Find Us On Social Media :

Pemerintah Orde Baru Melakukan Penyerdehanaan Partai Politik Pada 1973, Ini Tujuannya

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 25 Mei 2024 | 20:06 WIB

Pemerintah Orde Baru melakukan penyederhanaan partai politik pada 1973, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Tujuannya untuk stabilitas ekonomi.

Intisari-Online.com - Setidaknya enam kali Orde Baru menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu).

Salah satu pemilu zaman Orde Baru yang menarik perhatian adalah Pemilu 1977, di mana saat itu hanya diikuti oleh dua partai politik dan satu Golongan Karya, yang diputuskan (fusi) pada 1973.

Pemerintah Orde Baru melakukan penyederhanaan partai politik pada 1973, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.

Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi, pemerintah Indonesia di masa Orde Baru menggelar pemilihan umum (pemilu).

Pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru dilakukan sebanyak enam kali, yaitu pada 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Partai peserta pemilu Orde Baru

Pemilu pada masa Orde Baru dilaksanakan sebanyak enam kali, yang dimulai pada 1971 dan pemilu terakhir berlangsung pada 1997.

Dari enam kali pemungutan suara tersebut, hanya Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 partai politik (parpol).

Sepuluh parpol yang dimaksud adalah Golkar, PNI, NU, PSII, Parmusi, IPKI, Perti, Parkindo, Murba, dan Partai Katolik.

Setelah Pemilu 1971, pemungutan suara di masa Orde Baru hanya diikuti tiga partai politik (fusi pertai politik).

Baca Juga: Dalam Kekaryaan ABRI, Makna Konsep Dwifungsi ABRI Adalah Berikut Ini

Hal itu berkaitan dengan kebijakan penyederhanaan partai politik pada masa Orde Baru, yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas politik di Indonesia.

Sistem ini digagas oleh Presiden Soeharto.

Fusi Partai Politik atau penyederhanaan (penggabungan) partai tahun 1973 merupakan kebijakan yang dibuat oleh Presiden Soeharto.

Tujuan Fusi Partai Politik atau Fusi Parpol sendiri adalah untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebijakan Fusi Parpol dianggap sebagai syarat utama untuk mencapai pembangunan ekonomi Indonesia.

Latar Belakang Fusi Parpol

Diberlakukannya kebijakan Fusi Parpol didasari oleh tidak stabilnya politik pada masa Orde Baru yang disebabkan oleh sistem kepartaian.

Selain itu, diketahui juga bahwa partai politik pada era Orde Baru sangatlah banyak, sehingga memunculkan banya ideologi sekaligus kepentingan partai.

Pemilihan umum tahun 1955 telah melahirkan sampai 29 partai yang masih ditambah dari perorangan atau independen.

Karena itulah pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno melakukan Fusi Parpol berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960.

Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 mengatur tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai politik.

Pada tanggal 14 Mei 1960, diumumkan bahwa hanya ada 10 partai politik yang mendapat pengakuan dari pemerintah.

Sejak saat itu, kebijakan Fusi Parpol terus berlangsung sampai Presiden Soekarno melepas jabatannya dan digantikan oleh Presiden Soeharto.

Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan Fusi Partai Politik atau penggabungan partai politik tahun 1973 pada era Orde Baru.

Pro dan Kontra

Sebenarnya, gagasan Fusi Parpol sudah sempat tertuang dalam Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966.

Kemudian, ide Fusi Parpol juga pernah disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidatonya di Kongres XII PNI tanggal 11 April 1970 di Semarang.

Awalnya, gagasan Fusi Parpol diterima dengan baik oleh berbagai partai, seperti Partai Nasional Indonesia dan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Setelah itu, Ketua Partai Muslimin Indonesia Djarnawi Hadikusumo juga menyatakan bahwa kebijakan Fusi Parpol sesuai dengan rencana yang dibuat Kongres Umat Islam 1969.

Sementara itu, sikap kontra turut diperlihatkan oleh Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik.

Mereka menolak untuk dimasukkan dalam golongan spirituil dan lebih memilih untuk bergabung dalam golongan nasionalis.

Fusi Parpol

Pada Pemilu 1971, Partai Golkar unggul dengan mengantongi suara sebanyak 62,8 persen (236 kursi DPR).

Kemudian, suara terbanyak kedua diperoleh Partai Nahdlatul Ulama (NU) dengan suara sebanyak 18, 6 persen (58 kursi).

Posisi ketiga diraih oleh PNI yang hanya meraih 6,9 persen suara (20 kursi).

Sementara itu, partai-partai lain, seperti Parkindo hanya mendapat tujuh kursi dan Partai Katolik memperoleh tiga kursi.

Sedangkan Partai Murba dan IPKI sama sekali tidak memperoleh kursi di DPR.

Dari hasil tersebut, di mana Golkar yang menguasai DPR dan MPR, maka MPR menyatakan bahwa pada Pemilu 1977 hanya akan ada tiga peserta saja.

Setelah itu, tanggal 5 Januari 1973, partai-partai Islam seperti NU, PSII, dan Perti membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Lima hari setelahnya, 10 Januari 1973, Kelompok Demokrasi Pembangungn memfusikan diri ke dalam satu partai bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Meskipun beberapa partai telah memfusikan diri, partai-partai tersebut tetap tidak bisa bebas bergerak.

Presiden Soeharto berhasil menyetir PPP dan PDI lewat Direktorat Sospol di TNI AD dan Kementerian Dalam Negeri.

Empat tahun berselang, tahun 1977, PPP, PDI, dan Golkar bertarung dalam Pemilu 1977 untuk memilih calon anggota DPR dan DPRD.

Hasilnya, Golkar kembali unggul dengan perolehan suara 62, 1 persen.

Dampak Fusi Parpol

Meskipun tujuan Fusi Parpol adalah untuk menstabilkan politik, Fusi Parpol justru memberikan dampak baru, yaitu konflik dalam tubuh partai politik baik secara intern maupun ekstern.

Ditambah lagi dengan adanya UU RI No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya di mana parpol tidak dapat menjalankan fungsi mereka sebagaimana mestinya.

Dalam perkembangannya, Fusi Parpol justru hanya dijadikan sebagai langkah awal Presiden Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.

Begitulah, pemerintah Orde Baru melakukan penyederhanaan partai politik pada 1973, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Tujuannya adalah untuk stabilitas politik.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News