Find Us On Social Media :

Ketika Buya Hamka Yakin Islam Yang Masuk Ke Indonesia Langsung Dari Arab

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 3 Juni 2024 | 13:01 WIB

Teori yang menganggap bahwa Islam masuk ke indonesia melalui para saudagar arab yang berasal dari daerah Makkah berdasarkan acuan dari berita Cina Dinasti Tang tang dikemukakan oleh Buya Hamka.

Teori yang menganggap bahwa Islam masuk ke indonesia melalui para saudagar Arab yang berasal dari daerah Makkah berdasarkan acuan dari berita Cina Dinasti Tang dikemukakan oleh siapa?

Intisari-Online.com - Setidaknya ada lima teori masuknya Islam ke Indonesia. Teori Gujarat, Teori Makkah atau Arab, Teori Persia, Teori Cina, dan Teori Coromandel. Masing-masing teori punya argumentasinya masing-masing.

Salah satu teori yang paling populer adalah Teori Makkkah yang dikemukakan oleh Buya Hamka. Teori itu dia kemukakan pada seminar tentang masuknya Islam di Nusantara yang digelar di Medan, Sumatera Utara, pada 1963.

Dalam seminar itu, menurut Rusydi Hamka dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka (2016), dialah yang paling gigih membantah teori lama dari para orientalis tentang saat dan asal masuknya Islam ke Nusantara. Teori yang dikemukakan Hamka itu berlandaskan catatan Dinasti Tang dari Cina yang menyebut bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi. Dalam catatan itu, disebutkan bahwa telah ditemukan permukiman pedagang Arab Islam di Pantai Barat Sumatera.

---

Nama lahirnya adalah Abdul Malik Harim Amrullah, Buya Hamka dikenal sebagai seorang ulama, pahlawan nasional, sekaligus sastrawan pilih tanding. Dia juga termasuk salah satu tokoh yang punya sumbangsih besar terhadap perkembangan Persyarikatan Muhammadiyah hingga saat ini.

Buya Hamka juga pernah aktif di Partai Masyumi. Aktivitasnya itulah yang kemudian membuatnya sempat dipenjara oleh rezim Orde Lama karena dikaitkan dengan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Buya Hamka lahir di Tanah Sirah, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Hamka sendiri merupakan nama pena yang dia gunakan dalam tulisan-tulisannya, singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

Ayah Hamka, Abdul Karim Amrullah, bukan orang sembarangan. Masyarakat setempat memanggilnya dengan Haji Rasul, karena kesohorannya sebagai tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. 

Saat usianya empat tahu, Hamka dan keluarga pindah dari Maninjau ke Padang Panjang. Di sana, dia belajar membaca Al Quran dan bacaan salat dengan dibantu oleh kakak tirinya. Pada 1915, Hamka masuk ke Sekolah Desa, di mana ia belajar pengetahuan umum. Sorenya, dia ikut pendidikan agama di Diniyah School, yang dirintis oleh Zainuddin Labay El Yunusy.

Pada 1918, Hamka berhenti dari Sekolah Desa dan masuk ke Thawalib yang merupakan organisasi pendidikan Islam paling awal di Indonesia, atas arahan sang ayah. Tapi dia merasa kurang puas dengan keadaan pendidikannya saat itu, sehingga memilih untuk mengunjungi perpustakaan yang dikelola oleh salah satu gurunya, Afiq Aimon Zainuddin.

Baca Juga: Jelaskan Alasan Buya Hamka Yang Berkeyakinan Bahwa Islam Dibawa Langsung Oleh Saudagar Dari Makkah

Dan di sinilah Hamka mulai mengarahkan pandangannya untuk pindah ke Jawa, setelah membaca buku-buku tentang Jawa Tengah. Karena minatnya yang kurang untuk belajar di Thawalib, setelah empat tahun, ia keluar.

Setelah orangtuanya bercerai, Hamka semakin kuat keinginannya berangkat ke Pulau Jawa. Pada 1924, dia meninggalkan Sumatera dengan pandangan bahwa ajaran Islam di Jawa jauh lebih maju dari segi struktur dan organisasi.

Di Jawa, dia tinggal di Yogyakarta bersama pamannya, Amrullah Ja'far, yang mengenalkannya pada Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Di Jogja, Hamka juga belajar di bawah bimbingan banyak ahli, seperti Bagoes Hadikoesoemo, Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto.

Hamka juga pergi ke Bnadung untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi, seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir, yang memberinya kesempatan untuk menulis di majalah Pembela Islam.

Pada 1925, dia berkunjung ke Pekalongan untuk belajar dari Sutan Mansur Ahmad Rasyid, yang saat itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Dari sinilah, ia mulai memberikan ceramah agama di beberapa tempat dan memiliki semangat baru dalam mempelajari Islam.

