Find Us On Social Media :

Arsip Intisari: Latar Belakang Penjajahan Israel Atas Palestina

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 16 Juli 2024 | 11:34 WIB

Balfour Declaration atau Deklarasi Balfour yang dianggap sebagai pintu masuk pendudukan Israel kepada bangsa Palestina.

Isi jawaban surat tersebut kemudian dikenal sebagai Balfour Declaration, yang berisi janji Inggris untuk memberikan tempat tinggal nasional di Palestina bagi orang Yahudi di seluruh dunia. Dengan Balfour Declaration inilah sebenarnya pangkal sengketa dan keruwetan di Palestina telah diletakkan.

Di satu pihak Inggris berjanji kepada Arab akan memberi kemerdekaan, jadi termasuk pula Arab Palestina, tetapi di pihak lain Inggris berjanji pula kepada Yahudi akan memberikan Palestina kepada mereka.

Tetapi di pihak lain lagi, secara rahasia Inggris telah pula mengadakan persetujuan dengan Perancis untuk membagi-bagi Timur Tengah bagi mereka berdua. Inggris akan memperoleh Irak dan Palestina, dan Perancis akan memperoleh Lebanon dan Suriah.

Setelah perang berakhir dan persetujuan perdamaian Versailles dirumuskan, Inggris dan Perancis tetap berpegang teguh pada dasar persetujuan mereka tadi. Dengan membawa mandat Liga Bangsa-bangsa, Inggris kemudian memerintah Irak dan Palestina.

Mandat Inggris di Palestina

Setelah Inggris berkuasa di Palestina, maka tindakan pertama yang dilakukan adalah mengangkat Sir Herbert Samuel, seorang keturunan Yahudi, menjadi Komisaris Tinggi Inggris di Palestina. Dengan tindakan tersebut jelas Inggris akan berusaha menepati janjinya kepada pihak Yahudi. Sejak itu pintu Palestina terbuka lebar bagi masuknya imigran Yahudi dari berbagai penjuru Dunia. Akibatnya jumlah imigran Yahudi ke Palestina tiap tahun terus meningkat.

Dari 7000 orang pada tahun 1923, meningkat menjadi 23.800 orang pada tahun 1926 dan pada tahun 1935 bahkan menanjak menjadi 61.854 orang. Bersama dengan mengalirnya imigran itu mengalir pula modal Yahudi ke Palestina, yang mereka tanamkan dalam industri dan tanah-tanah pertanian, dengan memborong tanah-tanah pertanian subur milik petani-petani yang umumnya miskin-miskin.

Menghadapi policy Inggris dan kaum Zionis itu, orang-orang Arab Palestina mula-mula hanya bisa memendam rasa cemas dan gusar. Tetapi ibarat api dalam sekam, rasa terpendam itu makin lama makin berkobar, sehingga akhirnya meledak menjadi suatu pemberontakan. Pemberontakan besar terjadi pada tahun 1936 yang mendapat simpati luas dari dunia Arab.

Untuk meredakan pemberontakan ini, Inggris lalu menawarkan suatu rencana kepada pihak Arab dan Yahudi, untuk membagi negeri Palestina menjadi dua, bagi Arab dan Yahudi. Sedang kota-kota suci Yerusalem, Betlehem dan Nazareth akan tetap dikuasai oleh Inggris.

Tetapi rencana tersebut ditolak oleh pihak Arab, sebab yang mereka tuntut adalah agar Inggris mengakhiri mandatnya di Palestina, dan Palestina menjadi negara merdeka bagi mereka. Pada 1937, pemberontakan berkobar lagi lebih hebat. Inggris menindasnya dengan kekerasan yang meminta korban sampai 6000 orang, 4000 di antara mereka adalah orang Arab.

Sementara itu bahaya Perang Dunia II telah berada di ambang pintu. Di Timur Tengah, pihak Jerman aktif melancarkan propaganda menarik simpati bangsa Arab. Suatu simpati Arab kepada Jerman, bisa berakibat fatal bagi kepentingan Inggris di Timur Tengah, yaitu kepentingan minyaknya dan kepentingan terusan Suez.

Karena itu sejak 1939, Inggris lalu mengubah strategi politiknya di Palestina. Inggris kemudian mendekati pihak Arab dengan mengeluarkan White Paper (Buku Putih) yang isinya lebih menguntungkan pihak Arab.