Find Us On Social Media :

Riwayat Museum Gajah, Dari Pusat Penelitian Sejarah Hingga Tempat Pacaran

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 25 Juni 2024 | 14:13 WIB

Sebagai tanda terima kasih, Raja Siam mengirimkan hadiah patung gajah yang kini ada di depan Museum Nasional Pusat atau Museum Gajah.

Pemalsuan yang banyak terjadi antara lain pemalsuan kapak-kapak prasejarah dari Karawang-Bekasi. Masyarakat desa mulai tahu bahwa para kolektor menaruh minat besar terhadap kapak-kapak yang biasa ditemukan di situ. Mereka lalu mengubah bentuk asli dari kapak yang mereka temukan. Nilai kapak sebagai dokumen sejarah menurun, tetapi nilai komersialnya naik (tentu saja bagi pembeli yang tidak banyak tahu-menahu). Tidak jarang pula mereka membuat kapak palsu, yang mereka kerjakan sedemikian rupa sehingga memberi kesan seolah-olah kapak purbakala.

Benda-benda sejarah di museum juga ada yang ditemukan secara kebetulan dalam suatu penggalian. Dalam hal ini benda tersebut harus dilaporkan kepada Dinas Purbakala. Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, Dinas Purbakala pada tahun 1931 mengeluarkan monumenten ordonantie, yang melarang penggalian-penggalian liar dan tindakan merusak, memperbaiki, merubah bentuk atau fungsi serta memindahkan barang-barang purbakala tanpa izin dari badan tersebut. Pelanggaran dikenakan hukuman atau denda yang berat.

Tetapi sebetulnya sanksi paling berat (bagi mereka yang meyakini) adalah hilangnya dokumen-dokumen sejarah nasional.

Kekurangan kesadaran masyarakat kita tentang nilai dokumen-dokumen yang tersimpan di museum memang sering menyedihkan. Misalnya museum mempunyai perpustakaan yang sangat bermutu. Koleksi buku-bukunya tidak kurang dari 300.000 jilid, dan majalah sebanyak setengah juta.

Di antaranya terdapat dokumen-dokumen penting tentang tokoh-tokoh nasional seperti Presiden Soekarno, Ki Hajar Dewantara, Dr. Soetomo dan lain-lain. Dokumen-dokumen yang hanya tersedia satu eksemplar tidak boleh dibawa keluar dari ruangan museum; hanya boleh dipinjam di ruang baca. Meskipun telah ada pengawasan, namun sering saja terjadi pelanggaran, lebih-lebih dulu ketika peraturan belum diperkeras.

Buku-buku yang penting tidak dapat dipinjam ke luar, meski dengan jaminan apa pun. Jika ada yang benar-benar memerlukannya, museum bersedia membuatkan kopi dari seluruh buku. Tentu saja biaya dibebankan kepada pemesan.

Museum bukan hanya tempat yang menarik bagi para ahli sejarah. Pada tahun 60-an, penduduk Jakarta juga menganggap Museum Pusat sebagai tempat rekreasi. Setiap hari Minggu ayah-ibu berbondong bersama anak-anak mereka, muda-mudi dengan pacarnya.

Bagi banyak remaja museum merupakan tempat ideal untuk mendapatkan jodoh. Pada hari Minggu pertama dan ketiga ada pertunjukan wayang (golek atau kulit) yang disiarkan melalui RRI. Banyak orang, misalnya para pedagang, menganggap museum sebagai tempat yang praktis untuk merencanakan pertemuan dengan relasi mereka. Pada hari Minggu pengunjung mencapai 6 sampai 7 juta.

Di antara barang-barang yang disimpan di museum ada beberapa barang yang dianggap keramat. Maka tidak sedikit pula orang datang ke museum untuk ziarah dan nadar. Beberapa kali pegawai museum menjumpai pengunjung duduk bersila di depan lemari yang menyimpan keris-keris kuno.

Contoh lain: pada suatu malam bulan purnama dalam tahun 1958, para petugas menemukan 20 orang duduk bersembahyang di , depan pagar pintu masuk sambil menaburkan bunga ke patung yang terletak di serambi depan museum. Hanya dengan susah payah para petugas berhasil membubarkan rombongan peziarah itu.

Ada satu benda lagi yang sangat populer di museum, yakni meriam Kyai Jagur. Dulu bila orang melancong ke Jakarta, ada tiga objek yang mesti dikunjungi, yakni Luar Batang (Masjid Pasar Ikan), Museum alias Gedung Gajah dan Kyai Jagur yang dulu masih terletak di museum kota, kemudian dipindahkan ke depan Museum Pusat. Banyak orang datang ke Kyai Jagur ini untuk minta berkat dan berbagai permohonan.

Tentang kebiasaan ini direktur museum menyimpan banyak pengalaman lucu. Seorang janda dari Jawa Timur datang berziarah ke Kyai Jagur. Janda itu mempunyai dua orang anak perempuan. Yang sulung telah kawin cukup lama namun belum mempunyai anak, yang satu masih gadis.

Sang ibu menginginkan cucu, maka ia berziarah ke Kyai Jagur. Tahun berikutnya janda itu datang lagi ke Jakarta. Kali ini dia mendatangi Kyai Jagur lagi, tetapi untuk memuntahkan kemarahannya. Permohonannya memang terkabul. Ia benar-benar mendapat cucu, tetapi dari anaknya yang belum menikah...

Sebuah kejadian lucu lain: pernah museum mengeluarkan kartu pos bergambar meriam Kyai Jagur yang populer itu dengan keterangan historis. Dikatakan bahwa meriam itu berasal dari Malaka, direbut Belanda pada tahun 1640 dan kemudian dibawa ke Jakarta.

Kartu pos itu ditentang banyak orang karena dianggap tidak cocok dengan 'kisah sebenarnya'. Masyarakat yakin bahwa meriam itu jelmaan seorang sakti yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan meriam-meriam keramat di Solo (Nyai Setama dan Ki Amuk).

Mendengar aneka macam cerita dari direksi museum itu, timbul dalam pikiran penulis, bahwa fungsi Museum Pusat itu banyak juga. Bukan saja untuk berbagai penelitian sejarah, tetapi juga merupakan tempat nadar.dan ziarah, tempat hiburan, bahkan pacaran. Kami lalu teringat pada sebuah kalimat dalam naskah pendirian perkumpulan ilmiah yang mengasuh museum itu, bahwa perkumpulan didirikan untuk 'kepentingan umum'.