Setelah setahun tinggal di Pulau Jawa, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang. Di sana dia menulis untuk majalah pertamanya, Chatibul Ummah, yang berisi kumpulan khotbah yang dia dengarkan di Surau Jembatan Besi dan Tabligh Muhammadiyah.

Tapi sayang, kehadiran Hamka di Padang Panjang tak disambut dengan antusias oleh masyrakat. Bahkan oleh ayahnya sendiri. Hamka kerap dikritik dan dicemooh sebagai ulama yang tidak berpengalaman dan tidak bisa berbahasa Arab.

Karena itulah dia berniat pergi ke Mekkah dan berangkat pada 1927. Selain untuk pergi haji, di Mekkah dia ingin memperluas pengetahuan agamanya serta memperdalam kemampuan bahasa Arab. 

Di sanalah dia bertemu dengan Haji Agus Salim, tokoh berdarah Minang lainnya. Hamka kemudian secara rutin menjadi koresponden untuk harian Pelita Andalas serta bekerja di sebuah perusahaan percetakan.

Seiring berjalannya waktu, Haji Agus Salim menyarankannya untuk membagikan ilmunya di Tanah Air--padahal dia ingin menetap di Mekkah. Tapi alih-alih kembali ke Padang Panjang, Hamka memilih tinggal di Medan.

Selama di Medan, dia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan mengirimkan tulisannya ke surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah. Pada 1928, Hamka diangkat sebagai redaktur majalah Kemajuan Zaman yang didasarkan pada hasil mufakat Muhammadiyah di Padang Panjang.

Setelah itu, dia aktif menulis beberapa buku, termasuk novel terkenal, Di Bawah Lindungan Kabah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada 1927. Setelah novel ini terbit pada 1938, Buya Hamka menulis beberapa novel, berikut beberapa di antaranya Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Merantau ke Deli, dan lain sebagainya.

Saat Jepang menguasai Indonesia, Hamka sempat diangkat sebagai penasihat agama Jepang. Dia menerima posisi ini karena janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tapi di sisi lain, jabatan ini membuat dirinya menjadi sasaran kritik karena dituduh sebagai kaki tangan penjajah oleh banyak orang.

Kemudian, pada masa Revolusi, Buya Hamka turut berjuang untuk mengusir Belanda dengan bergabung bersama gerilyawan di hutan-hutan di Medan.

Di Muhammadiyah, Hamka pernah menduduki jabatan-jabatan penting. Mulai dasri Ketua Muhammadiyah Cabang Padang Panjang, Anggota tetap Majelis Muhammadiyah wilayah Sumatera Tengah, Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur, hingga Penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah.

Ketika Indonesia sudah merdeka, Hamka dan keluarga memutuskan pindah ke Jakarta. Di Ibu Kota, Hamka ditunjuk sebagai pegawai Kementerian Agama dan ditugaskan untuk mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta.

Di masa setelah kemerdekaan itu juga, Hamka semakin aktif di Masyumi--yang akhirnya dibubarkan karena dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI. Karena keterlibatannya di Masyumi, pada 27 Januari 1964, Buya Hamka dipenjara karena dituduh menggelar rapat gelap di Tangerang untuk merencanakan pembunuhan terhadap menteri agama dan Presiden Soekarno.

Dia juga disebut akan melakukan kudeta terhadap pemerintah atas sokongan dari Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdul Rahman.

Tapi tuduhan itu tak terbukti. Meski begitu, Buya Hamka tetap ditahan selama dua tahun empat bulan. Buya Hamka baru dibebaskan pada 1966 dan setelah itu kembali melanjutkan kiprahnya sebagai tokoh Islam.

Pada 26 Juli 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibentuk dan Buya Hamka ditunjuk untuk menjadi ketua pertamanya. Setelah banyak bersumbangsih untuk Indonesia, baik dalam bidang politik, sastra, dan keagamaan, Buya Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Jasadnya dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta.

Selama 57 tahun berkarya, Buya Hamka telah melahirkan 84 judul buku. Untuk mengenang jasanya bagi Indonesia, Buya Hamka ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2011.

---

Buya Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh yang mendukung Teori Mekkah, yang menyatakan bahwa pengaruh Islam masuk ke Nusantara pada sekitar abad ke-7, dibawa langsung oleh para pedagang Arab.

Landasan teori Buya Hamka yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia berasal dari Arab adalah Hikayat Raja-raja Pasai. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai, disebutkan bahwa Syaikh Ismail datang dari Mekkah melalui Malabar menuju Pasai dan mengislamkan rajanya, Merah Silu, yang kemudian bergelar Malik al-Shalih.

Menurut Hamka, orang-orang Arab punya peran sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia lalu diikuti oleh orang dari bangsa Persia serta orang-orang dari bangsa Gujarat. Menurutnya, Gujarat adalah salah satu tempat singgah sementara Mekah dan Mesir merupakan pusat dari tempat pengambilan ajaran Islam tersebut.

