Find Us On Social Media :

Mengintip Nasib Lewat Pawukon, Benarkah Lebih Ampuh Dibanding Zodiak Dan Shio?

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 9 Juli 2024 | 14:39 WIB

Dibandingkan dengan zodiak Barat dan Cap Ji Shio dari budaya China, horoskop versi Jawa ini memang tidak begitu dikenal. Padahal dalam membidik gambaran fisik, watak, dan naas seseorang, Pawukon justru lebih jitu dan akurat.

Watak hari kelahirannya yang Rabu Kliwon adalah lakuning srengenge, lebu katiyub angin. Tamsil itu menggambarkan hidupnya yang semula ibarat matahari sebagai pemimpin yang menjadi panutan banyak orang, namun pada akhir nasibnya justru seperti debu yang tertiup angin. Memang, pada akhirnya kebenaran semua itu tergantung pada kehendak Yang Maha Kuasa.Lebih komplet dan akurat

Pawukon adalah ilmu tentang wuku yang bersifat baku berdasarkan buku babon yang ada. Tak berbeda dengan metode hitungan astrologi pada umumnya, wuku ini membagi hari kelahiran seseorang berdasarkan tanggal dan tahun kelahiran. Hanya saja Pawukon mendasarkan perhitungannya menurut kalender Jawa. Wuku dalam bahasa Jawa kuno artinya pekan atau seminggu. Satu wuku artinya tujuh hari.

Karya Pawukon bisa disejajarkan dengan zodiak Barat maupun Cina yang sudah dikenal luas. Cap Ji Shio terbagi atas 12 macam shio dengan pergantian tiap tahun. Satu periode shio diawali dari tahun pertama yaitu Tahun Tikus yang kemudian berakhir pada tahun kedua belas yakni Tahun Babi. Sedangkan horoskop Barat terbagi atas 12 bintang, pergantiannya tiap bulan, diawali dengan bintang Capricorn dan diakhiri oleh Sagitarius.

Sementara itu Pawukon terbagi atas 30 macam wuku yang pergantian waktunya berlaku setiap minggu. Perhitungannya mulai dari hari Minggu sampai dengan Sabtu. Satu periode Pawukon diawali pada minggu pertama setiap tahun dengan Wuku Shinta, yang kemudian diakhiri pada minggu ketiga puluh dengan Wuku Watugunung.

Urutan dari ke-30 wuku tersebut adalah; Shinta, Landhep, Wukit, Kurantil, Tala, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasia, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Mrakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, Watugunung.

Setiap wuku memayungi kelahiran (manusia) dalam waktu satu pekan atau tujuh hari. Perhitungan harinya pun disesuaikan dengan pasaran (pon, wage, kliwon, legi, pahing). Dibandingkan dengan horoskop versi lain, Pawukon memiliki kelebihan. Selain memberi gambaran secara umum untuk mengetahui kondisi fisik, karakter, atau watak seseorang, setiap wuku juga mampu menemukan jenis naas (pengapesan) atau pantangan yang harus dihindari serta proyeksi "nasib" seseorang di masa datang.

Misalnya, seseorang yang memiliki Wuku Kurantil pantangannya adalah penekan, yakni kegiatan yang sifatnya panjat-memanjat. Sedangkan mereka yang berwuku Gumbreg naasnya karena air, Keblabag ing Banyu. Sesuai usia wuku, masa berlaku pantangan ini pun hanya seminggu. Artinya, selama waktu itu orang yang bersangkutan sebaiknya menghindari hal-hal yang menjadi pantangannya.

Apakah pengapesan ini bisa menjadi kenyataan? Seorang Bung Karno yang berwuku Wayang ternyata pengapesannya Sebab Kena ing Paeka (cinidra), yakni dikhianati atau diperdaya. Lintasan sejarah hidup proklamator ini secara -jelas telah memberikan jawabannya.

Penggambaran keadaan fisik, karakter, serta sifat-sifat orang dalam setiap wuku disajikan lewat personifikasi simbol seperti dewa, manuk (burung), gedung, panji-panji, pohon, atau kayu. Sementara naas atau pengapesan seseorang selalu disertakan dalam perlambang sambekala.

Namun tidak seperti icon sederhana yang menandai masing-masing zodiak Barat atau shio Cina, ketigapuluh wuku dalam Pawukon digambarkan secara filosofis dengan ilustrasi menarik, artistik, dan mendetail sesuai ulasan yang terdapat di setiap wuku-nya.

Darmodipuro yakin, tingkat akurasi Pawukon dalam membaca watak dan mengungkap nasib bisa mencapai 70%. "Sebagian besar klien yang datang ke sini mengaku apa yang tersurat dalam wuku-nya banyak yang cocok," ujar Darmodipuro. Ada juga satu dua orang mengatakan uraian dalam wuku-nya itu tidak sesuai. Meskipun begitu, menurut Darmodipuro, reaksi penolakan spontan itu terkesan lebih sebagai perwujudan mekanisme self-defence yang ada dalam diri setiap manusia, ketika sifat-sifat buruknya terungkap.

Masih berkaitan dengan Pawukon, Darmodipuro mengatakan bahwa dalam setiap bulan hampir selalu ada yang disebut hari buruk yang dialami oleh wuku-wuku tertentu dalam perjalanan satu tahun. Hari-hari buruk itu disebut dengan istilah taliwangke dan samparwangke. (wangke artinya bangkai). Menurut kepercayaan Jawa, pada hari itu mereka yang kebetulan wuku-nya terkena taliwangke atau samparwangke, sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang berisiko, seperti perjalanan jauh atau membuat keputusan penting yang menyangkut kehidupannya.