Advertorial
Intisari-Online.com -Dibandingkan dengan zodiak Barat dan Cap Ji Shio dari China, horoskop versi Jawa ini memang tidak begitu dikenal.
Padahal, dalam membidik gambaran fisik, watak, dan naas seseorang, Pawukon lebih jitu dan akurat. Bahkan, mampu memroyeksikan “naas” seseorang di senja hidupnya dengan perlambang watak hari kelahiran orang tersebut.
Percaya atau, perhitungan hari saat dilakukan pemilihan presiden keempat RI pada Rabu Pon, 20 Oktober 1999, menyisakan firasat buruk bagi bangsa Indonesia.
Itu menurut penglihatan dan perhitungan mata hati pakar Pawukon, K.R.H.T. Suhadi Darmodipuro, yang juga kepala Museum Radyapustaka, Surakarta.
Seperti diketahui, pemilihan presiden RI dilakukan siang hari.
Baca juga:Kini Banyak Diabaikan, Beginilah Kesaktian Weton Kelahiran Bagi Orang Jawa
“Kalau pemilihan itu dilakukan pada waktu malam hari, akan menghasilkan hal baik. Dalam perhitungan Jawa, Rabu malam itu sudah termasuk Kamis Wage, hari yang baik. Wataknya aras kembang, tunggak semi. Dengan watak aras kembang, artinya siapa pun yang terpilih akan memperoleh simpati dari banyak orang. Demikian pula tunggak semi, meski selalu mendapat kritik atau dilecehkan, tetap akan bertunas dan dengan ketokohannya akan membuahkan hasil baik bagi negara dan bangsa," demikian ujar Darmodipuro.
Kenyataannya, pemilihan dilakukan pada Rabu siang sebelum pukul 18.00 WIB. Hari itu jatuh pada Wuku Watugunung.
Dalam hitungan Jawa, memiliki watak lakuning rembulan, bumi kapetak. Meski watak yang pertama itu baik, watak yang kedua yakni bumi kapetak justru mengubur semua kebaikannya.
"Jadi, siapa saja yang terpilih menjadi presiden, kendati memiliki niat dan usaha keras untuk membangun serta menyejahterakan bangsa ini, akan kesilep atau tidak dihargai karena selalu mendapat celaan," tambah Darmodipuro.
Lewat Pawukon perjalanan nasib seseorang juga bisa dibaca dengan jelas. Contohnya, nasib mantan Presiden Soeharto yang dilahirkan Rabu Kliwon, 8 Juni 1921.
Sesuai hari kelahirannya wuku Pak Harto adalah Maktal. Gambaran wuku tersebut terjemahan bebasnya begini: Dewanya Bathara Sakri, setia dalam janji, teguh pendiriannya.
Lambang kayunya Negari, tampan wajahnya, bicaranya selalu harum. Burungnya ayam hutan, wataknya cerdik. Gedungnya megah dan berumbul-umbul, artinya pangkat dan kekayaan datang secara bersamaan.
Gambaran dirinya bak harimau lapar, kalem tapi waspada, perasaannya gampang kecewa. Naas dirinya karena berkelahi/perseteruan.
Watak hari kelahirannya yang Rabu Kliwon adalah lakuning srengenge, lebu katiyup angin. Tamsil itu menggambarkan hidupnya yang semula ibarat matahari sebagai pemimpin yang menjadi panutan banyak orang, namun pada akhir nasibnya justru seperti debu yang tertiup angin.
Memang, pada akhirnya kebenaran semua itu tergantung pada kehendak Yang Maha Kuasa.
Lebih komplet dan akurat
Pawukon adalah ilmu tentang wuku yang bersifat baku berdasarkan buku babon yang ada. Tak berbeda dengan metode hitungan astrologi pada umumnya, wuku ini membagi hari kelahiran seseorang berdasarkan tanggal dan tahun kelahiran.
