Find Us On Social Media :

Tanah Abang Dulu Tempat Kemah Prajurit Mataram, Biar Mudah Kepung VOC

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 20 Juni 2024 | 13:12 WIB

Tanah Abang, sejak pertama kali dibangun oleh orang Eropa, memang ditujukan untuk kegiatan ekonomi rakyat kebanyakan.

Tanah Abang, seperti diceritakan Hembing Wijayakusuma dalam Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, menjadi salah satu poros utama perlawanan orang-orang Tionghoa terhadap VOC. Selain sebagai salah satu pusat kegiatan orang-orang Tionghoa di Batavia, di tempat itu juga para pemberontak menghimpun kekuatan. Maka tidak heran jika Van Imhoff, sebagaimana misinya “membersihkan” warga etnis Tionghoa, melakukan penyerangan secara masif ke wilayah Tanah Abang.

Tragedi berdarah tersebut telah memberikan dampak besar terhadap kegiatan kemasyarakatan di Tanah Abang. Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe, menyebut jika Pasar Tanah Abang mengalami kelumpuhan hingga 20 tahun lamanya. Hal itu merupakan buntut dari kebijakan baru Belanda terhadap orang-orang Tionghoa selepas ketegangan di antara keduanya.

Para pedagang Tionghoa, yang semula menguasai distribusi barang-barang di pasaran Batavia, tidak lagi mendapatkan kebebasan dalam kegiatan berniaga mereka. Pemerintah Belanda amat membatasi gerak-gerik mereka.

Perlahan, hubungan VOC dengan orang-orang Tionghoa membaik. Mereka kembali memperoleh hak mengelola perdagangan di Batavia. Malah, imbuh Abdul Chaer, orang-orang Tionghoa diberi kekuasaan untuk memungut cukai pasar.

Tidak sampai di situ, orang Tionghoa juga diberi izin mengelola candu di sekitar Pasar Tanah Abang. Momentum itu dimanfaatkan oleh para pedagang untuk mengoperasikan kembali kegiatan niaga di Tanah Abang.

Penguasa pertama orang Tionghoa

Nama Tanah Abang diketahui pertama kali muncul pada abad ke-17. Mengutip PD Pasar Jaya, Pasar Tanah Abang 250, diperkirakan nama itu berasal dari tentara Kesultanan Mataram (Jawa Tengah) ketika melakukan penyerbuan ke Batavia pada 1628.

Penyerangan yang dipimpin oleh Sultan Agung tersebut, menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, dilakukan untuk menghentikan kekuasaan VOC atas Pulau Jawa.Tentara Mataram mengepung kota Batavia –usianya saat itu belum genap 10 tahun sejak didirikan tahun 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen– tidak hanya dari arah laut di utara, tetapi juga dari selatan.

Tentara Mataram lalu mendirikan sebuah perkemahan sebagai basis pertahanan mereka di Batavia. Mereka memilih sebuah tanah berbukit dengan rawa-rawa di sekelilingnya. Di tempat yang juga dilalui aliran Kali Krukut tersebut, tentara Mataram melihat tanahnya berwarna merah. Dalam bahasa Jawa sendiri “merah” disebut abang. Sehingga mereka pun menamai tanah perbukitan itu Tanah Abang.

“Ambisi Sultan Agung tidak seimbang dengan kemampuan militer dan logistiknya sehingga telah membawa dirinya ke dalam kehancuran di depan Batavia,” tutur Ricklefs.

Setelah ditinggalkan tentara Mataram, Tanah Abang dibiarkan begitu saja. Baru pada 1650, sebuah pemukiman baru didirikan di sana. Dikisahkan Herald van der Linde dalam Jakarta: History of a Misunderstood City, pemukiman tersebut dibangun oleh seorang Kapiten Tionghoa bernama Phoa Bing Gam, yang oleh orang Belanda namanya sering disebut Phoa Bingam.

Pemukiman milik Phoa Bingam itu tercatat sebagai pemukiman pertama di Tanah Abang. Sebelum membangunnya, Phoa Bingam sudah terlebih dahulu mendirikan perkebunan tebu dan pabrik tebu tidak jauh dari sana, di sebuah tempat yang dikenal sebagai Bingamshoogte (Puncak Bingam), tetapi di tahun-tahun berikutnya dikenal sebagai Tanah Abang Heuvel (Tanah Abang Bukit).