Find Us On Social Media :

Menguras Gentong Raja Mataram Ternyata Tak Bisa Sembarangan, Ada Ritualnya

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 6 Juli 2024 | 13:11 WIB

Di lingkungan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, menguras gentong Raja Mataram bukan perkara sepele. Ada ritual khusus yang harus dilakukan.

Dari balik gerbang, sayup-sayup terdengar suara tahlil dan doa. Bisingnya suara para pedagang asongan ternyata tidak serta-merta mengalahkan suara-suara suci itu. Saya tetap merasakan dan menikmati suasana sakral, unik, kharismatik, dan agung.

Selain asap dan aroma kemenyan, keberadaan abdi dalem dari Surakarta dan abdi dalem Ngayogyakarta yang begitu khusyuk membaca tahlil dan doa membuat saya terhanyut. Dengan khusuk pula pengunjung mengikuti tahlil dan doa yang dipimpin oleh juru kunci senior dua keraton.

Gentong-gentong yang akan dikuras letaknya ada di balik gerbang. Namun untuk melewati gerbang Supit Urang diperlukan perjuangan tersendiri karena massa tertahan dan betul-betul menumpuk di sini.

Selain gentong raksasa yang berdiri gagah, sesaji berupa nasi uduk (sego gurih) lengkap dengan ingkung dan jajan pasar pun siap disantap. Di kerumunan pengunjung, ember, botol, dan jerigen berbagai ukuran (untuk menampung air gentong) seolah menjadi bawaan wajib.

Seorang abdi dalem dari Yogjakarta, Pak Ahmad, terlihat begitu sibuk. Di hadapan tungku bakaran kemenyan, dengan gesit dia melayani para peziarah yang menyerahkan bungkusan daun pisang berisi bunga berikut uang "serelanya", dan tentu saja sekalian menyampaikan "gegayuhan" (cita-cita). Yang ingin dapat jodoh, minta dientengkan jodohnya. Yang miskin minta diberi rezeki. Begitulah kira-kira.

Kegaduhan dimulai

Beberapa saat setelah tahlil dan doa selesai dibacakan - waktu menunjukkan sekitar pukul 09.00, acara utama digelar. Kegaduhan pun dimulai. Massa langsung berebut membantu para abdi dalem membersihkan sekaligus menguras air di keempat gentong raksasa.

Mereka berbuat begitu lantaran percaya, air sisa bersih-bersih dan kuras-kuras itu punya khasiat. Suasana semakin gaduh ketika juru kunci senior selesai mengisikan air kembali ke dalam enceh menggunakan siwur sakral. Di bawah gentong, sejumlah orang sibuk memanfaatkan air limpahan.

Dengan wajah puas dan tanpa ragu, air ini diminum atau dipakai untuk mencuci muka. Suasana sedikit reda ketika para abdi dalem mulai melayani pengunjung yang menyodorkan botol-botol untuk diisi air enceh.

Namun di tempat lain, kegaduhan malah bertambah. terutama di sekitar bangsal timur, orang-orang berjubel mengantre untuk mendapatkan limpahan sesaji. Hanya ancaman abdi dalem-lah yang bisa mengendalikannya: pembagian sesaji akan dihentikan jika antrean tidak bisa diatur! Berkat ancaman ini, kegaduhan reda dan pembagian sesaji cepat selesai.

Selesai pula prosesi dan kerepotan dua hari di Bulan Suro. Para pengunjung pun pulang dengan menyisakan kelelahan, namun dengan hati lega dan penuh harapan.