Hanya saja Pawukon mendasarkan perhitungannya menurut
kalender Jawa. Wuku dalam bahasa Jawa kuno artinya pekan atau seminggu. Satu wuku artinya tujuh hari. Karya Pawukon bisa disejajarkan dengan zodiak Barat maupun Cina yang sudah dikenal luas.
Cap Ji Shio terbagi atas 12 macam shio dengan pergantian tiap tahun.
Satu periode shio diawali dari tahun pertama yaitu Tahun Tikus yang kemudian berakhir pada tahun kedua belas yakni Tahun Babi. Sedangkan horoskop Barat terbagi atas 12 bintang, pergantiannya tiap bulan, diawali dengan bintang Capricornus dan diakhiri oleh Sagitarius.
Sementara itu Pawukon terbagi atas 30 macam wuku yang pergantiannya berlaku setiap minggu. Perhitungannya mulai dari hari Minggu sampai dengan Sabtu. Satu periode Pawukon diawali pada minggu pertama setiap tahun dengan Wuku Shinta, yang kemudian diakhiri pada minggu ketiga puluh dengan Wuku Watugunung.
Baca juga:Tak Disangka, 8 Fashion yang Digemari Ini Justru Bisa Membawa Dampak Buruk Bagi Kesehatan
Urutan dari ke-30 wuku tersebut adalah: Shinta, Landhep, Wukit, Kurantil, Tala, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasia, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Mrakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, Watugunung.
Setiap wuku memayungi kelahiran (manusia) dalam waktu satu pekan atau tujuh hari. Perhitungan harinya pun disesuaikan dengan pasaran (pon, wage, kliwon, legi, pahing).
Dibandingkan dengan horoskop versi lain, Pawukon memiliki kelebihan. Selain memberi gambaran secara umum untuk mengetahui kondisi fisik, karakter, atau watak seseorang, setiap wuku juga mampu menemukan jenis naas (pengapesan) atau pantangan yang harus dihindari serta proyeksi "nasib" seseorang di masa datang.
Misalnya, seseorang yang memiliki Wuku Kuiantil pantangannya adalah penekan, yakni kegiatan yang sifatnya panjat-memanjat. Sedangkan mereka yang berwuku Gumbreg naasnya karena air, Keblabag ing Banyu.
Sesuai usia wuku, masa berlaku pantangan ini pun hanya seminggu. Artinya, selama waktu itu orang yang bersangkutan sebaiknya menghindari hal-hal yang menjadi pantangannya.
Apakah pengapesan ini bisa menjadi kenyataan? Seorang Bung Karno yang berwuku Wayang ternyata pengapesannya Sebab Kena ing Paeka (cinidra), yakni dikhianati atau diperdaya.
Lintasan sejarah hidup proklamator ini secara jelas telah memberikan jawabannya. Penggambaran keadaan fisik, karakter, serta sifat-sifat orang dalam setiap wuku disajikan lewat personifikasi simbol seperti dewa, manuk (burung), gedung, panji-panji, pohon, atau kayu.
Sementara naas atau pengapesan seseorang selalu disertakan dalam perlambang sambekala.
Baca juga:Waduh, 5 Zodiak Ini Ternyata Paling Mudah Dibohongi Pasangannya, Lho! Bisa Jadi Zodiak Anda!
Namun tidak seperti icon sederhana yang menandai masing-masing zodiak Barat atau shio Cina, ketigapuluh wuku dalam Pawukon digambarkan secara filosofis dengan ilustrasi menarik, artistik, dan mendetail sesuai ulasan yang terdapat di setiap wuku-nya.
Darmodipuro yakin, tingkat akurasi Pawukon dalam membaca watak dan mengungkap nasib bisa mencapai 70%.
“Sebagian besar klien yang datang ke sini mengaku apa yang tersurat dalam wuku-nya banyak yang cocok," ujar Darmodipuro.
