Find Us On Social Media :

Ketika Ekonomi Dan Perdagangan Kota Solo Zaman Dulu Sangat Bergantung Pada Bengawan Solo

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 21 Juni 2024 | 14:29 WIB

Litograf berdasarkan lukisan asli karya A. Salm tentang Bengawan Solo. Sejak dulu, Bengawan Solo punya peran penting terhadap ekonomi dan perdagangan Kota Solo.

Bengawan Solo tak hanya "menganugerahi" daerah-daerah sekitarnya dengan banjir tahunan. Pada masanya, sungai terpanjang di Pulau Jawa ini punya peran penting terhadap ekonomi dan perdagangan Kota Solo

---

Intisari hadir di WhatsApp Channe, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Solo atau Surakarta sebagai kota memang baru lahir pada 17 Februari 1745, bertepatan dengan dipindahnya keraton Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta pasca-Geger Pecinan (1740-1743).

Tapi sebagai sebuah entitas bisnis, wilayah ini (Laweyan) bahkan sudah bergeliat jauh sebelum munculnya Kerajaan Pajang.

Bisa dibilang, "modal asing" mulai masuk ke Solo antara abad ke-18 dan 19, sebagaimana dikutip dari buku Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta (1999) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.

Saat itu, tanah-tanah apanage di Kasunanan Surakarta mulai disewakan kepada perusahaan perkebunan. Sementara untuk Kadipaten Mangkunegaran, sudah lebih dulu dirintis pembebasan tanah apanage dan diusahakan agar tanah-tanah ini dimanfaatkan untuk tanaman perdagangan.

Secara umum, kondisi Mataram Islam pada masa ini sudah tidak segemilang satu abad sebelumnya, saat diperintah oleh Sultan Agung. Kondisi semakin buruk ketika terjadi peristiwa Palihan Nagari dan wilayah Mataram dipecah menjadi empat: Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.

Selain itu, kekuasaan Mataram juga semakin menyusut.

Masih dari sumber yang sama, pada pertengahan abad 19, sisa-siwa wilayah Mataram tinggal menyisakan empat wilayah swapraja yang terpisah-pisah. Meski begitu, daerah-daerah ini keistimewaan: 

Yaitu terpeliharanya kesenian, adat-istiadat dan perilaku tradisional dalam lingkungan istana, yang di luar tembok sudah tidak digunakan atau disesuaikan dengan kondisi, lebih-lebih di daerah-daerah yang langsung diperintah oleh Belanda.

Raja juga mendapatkan hak tertinggi atas penguasaan tanah. Meski begitu, raja biasanya membagikan tanah-tanah itu kepada sentana dalem, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagai tanah gadhuhan.

Di wilayah kerayaan sendiri, tanah dibagi menjadi dua bagian. Pertama, bumi narawita, yaitu tanah yang menghasilkan sesuatu yang ditentukan dan diperlukan oleh raja. Tanah-tanah itu terdiri atas bumi pamajegan, bumi pangrambe, dan bumi gladag.

Kedua adalah bumi lungguh atau tanah apanage. Ini adalah tanah gadhuhan diberikan kepada abdi dalem sebagai gaji berupa bumi palungguhan. Tanah itu diberikan selama mereka masih menduduki jabatan dalam pemerintahan. Karena itulah patih diberi hak untuk memungut sebagian hasil apanage-nya.

Lalu bagaimana status para penggarap lahan, mereka hanyalah sekedar menggaduh dari penguasa. Biasanya, hak gaduh ditandai dengan diserahkannya lebih dari separuh hasil panen kepada penguasa.

Meski begitu, sebagian besar tanah diserahkan penguasa kepada bekel. Dalam praktiknya, bekel biasanya akan menyerahkan pengerjaannya kepada para petani penggarap dengan ketentuan pembagian hasil 20 % untuk bekel, 40 % untuk pihak yang berhak nggaduh atas tanah itu, dan 40 % sisanya untuk petani yang bersangkutan.

Selain itu, para petani dibebani kewajiban membangun, memperbaiki, dan memelihara jalan, melakukan ronda, wajib kerja pada pemegang hak gaduh, dan menyediakan bahan makanan kepada para penguasa atau bangsawan pada peristiwa-peristiwa tertentu.

Komoditas di wilayah Solo saat itu masih seputar padi, kopi, juga tebu dan lada meskipun tidak begitu banyak. Ada juga kapal tom yang hanya ditanam untuk keperluan sendiri. Tembakau dan kacang-kacangan banyak yang dijual ke pasar-pasar.

Selain dari bidang pertanian dan perkebunan di daerah Surakarta juga terkenal sebagai penghasil kerajinan, batik. Sekitar 1890 kerajinan rumah mulai berkembang dan hasilnya dijual di pasar-pasar sekitar perkebunan dan bahkan menjangkau pasar di luar daerah Surakarta.

Kerajinan batik tulis yang semula merupakan monopoli keluarga bangsawan sejak tahun 1890-an dibuat oleh orang-orang Cina. Ketika itu kain batik sudah menjangkau pasar-pasar seluruh Jawa dan Priangan. Bahan-bahan baku batik seperti katun, damar, malam, dan soga distribusinya dikuasai oleh para pedagang Cina.

Selain batik, di Solo juga ada kerajinan kuningan, pasarnya bahkan sudah sampai ke Semarang.

Untuk moda transportasi perdagangan, untuk jarak jauh, biasanya menggunakan gerobak atau cikar yang mampu menempuh jarak 40 paal sehari. Perjalanan yang lebih dari sehari memerlukan penginapan yang sekaligus menjadi tempat transit para pedagang.

Prambanan, Jatinom dan Boyolali adalah tempat transit bagi pedagang yang akan melanjutkan perdagangannya ke luar daerah Surakarta.

Beras-beras yang dihasilkan petani di sekitar Solo biasanya akan dijual ke Semarang, Yogyakarta, dan Salatiga. Untuk impor antara lain kain putih, piring, cangkir, dan barang-barang dari porselin, bumbu, ikan asin, gambir, besi, baja, dan kuda--biasanya masuk lewat Semarang.

Nah di sinilah Bengawan Solo punya peran sentral bagi perekonomian Kota Solo saat itu. Sungai terpanjang di Jawa ini biasa digunakan untuk mengangkut barang-barang impor dari pesisir ke daerah pedalaman, dalam hal ini wilayah Solo. Muara Bengawan Solo sendiri berada di wilayah Gresik.

Perahu dari Gresik biasanya akan menyusuri Bengawan Solo sampai kota Solo. Muatan utama perahu itu adalah garam dan ikan asin untuk konsumsi di pedalaman. Dan sebaliknya, barang-barang atau komiditas yang dihasilkan masyarakat Solo, seperti gula dan kopi, banyak yang dijual ke Surabaya dan Semarang.

Begitulah peran Bengawan Solo terhadap kehidupan ekonomi dan perdagangan Kota Solo zaman dulu, perannya perlahan bergeser setelah dibangunnya jaringan kereta api.

Dapatkan berita terupdate dari Intisari-Online.com di Google News