Find Us On Social Media :

Tanah Abang Dulu Tempat Kemah Prajurit Mataram, Biar Mudah Kepung VOC

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 20 Juni 2024 | 13:12 WIB

Tanah Abang, sejak pertama kali dibangun oleh orang Eropa, memang ditujukan untuk kegiatan ekonomi rakyat kebanyakan.

Di bawah naungan Litsoecko, tanah bekas Bingam diperluas dua kali (1672 dan 1674). Letnan Tionghoa itu pun menjadi salah satu pemilik lahan termasyhur di Batavia. Tetapi sayang, si pemilik tanah meninggal tidak lama setelahnya.

Pengelolaan Tanah Abang dan lahan lainnya lalu dilanjutkan oleh istri Litsoecko. Dia meneruskan pekerjaan suaminya, dengan mengembangkan sisi barat Tanah Abang menuju Angke pada 1685. Akan tetapi Heemraad (pejabat Dewan Belanda) berpendapat bahwa lahan di Tanah Abang dan sekitarnya telalu besar untuk dikelola secara pribadi oleh seorang Tionghoa.

Maka berdasarkan surat keputusan tahun 1688, dengan mengabaikan dokumen tahun 1650 yang diterima dari Phoa Bingam, keluarga Litsoecko menerima sebidang tanah, terdiri atas tiga bidang besar, seluas lebih kurang 800 hektar. Menurut Sven, ukurannya masih delapan kali Koningsplein (kini Lapangan Monas), kira-kira sama seperti sebelum diperluas pada 1672 dan 1674.

Pembukaan pasar Tanah Abang

Setelah istri Litsoecko wafat, tanah keluarga tersebut dibagikan ke sejumlah ahli waris. Salah seorang di antaranya kemudian menjual sebidang tanah kepada Joan de Sousa pada 1705, seharga 6.000 Rijksdaalders. Harga yang sangat tinggi jika dibandingkan masa Phoa Bingam.

De Sousa lalu menjual sebagian lahannya kepada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck pada 1705, seharga 600 Rijksdaalders. Tanah yang dimiliki oleh Riebeeck ini adalah Tanah Abang dan sekitarnya, termasuk di dalamnya wilayah selatan Pasar Tanah Abang hingga Rijswijkstraat (Jalan Majapahit), dan ke utara hingga Koningsplein Zuid (Jalan Medan Merdeka Selatan).

Pada 1706, Riebeeck memperluas lahan miliknya di Tanah Abang, dengan membeli dua bidang tanah di sepanjang Sungai Krukut. Dia terus memperbesar kepemilikan tanahnya di sekitar Tanah Abang pada tahun-tahun berikutnya.

Riebeeck juga menjadi orang pertama yang membangun rumah berdinding bata di Tanah Abang, karena para pemilik sebelumnya hanya mendirikan bangunan berbahan bambu. Lokasi rumah Riebeeck berada di lahan bekas pabrik gula milik Phoa Bingam, Tanah Abang Bukit.

Riebeeck tidak lama menikmati kekayaannya di Tanah Abang. Dia wafat pada 1713, setelah terkena penyakit disentri saat melakukan perjalanan ke gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat.Istrinya gagal mewarisi harta peninggalan Riebeeck karena dia pun wafat setahun kemudian.

Warisan milik Riebeeck akhirnya dipindahkan kepada menantunya, Gerrit van Oosten, yang menikah dengan putri Riebeeck, Elisabeth. “Tidak diketahui apa yang terjadi dengan lahan Tanah Abang selama dua dekade ke depan,” ujar Sven.

Selama periode “kekosongan” di Tanah Abang, tidak diketahui siapa pemiliknya. Baru pada 10 Januari 1733, Landdrost (setara hakim) Justinus Vinck menjadi tuan tanah di Tanah Abang. Dia membeli tanah tersebut seharga 12.600 Rijksdaalders dari Johanna Catharina Pelgrom, janda dari Direktur Jenderal Perdagangan Anthonij Huijsman.

Dalam dokumen yang diterimanya, Vinck berhak atas: tujuh buah lahan, sebidang tanah hortikultura, rumah bata, dua kandang sapi, dan berbagai bangunan lainnya di sekitar Sungai Krukut, serta Tanah Abang. Dia juga mendapat sejumlah budak, perabotan rumah lengkap, dan hewan-hewan ternak yang diternakan di sana.