuasaan Israel, yang telah merampas tanah airnya, kemerdekaannya, dan harta miliknya.

Dari bayi-bayi yang dilahirkan dan dibesarkan dalam tenda-tenda pengungsian sejak 1948 itu, kini telah tumbuh menjadi dewasa, menjadi generasi baru Arab Palestina. Generasi baru ini dibesarkan dalam penderitaan dan dalam asuhan orang tua mereka yang memendam dendam kepada Israel.

Di mata mereka mi, Zionisme Israel dipandangnya sebagai sumber dari segala malapetaka dan penderitaan bangsanya. Karena itu bisa dipahami kalau dari generasi baru ini kemudian lahir gerilyawan Palestina yang militan dan fanatik seperti Yasser Arafat, Dr. Habbas, Leila Khaled dan lain-lain.

Mereka berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsa dan tanah air mereka, suatu hal yang wajar. Hanya saja cara-cara mereka berjuang, kadang-kadang ada yang terlalu ekstrem, sehingga tidak bisa diterima oleh opini dunia.

Namun demikian, masalah Palestina dan perdamaian di kawasan itu, kiranya tak mungkin bisa dipecahkan, selama hak-hak dan nasib bangsa Arab Palestina tersebut belum diperlakukan secara adil.