Ada juga satu dua orang mengatakan uraian dalam wuku-nya itu tidak sesuai. Meskipun begitu, menurut Darmodipuro, reaksi penolakan spontan itu terkesan lebih sebagai perwujudan mekanisme self-defence yang ada dalam diri setiap manusia, ketika sifat-sifat buruknya terungkap.
Masih berkaitan dengan Pawukon, Darmodipuro mengatakan bahwa dalam setiap bulan hampir selalu ada yang disebut hari buruk yang dialami oleh wuku-wuku tertentu dalam perjalanan satu tahun.
Hari-hari buruk itu disebut dengan istilah taliwangke dan samparwangke (wangke artinya bangkai).
Menurut kepercayaan Jawa, pada hari itu mereka yang kebetulan wuku-nya terkena taliwangke atau samparwangke, sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang berisiko, seperti perjalanan jauh atau membuat keputusan penting yang menyangkut kehidupannya.
Believe it or not, pada tanggal-tanggal yang menurut perhirungan Darmodipuro merupakan hari buruk itu selalu ada peristiwa yang tidak terduga. Termasuk beberapa petaka yang menimpa bumi ini, seperti musibah Terowongan Mina tahun 1990 yang menewaskan 1.426 orang, jatuh pada hari taliwangke.
Juga meledaknya pesawat Challenger, 28 lanuari 1986, dan terbakarnya Keraton Surakarta, 31 Januari 1985. Contoh kiwari yang masih hangat adalah, pada 16 Maret 1997 Pak Harto mengambil sumpah Kabinet Reformasi Pembangunan.
Tanggal itu jatuh pada hari taliwangke. Maka yang terjadi kemudian, jalannya pemerintahan amburadul, yang pada akhirnya tumbang dilibas arus reformasi.
Baca juga:Mengikuti Ramalan, Pria Ini Bersepeda Sejauh 9.656 Km Demi Bertemu Cinta Sejatinya
Nyaris hilang, padahal universal
Diakui atau tidak, pengetahuan tentang Pawukon serta primbon Jawa ini sebetulnya nyaris terkubur oleh derasnya tren ke-Barat-Barat-an di kalangan masyarakat Jawa.
Apalagi nilai modernitas yang telanjur diserap kalangan muda sering membuat mereka semakin tercerabut dari akar tradisi leluhur. Hanya lantaran gengsi, semua hal yang berbau tradisional diemohi karena dianggap ndeso dan klenik.
Padahal ketika dihadapkan pada suatu kenyataan hidup yang tidak menenteramkan, diam-diam mereka mencari pegangan psikologis. Bagaimanapun juga, orang Jawa yang pada dasarnya berakar pada budaya agraris-mistis, termasuk mereka yang sudah hidup di kota-kota besar, akhirnya berpaling juga mengikuti naluri tradisionalnya.
Terbukti, masih banyak orang yang meyakini primbon dan tetap mempertimbangkan petungan Jawa kalau ingin menentukan tanggal perkawinan, pindah rumah, memulai kegiatan bisnis, atau menjalani ritus, sejak kehamilan sampai kelahiran seorang bayi, atau bahkan dalam memilih nama.
Untuk menentukan wuku, yang diperlukan adalah tanggal kelahiran sesuai tahun Masehi, kemudian dirujuk dalam penanggalan Jawa. Dari penanggalan Jawa itu bisa diketahui termasuk wuku apakah hari kelahiran tersebut.
Berangkat dari tanggal tersebut juga bisa dicari hari dan wetonnya untuk menentukan jenis pengapesannya berikut selamatan yang harus dijalani, kalau mau.
Untuk mempermudah pencarian wuku tadi bisa dirujuk pada buku Kalender Abadi yang sudah dijual di .pasaran. Salah satunya, Kalender 301 Tahun (Balai Pustaka, 1989), yang disusun oleh Tjokorda Rai Sudharta, M.A. dkk., bisa digunakan dengan sangat mudah.
