Penulis
Intisari-Online.com - Isi Perjanjian Bongaya ditandatangani sebagai tanda perdamaian antara Kesultanan Gowa Makassar dengan VOC.
Keduanya terlibat perang, terutama saat Kesultanan Gowa dipimpin Sultan Hassanudin (1653-1969).
Pertempuran dengan VOC pulalah yang akhirnya membuat pemerintahan Sultan Hassanudin berakhir hingga tak lama kemudian Kesultanan Gowa runtuh.
Kesultanan Gowa menjadi kekuatan yang diperhitungkan VOC di bawah pimpinan Sultan Hassanudin.
Baca Juga: Isi Perjanjian Hudaibiyah Tahun 628 M, Kesepakatan antara Umat Muslim Madinah dan Kaum Quraisy
Kesultanan Gowa memiliki kekuatan militer mumpuni, juga kekuatan ekonomi perdagangan yang sangat kuat.
Ia memiliki pelabuhan perdagangan internasional yang berada di Somba Opu (pesisir Sulawesi Selatan).
Kerajaan Gowa juga menjadi pusat perekonomian para pedagang baik domestik, maupun pedagang asing.
Ini membuat VOC khawatir kehilangan pengaruhnya di wilayah Makassar, karena aktivitas perdagangannya bertumpu pada monopoli rempah-rempah.
Konflik kepentingan terjadi di antara Kerajaan Gowa sebagai produsen rempah dan VOC sebagai pelaku monopoli rempah di kawasan timur Hindia.
VOC juga memblokade kapal-kapal yang berlabuh di Somba Opu yang semakin memancing perlawanan Kesultanan Gowa.
Perang tak lagi bisa terelakkan. Kesultanan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hassanudin maju menghadapi pasukan VOC dengan didukung kekuatan yang dimilikinya.
Sultan Hasanudin memperkuat pasukan dengan memerintahkan kerajaan bawahan di Nusa Tenggara untuk mengirimkan prajuritnya.
Sayangnya, VOC juga punya strateginya sendiri, salah satunya dengan menggalang bantuan dari Kesultanan Bone yang dipimpin Arung Palakka.
Arung Palaka menerima permintaan dari VOC dengan alasan ingin membalas kekalahannya atas Gowa-Tallo dan merebut kembali kemerdekaan Bone.
Akhirnya, Kesultanan Gowa harus menghadapi dua kekuatan tersebut sekitar tahun 1660.
Ketika tidak sanggup lagi melawan, Kesultanan Gowa sepakat untuk menandatangani isi Perjanjian Bongaya.
Perjanjian Bongaya disebut sebagai perjanjian damai, tapi nyatanya itu justru perjanjian yang 'mengesahkan monopoli perdagangan VOC di Makassar'.
Isi Perjanjian Bongaya tak jauh dari penguatan pengaruh VOC di Makassar, termasuk 'memaksa' Makassar yang dikuasai Kerajaan Gowa untuk mengakui monopoli VOC.
Kemudian, wilayah Makassar dipersempit hingga tinggal Gowa saja. Ditambah, Gowa terturup bagi orang asing selain VOC.
Perjanjian ini juga mengatur Kerajaan Gowa untuk membayar ganti rugi atas peperangan, dan benteng-benteng yang ada harus dihancurkan kecuali Benteng Rotterdam.
Sebagai pihak yang membantu VOC bertempur melawan Kesultanan Gowa, Arung Palakka juga mendapatkan keuntungan dari perjanjian ini.
Disepakati bahwa Sultan Hasanuddin harus mengakui Aru Palakka sebagai Raja Bone.
Perlawanan sempat dilancarkan kembali oleh Sultan Hassanudin, tapi VOC kembali bisa mengalahkannya.
Pada 12 Juni 1669, Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda, sementara Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Selain menjadi awal keruntuhan Kesultanan Gowa, Perjanjian Bongaya rupanya memakan korban selanjutnya, yaitu Kerajaan Bone.
Keruntuhan Kerajaan Bone berawal dari keinginan Raja Bone, Arung Datu (1823-1835 M) untuk merevisi perjanjian tersebut.
Meski telah membantu VOC melawan Sultan Hasanuddin, ternyata Kerajaan Bone tidak selamanya menjadi sekutu VOC.
Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Arung Palakka, sultan ke-15 yang bertakhta antara 1672-1696 M.
Setelah runtuhnya Kesultanan Gowa, Bone menjadi kerajaan terkuat seantero Sulawesi.
Namun, kekuasaannya tetap berada di bawah pengaruh Belanda.
Kesultanan Bone mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Ismail Muhtajuddin, raja ke-24 wafat pada 1823 M.
Setelah itu, kekuasaan dilanjutkan oleh Arung Datu (1823-1835 M). Ketika berusaha merevisi isi Perjanjian Bongaya, Arung Datu akhirnya memicu kemarahan Belanda.
Belanda pun meluncurkan serangan hingga berhasil menduduki Kerajaan Bone, sementara Arung Datu diasingkan.
Dalam pengasingan, Arung Datu masih berupaya menyerang, tetapi usahanya selalu dapat ditumpaskan pasukan Belanda.
Itulah bagaimana isi Perjanjian Bongaya yang semakin memperkuat VOC menjadi awal keruntuhan 2 Kerajaan Sulawesi tersebut.
(*)