Find Us On Social Media :

Mengintip Nasib Lewat Pawukon, Benarkah Lebih Ampuh Dibanding Zodiak Dan Shio?

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 9 Juli 2024 | 14:39 WIB

Dibandingkan dengan zodiak Barat dan Cap Ji Shio dari budaya China, horoskop versi Jawa ini memang tidak begitu dikenal. Padahal dalam membidik gambaran fisik, watak, dan naas seseorang, Pawukon justru lebih jitu dan akurat.

“Dia mengaku selama hidupnya memang pernah tiga kali nyaris tewas diterkam hewan buas, yakni sewaktu berada di Mesir, Jawa Barat, dan di negerinya sendiri, "ujar Darmodipuro menirukan kliennya.

Nasib Pawukon yang nyaris terpinggirkan ini juga me narik perhatian Drs. Bambang Saptono, seniman lukis alumnus Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, yang merasa terpanggil untuk melestarikan Pawukon.

"Saya terobsesi untuk memasyarakatkan Pawukon. Kalau horoskop Barat dan shio Cina sampai begitu terkenal ke seluruh dunia, mengapa Pawukon tidak bisa? Padahal produk budaya Jawa ini lebih canggih, spesifik, dan akurat," aku Bambang yang sejak tahun 1996 lalu mulai mengadakan penelitian, menulis buku, serta mengangkat simbol-simbol Pawukon dengan melukiskannya kembali secara lebih menarik di atas kanvas.

Sekarang ini Bambang sudah berhasil "menganvaskan" ilustrasi 30 wuku dengan visualisasi yang lebih artistik dan menarik. Bahkan akhir Oktober 1999 karya lukisan Pawukon ini sudah dipamerkan di Solo selama tiga hari. Dalam upayanya memperkenalkan kepada dunia internasional, menurut rencana Bambang akan menggelar lukisan Pawuton-nya di Prancis tahun ini.

"Saya menyadari mengapa sampai sekarang ini kaum muda dan masyarakat Indonesia lebih tertarik pada horoskop Barat ketimbang Pawukon. Salah satu penyebabnya lantaran jarang dipromosikan dan dimasyarakatkan. Mana ada media massa yang membuat rubrik tentang Pawukon, yang banyak, ‘kan, rubrik tentang zodiak Barat?"

Padahal, menurut Bambang pengetahuan tentang wuku kita masing-masing akan mendatangkan banyak faedah. "Uraian tentang wuku bisa dijadikan sebagai sarana introspeksi diri. Kalau dalam wuku tersebut tertulis sifat-sifat atau kejelekan watak kita, ya, harus diterima sebagai cermin untuk memperbaiki diri," ujar bujangan berkacamata minus ini.

Untuk menentukan wuku, yang diperlukan adalah tanggal kelahiran sesuai tahun Masehi, kemudian dirujuk dalam penanggalan Jawa. Dari penanggalan Jawa itu bisa diketahui termasuk wuku apakah hari kelahiran tersebut.

Berangkat dari tanggal tersebut juga bisa dicari hari dan wetonnya untuk menentukan jenis pengapesannya berikut selamatan yang harus dijalani, kalau mau. Untuk mempermudah pencarian wuku tadi bisa dirujuk pada buku Kalender Abadi yang sudah dijual di pasaran. Salah satunya, Kalender 301 Tahun (Balai Pustaka, 1989), yang disusun oleh Tjokorda Rai Sudharta, M.A. dkk., bisa digunakan dengan sangat mudah.

Tak diketahui penciptanya

Seperti halnya Cap Ji Shio maupun zodiak Barat, Pawukon pun sampai kini belum diketahui persis asal-usul berikut penciptanya. Kenyataan ini diperparah oleh kondisi sumber-sumber tulisan penunjang informasi ini yang sudah amat memprihatinkan. Seperti buku tentang Pawukon terbitan tahun 1850 yang kini tersimpan di Istana Mangkunegaran, sudah amat rapuh. Buku serupa di Sasono Pustoko, Keraton Kasunanan Surakarta, yang dibuat pada masa Paku Buwono X (1893 - 1939) kondisinya sedikit lebih baik.