Karena itulah dia menyimpulkan, Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 atau kira-kira pada pertengahan hijriyah. Pandanga itu juga dikuatkan dengan argumen Hamka bahwa mazhab Syafii memiliki pengaruh besar di Indonesia serta Mekah.

Ada beberapa argumen yang biasanya dipakai untuk menguatkan Teori Mekkah ala Hamka.

T.W Arnold, salah satu pendukung Teori Arab, menyebut, banyak pedagang Arab yang mendominasi dalam perdagangan di daerah Coromandel hingga Malabar. Peristiwa dominasi pedagang Arab tersebut terjadi pada sekitar abad ke 7 hingga 8 masehi, di mana para pedagang Arab yang mendominasi wilayah Coromandel hingga Malabar pun akhirnya berpindah ke Indonesia dan turut menyebarkan agama Islam di Indonesia.

Ada juga Crawfurd yang melibat bahwa Islam memiliki kaitan dalam perkembangan di Indonesia serta di Arab. Crawfurd menilai bahwa Islam di Indonesia memiliki persamaan pada mazhab dengan mazhab yang ada di Mekah serta Mesir yaitu mazhab Syafii. Pendapat Crawfurd mengenai mazhab tersebut sejalan dengan pendapat Buya Hamka pada teori Mekah.

Isi Teori Mekkah

Teori Mekah yang digagas oleh Buya Hamka ini mengatakan, proses masuknya agama Islam ke nusantara adalah langsung dari Mekah atau Arab. Teori Mekah ini juga menolak atau mengoreksi proses masuknya Islam ke Indonesia dari Gujarat.

Proses masuknya Islam ke Indonesia menurut teori Mekah adalah pada abad pertama di tahun Hijiriah atau tepatnya pada abad ke 7 M. Teori Mekah ini disampaikan oleh Buya Hamka melalui salah satu orasinya yang ia sampaikan pada dies natalis Perguruan Tinggi Islam Negeri atau PTIN di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pada orasinya tersebut, Buya Hamka menjelaskan bahwa ia menolak seluruh argumentasi dari para sarjana Barat yang mengemukakan, bahwa agama Islam datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab, melainkan dari Gujarat atau Persia.

Bahkan, Buya Hamka turut menyertakan bukti yang ia pakai untuk menggagas teori Mekah ini. Bukti-bukti yang dipakai oleh Buya Hamka ia sumber lokal di Indonesia serta sumber-sumber dari Arab.

Menurut Buya Hamka, agama Islam datang ke Indonesia pertama kali karena motivasi awal kedatangan orang Arab di nusantara tidak dilandasi oleh nila ekonomi, tetapi adalah untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia.

Menurut pandangan Buya Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dan Arab ini telah berlangsung dan ada jauh sebelum Tarikh masehi.

Salah satu dasar teori Mekah ini adalah hadirnya perkampungan di Sumatera bagian barat yang saat itu di Timur Tengah Khalifah Umar bin Khatab ingin menyebarkan agama Islam. Kemudian, Khalifah Umar bin Khatab pun mengirimkan delegasinya ke China, tetapi delegasinya tersebut singgah terlebih dahulu di Indonesia karena melewati jalur laut. Lalu, para delegasi tersebut akhirnya mendirikan sebuah perkampungan yang ada di Sumatera bagian barat pada Dinasti Umayah.

Dasar teori yang kedua adalah mazhab sayfii yang dianut oleh kerajaan Samudera Pasai, yaitu mazhab yang sama yang digunakan di Arab dan kini banyak dianut pula pleh masyarakat muslim Indonesia. Kemudian dasar teori yang ketiga adalah gelar yang dipakai oleh raja di Samudera Pasai sama dengan gelar yang dipakai raja di Arab yaitu Al Malik dan gelar tersebut berasal dari Mesir.

Melalui teori Mekah ini, Buya Hamka sekaligus menolak dan menyanggah teori Gujarat yang mengatakan agama Islam masuk ke Indonesia melalui India, karena teori Gujarat tersebut memiliki banyak kelemahan.

Buya Hamka juga terang-terangan menaruh curiga dan prasangkan pada para penulis orientasli Barat yang cenderung memojokan Islam di Indonesia. Menurut Buya Hamka, penulis Barat telah melakukan berbagai macam upaya yang sistematik untuk dapat menghilangkan keyakinan dari negeri yang ada di Melayu mengenai hubungan kerohanian yang mesra antara masyarakat negeri Melayu serta tanah di Arab Saudi, sebagai sumber utama agama Islam di Indonesia untuk menimba ilmu agama Islam.

Jadi, teori yang menganggap bahwa Islam masuk ke indonesia melalui para saudagar arab yang berasal dari daerah Makkah berdasarkan acuan dari berita Cina Dinasti Tang tang dikemukakan oleh Buya Hamka.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News