Baca juga:Mengerikan, Inilah Hukuman bagi Hakim di Persia Kuno yang Menerima Suap. Indonesia Mau Menirunya?
Tak diketahui penciptanya
Seperti halnya Cap Ji Shio maupun zodiak Barat, Pawukon pun sampai kini belum diketahui persis asal-usul berikut penciptanya.
Kenyataan ini diperparah oleh kondisi sumber-sumber tulisan penunjang informasi ini yang sudah amat memprihatinkan.
Seperti buku tentang Pawukon terbitan tahun 1850 yang tersimpan di Istana Marigkunegaran, sudah amat rapuh. Buku serupa di Sasono Pustoko, Keraton Kasunanan Surakarta, yang dibuat pada masa Paku Buwono X (1893-1939) kondisinya sedikit lebih baik.
Mitos menceritakan bahwa lahirnya Pawukon diilhami kisah Raja Watugunung, cerita rakyat zaman dulu, yang mengisahkan cinta anak lelaki terhadap ibunya sendiri seperti Oedipus dari Yunani.
Nama anak-anak yang lahir dari hubungan terlarang inilah yang menandai nama wuku. Ada pun urutan wuku itu disesuaikan dengan janji Dewa kepada Watugunung untuk mengangkat semua anggota keluarganya ke kahyangan.
Untuk mendapat jaminan agar semua diangkat ke kahyangan, Watugunung memilih menunggui anggota keluarganya dulu satu per satu diangkat ke kahyangan, sementara dirinya sendiri memilih yang paling akhir. Itulah sebabnya, Wuku Watugunung berada di urutan terakhir.
Darmodipuro memperkirakan penggunaan Pawukon dalam praktik bernegara dan kehidupan sehari-hari sudah dimulai pada zaman Sultan Agung (1613-1645).
Gelapnya informasi tentang pencipta Pawukon ini sangat mungkin lantaran sifat para pujangga Jawa zaman dulu yang memegang prinsip rendah hati.
"Sifat orang Jawa 'kan tidak mau menonjolkan diri pribadi. Itulah sebabnya banyak karya sastra Jawa yang tidak ketahuan siapa pembuatnya. Sebagai contoh, karya-karya K.R.T. Ronggowarsito tidak ada yang jelas-jelas menuliskan namanya. Kalaupun ada biasanya dibuat sandiasmo (nama rahasia). Itu pun diselipkan secara tersamar ke dalam karya tulisnya sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa membacanya. Saya rasa itu juga yang terjadi dengan karya Pawukon ini," jelasnya.
Telaah yang agak berbeda diberikan oleh Drs. Manu Djojoatmodjo, pakar Jawa kuno dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain sulit dilacak, versi Pawukon juga beragam sesuai dengan perbedaan tradisi di mana keyakinan Pawukon itu dianut oleh masyarakat.
Meski pola bakunya sama, bisa jadi Pawukon yang ada di Keraton Surakarta berbeda dengan yang terdapat di Pakualaman, Yogyakarta.
“Kita sulit melacak penciptanya karena Pawukon itu merupakan wujud kristalisasi persepsi budaya masyarakat Jawa tentang waktu yang meliputi hari, weton, watak manusia, serta pranata mangsa yang selama ratusan tahun menjadi pedoman hidup kesehariannya."
Apalagi, masih menurut Manu, dalam perjalanan waktu terjadi inkulturasi budaya Hindu, yang pada akhirnya juga mempengaruhi persepsi dan praktik budaya Jawa, termasuk dalam hal Pawukon. Itulah sebabnya dalam setiap wuku selalu ada dewa pelindungnya.
Betapa pun Pawukon adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia. Membiarkannya punah sama halnya dengan melupakan sejarah bangsa sendiri. Oleh karena itu menjadi tugas kita semua untuk melestarikannya.