"Dari sekian banyak literatur yang saya baca, tak satu pun menjelaskan secara pasti siapa pembuat Pawukon.... Penjelasan dalam buku-buku itu pada akhirnya mentok pada mitos ataupun legenda. Jadi, tidak ada landasan ilmiahnya," aku Bambang Saptono. Namun, ia memperkirakan Pawukon ini dibuat sekitar abad VII, pada masa Hindu.

Mitos menceritakan bahwa lahirnya Pawukon diilhami kisah Raja Watugunung, cerita rakyat zaman dulu, yang mengisahkan cinta anak lelaki terhadap ibunya sendiri seperti Oedipus dari Yunani.Nama anak-anak yang lahir dari hubungan terlarang inilah yang menandai nama wuku.

Adapun urutan wuku itu disesuaikan dengan janji Dewa kepada Watugunung untuk mengangkat semua anggota keluarganya ke kahyangan. Untuk mendapat jaminan agar semua diangkat ke kahyangan, Watugunung memilih menunggui anggota keluarganya dulu satu per satu diangkat ke kahyangan, sementara dirinya sendiri memilih yang paling akhir. Itulah sebabnya Wuku Watugunung berada di urutan terakhir.

Lebih lanjut Bambang memberi latar belakang, minimnya sumber tulisan tentang Pawukon ini memang dimungkinkan karena dalam budaya Jawa kuno tradisi tulis serta dokumentasi kurang dikenal, sehingga menyulitkan pelacakannya.

Sementara itu Darmodipuro memperkirakan penggunaan Pawukon dalam praktik bernegara dan kehidupan sehari-hari sudah dimulai pada zaman Sultan Agung (1613-1645). Gelapnya informasi tentang pencipta Pawukon ini sangat mungkin lantaran sifat para pujangga Jawa zaman dulu yang memegang prinsip rendah hati.

"Sifat orang Jawa 'kan tidak mau menonjolkan diri pribadi. Itulah sebabnya banyak karya sastra Jawa yang tidak ketahuan siapa pembuatnya. Sebagai contoh, karya-karya K.R.T. Ronggowarsito tidak ada yang jelas-jelas menuliskan namanya. Kalaupun ada biasanya dibuat sandi asmo (nama rahasia). Itu pun diselipkan secara tersamar ke dalam karya tulisnya sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa membacanya. Saya rasa itu juga yang terjadi dengan karya Pawukon ini," jelasnya.

Telaah yang agak berbeda diberikan oleh Drs. Manu Djojoatmodjo, pakar Jawa kuno yang juga dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain sulit dilacak, versi Pawukon juga beragam sesuai dengan perbedaan tradisi di mana keyakinan Pawukon itu dianut oleh masyarakat. Meski pola bakunya sama, bisa jadi Pawukon yang ada di Keraton Surakarta berbeda dengan yang terdapat di Pakualaman, Yogyakarta.

"Kita sulit melacak penciptanya karena Pawukon itu merupakan wujud kristalisasi persepsi budaya masyarakat Jawa tentang waktu yang meliputi hari, weton, watak manusia, serta pranata mangsa yang selama ratusan tahun menjadi pedoman hidup kesehariannya." Apalagi, masih menurut Manu, dalam perjalanan waktu terjadi inkulturasi budaya Hindu, yang pada akhirnya juga mempengaruhi persepsi dan praktik budaya Jawa, termasuk dalam hal Pawukon. Itulah sebabnya dalam setiap wuku selalu ada dewa pelindungnya.

Betapa pun Pawukon adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia. Membiarkannya punah sama halnya dengan melupakan sejarah bangsa sendiri. Oleh karena itu menjadi tugas kita semua untuk melestarikannya. (Djati Surendro)