Intisari-Online.com - Dalam tembang macapat Jawa ada lagu berjudul "Sigra Milir".
Dalam tembang itu dikisahkan bagaimana Jaka Tingkir, pendiri kerajaan Pajang, berjalan mengarungi Bengawan Solo menggunakan rakit.
Ada 40 ekor buaya mendampingi perjalanan Jaka Tingkir dari hulu ke hilir Bengawan Solo menuju Demak sebagai pusat pemerintahan kala itu.
Sigra milir kang gethek sinangga bajul
kawan dasa kang njageni
ing ngarsa miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kering
sang gethek lampahnya alon
Artinya, kira-kira:
mengalirlah segera sang rakit didorong buaya empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri
sang rakit pun berjalan pelan.
Konon, itu hanyalah mitos. Dan, konon itu juga perlambang bahwa perjuangan Jaka Tingkir didukung oleh 40 penguasa atau ada juga yang menyebutkan sebagai 40 perompak sungai (disimbolkan buaya).
Untuk menarik perhatian warga Demak, Jaka Tingkir memasukkan binatang ke telinga seekor kerbau.
Lalu kerbau itu mengamuk di Demak, dan hanya Jaka Tingkir juga yang bisa menaklukkan kerbau bernama Kebondanu itu.
Sekali tempeleng, kerbau itu jatuh.
Jaka Tingkir kemudian mulai meniti karier di ranah politik kerajaan Demak, hingga akhirnya bisa mendirikan kerajaan Pajang dan menjadi raja bergelar Sultan Hadiwijaya.
Sejarah Runtuhnya Kerajaan Demak dan Kemelut Perebutan Kekuasaan Arya Penangsang dengan Jaka Tingkir
Dalam sejarah Indonesia Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak dikenal sebagai kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa.
Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit.
Kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.
Kerajaan Demak berdiri tahun 1475 hingga 1568. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah dengan bantuan ulama Islam Jawa pada masa itu.
Kekuasaan Kerajaan Demak di Pulau Jawa tidak berlangsung lama.
Pada pertengahan abad ke-16 Masehi, kerajaan Demak mengalami krisis politik dan keamanan yang akhirnya mengakibatkan keruntuhan kerajaan.
Dalam buku Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia (2012) karya Daliman, awal mula keruntuhan kerajaan Demak terjadi setelah Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 Masehi.
Dendam Arya Penangsang
Pasca meninggalnya Sultan Trenggana, kerajaan Demak mengalami kekacauan politik yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara Arya Penangsang dan Sunan Prawoto.
Sunan Prawoto diangkat sebagai raja Demak menggantikan Sultan Trenggana pada tahun 1546.
Namun, pengangkatan Sunan Prawoto ini mendapat tentangan dari Arya Penangsang (sepupu Sunan Prawoto).
Arya Penangsang menganggap bahwa yang berhak menjadi raja Demak adalah dirinya.
Selain itu, Arya Penangsang juga menaruh dendam terhadap Sunan Prawoto karena telah membunuh ayahnya yang bernama pangeran Surowiyoto.
Sunan Prawoto membunuh pangeran Surowiyoto agar Sultan Trenggana diangkat sebagai raja Demak setelah kematian Pati Unus tahun 1521.
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, pada tahun 1549, Arya Penangsang membunuh Sunan Prawoto beserta istrinya sebagai balas dendam atas kematian ayahnya yang beberapa waktu sebelumnya telah dibunuh atas perintah Sunan Prawoto.
Penumpasan Arya Penangsang
Tindakan pembunuhan Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang mendapat kecaman dari menantu Sultan Trenggana bernama Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya.
Jaka Tingkir bersama Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi melakukan upaya perebutan kembali takhta Demak dari Arya Penangsang.
Pada akhirnya, persekutuan antara Jaka Tingkir, Ki Gede Pamanahan dan Ki Panjawi berhasil mengalahkan Arya Penangsang di Jipang Panolan.
Pada tahun 1568, Jaka Tingkir menjadi Sultan Demak serta memindahkan ibukota kerajaan Demak ke daerah Pajang.
Pemindahan ini sekaligus menjadi titik keruntuhan kerajaan Demak.
(*)