Find Us On Social Media :

Menguras Gentong Raja Mataram Ternyata Tak Bisa Sembarangan, Ada Ritualnya

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 6 Juli 2024 | 13:11 WIB

Di lingkungan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, menguras gentong Raja Mataram bukan perkara sepele. Ada ritual khusus yang harus dilakukan.

Acara dimulai dengan berkumpulnya massa, biasanya di Kantor Kecamatan Imogiri. Layaknya upacara resmi kekeratonan, prosesi penyerahan siwur juga ditandai kesiagaan para "pengawal" kerajaan. Misalnya ada sekelompok bregodo (pasukan) ber atribut "lombok abang", pakaian khas prajurit Keraton Yogyakarta. Pasukan abdi dalem dari Keraton Surakarta pun tak mau ketinggalan, ikut berkumpul dan nampang atribut.

Selain disemarakkan kehadiran para "prajurit" dan pidato-pidato para pejabat setempat, prosesi juga dimeriahkan oleh pertunjukan seni, suguhan drum band dari siswa TK, siswa SMU, dan komponen masyarakat Imogiri lainnya. Mereka membentuk arak-arakan yang begitu panjang, seakan tak peduli pada terik Matahari siang yang begitu menyengat.

Apa yang diarak? Ya dua buah jodhang (semacam bejana dari kayu yang biasa dipakai untuk menyimpan sebuah benda atau membawa perlengkapan upacara), yang nantinya akan dipakai untuk membawa siwur sakral. Bejana itu ditaruh di atas tandu yang digotong oleh para abdi dalem. Tak ketinggalan, gunungan yang dibentuk dari berbagai sayuran dan buah-buahan tukon pasar (dibeli di pasar).

Arak-arakan kemudian bergerak menuju Pendopo "Kabupaten" di Kompleks Makam Imogiri. Di pendopo, para "Bupati" alias juru kunci makam menyerahkan siwur sakral kepada rombongan kirab. Siwur itu lantas ditaruh di jodhang, untuk kemudian dibawa menuju pelataran parkir kompleks makam.

Sebagai puncak acara kirab, pejabat setempat menyerahkan siwur itu kepada para abdi dalem, untuk disimpan dan digunakan dalam upacara besok pagi.

Tahlil vs asongan

Keesokan harinya, pagi Jumat Kliwon, saya larut bersama ribuan pengunjung yang memenuhi kompleks makam. Setelah melewati gerbang terluar yang berhiaskan tulisan gede "Sugeng Rawuh Ing Pasareyan Dalem Para Nata Pajimatan Girirejo Imogiri", mata saya tertahan pada bangunan masjid dan bangsal yang sudah dipenuhi pengunjung.

Ya, sejak pukul 06.00, jalan menuju Imogiri sudah ramai. Areal parkir yang ada sampai tak muat menampung beragam kendaraan yang datang. Untung ada areal parkir-areal parkir darurat di rumah-rumah penduduk sekitar.

Meninggalkan areal masjid, saya lantas melangkahi anak tangga pertama - satu dari ratusan anak tangga yang harus dilewati untuk sampai ke lokasi prosesi, gerbang Supit Urang, nun jauh di atas bukit. Untuk mencapai gerbang tersebut, pengunjung memang mesti mendaki ratusan anak tangga - ada yang menyebut, jumlah persisnya 345, dengan tingkat kemiringan 45°, sejauh sekitar 200 m.

Penduduk sekitar lebih suka menyebut tangga-tangga itu sebagai trap sewu alias tangga seribu.

Meski dengan napas terengah-engah dan otot kaki mengeras karena pegal, akhirnya sampai juga saya di depan gerbang Supit Urang. Lagi-lagi, di sana sudah ada kerumunan orang yang menyajikan pemandangan macam-macam. Di antara para pedagang asongan, tampak juga para pengunjung yang sedang melepas lelah. Sama seperti saya, napas mereka senin-kamis dan otot kaki pegal.

Oh ya, soal ratusan anak tangga ini, ada juga mitos yang berkembang: jika sambil mendaki, Anda berhasil menghitung jumlah anak tangga dengan tepat, maka cita-cita atau keinginan yang Anda sampaikan sesampainya di makam, niscaya akan terkabul. Tapi sekali lagi, ini mitos. Boleh dipercaya, tidak percaya pun tak apa-apa.