Find Us On Social Media :

Mengintip Nasib Lewat Pawukon, Benarkah Lebih Ampuh Dibanding Zodiak Dan Shio?

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 9 Juli 2024 | 14:39 WIB

Dibandingkan dengan zodiak Barat dan Cap Ji Shio dari budaya China, horoskop versi Jawa ini memang tidak begitu dikenal. Padahal dalam membidik gambaran fisik, watak, dan naas seseorang, Pawukon justru lebih jitu dan akurat.

Believe it or not, pada tanggal-tanggal yang menurut perhitungan Darmodipuro merupakan hari buruk itu selalu ada peristiwa yang tidak terduga. Termasuk beberapa petaka yang menimpa bumi ini, seperti musibah Terowongan Mina tahun 1990 yang menewaskan 1.426 orang, jatuh pada hari taliwangke.

Juga meledaknya pesawat Challenger, 28 Januari 1986, dan terbakarnya Keraton Surakarta, 31 Januari 1985. Contoh kiwari yang masih hangat adalah, pada 16 Maret 1997 Pak Harto mengambil sumpah Kabinet Reformasi Pembangunan.

Tanggal itu jatuh pada hari taliwangke. Maka yang terjadi kemudian, jalannya pemerintahan amburadul, yang pada akhirnya tumbang dilibas arus reformasi.

Nyaris hilang, padahal universal

Diakui atau tidak, pengetahuan tentang Pawukon serta primbon Jawa ini sebetulnya nyaris terkubur oleh derasnya arus modernisasi di kalangan masyarakat Jawa. Apalagi nilai modernitas yang terlanjur diserap kalangan muda sering membuat mereka semakin tercerabut dari akar tradisi leluhur. Hanya lantaran gengsi, semua hal yang berbau tradisional diemohi karena dianggap ndeso dan klenik.

Padahal ketika dihadapkan pada suatu kenyataan hidup yang tidak menentramkan, diam-diam mereka mencari pegangan psikologis. Bagaimanapun juga, orang Jawa yang pada dasarnya berakar pada budaya agraris-mistis, termasuk mereka yang sudah hidup di kota-kota besar, akhirnya berpaling juga mengikuti naluri tradisionalnya.

Terbukti, masih banyak orang yang meyakini primbon dan tetap mempertimbangkan petungan Jawa kalau ingin menentukan tanggal perkawinan, pindah rumah, memulai kegiatan bisnis, atau menjalani ritus, sejak kehamilan sampai kelahiran seorang bayi, atau bahkan dalam memilih nama.

Untunglah masih ada figur seperti Darmodipuro, lelaki kelahiran Solo, 15 September 1937, seorang dari sangat sedikit pakar Kejawen yang tak lekang dimakan derasnya arus zaman. Kesetiaannya dalam menggeluti produk budaya Kejawen menggugah kesadaran masyarakat Jawa akan keunggulan dan nilai luhur Pawukon.

Di samping tugasnya sebagai kepala museum Radya Pustaka memungkinkannya mengeksplorasi secara autodidak berbagai sumber kuno tentang kebudayaan Jawa di museum tersebut, kepakarannya mengenai Pawukon dan primbon didapatnya dari guru-gurunya, para budayawan Jawa yang sudah mendiang seperti R. Tanoyo, K.R.T. Ronggowarsito, dan R.Ng. Sastrosayono.

Dalam kesehariannya kini, Darmodipuro tidak pernah sepi tamu. Hampir setiap hari, ia kedatangan orang yang ingin menanyakan wuku atau perhitungan hari baik untuk beragam keperluan. Tingkat sosial mereka mulai dari rakyat jelata, menengah, sampai para petinggi dari Jakarta, baik sipil maupun militer.

"Menurut saya, Pawukon ini sifatnya lebih universal. Buktinya, yang datang untuk konsultasi soal ini kepada saya banyak pula orang Tionghoa, bahkan bangsa Belanda, Jerman, Amerika, Australia, Inggris, dan lain sebagainya," ujarnya sambil memperlihatkan satu bundel uraian wuku pesanan seorang petinggi militer dari Jakarta.

Salah seorang kliennya asal Jerman, H. Henning, yang kemudian diketahui punya Wuku Julungwangi mengaku sangat terkesan karena membuktikan sendiri kebenaran uraian yang terdapat dalam wuku-nya bahwa naas hidupnya dimangsa binatang buas.