Find Us On Social Media :

Gawat, Sosok Ini Sebut Kasus Vina Cirebon Sebagai Rekayasa Penyidik Polres Cirebon Kota Dan Penuh Kejanggalan

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 19 Mei 2024 | 15:17 WIB

Kuasa hukum para terpidana kasus Vina Cirebon menyebut kasus tersebut penuh kejanggalan, bahkan menyebut itu sebagai rekayasa polisi.

Intisari-Online.com - Ada begitu banyak kejanggalan terkait kasus Vina Cirebon.

Ini adalah kasus pembunuhan yang terjadi pada 2016 lalu yang menewaskan Vina Dewi dan kekasihnya, Eky.

Kasus ini kembali viral dan jadi perbincangan setelah tayang film dengan judul "Vina" di bioskop-bioskop Indonesia.

Seperti apa kejanggalan-kejanggalan itu?

Mengutip laporan Tribunnews.com, delapan terpidana kasus pembunuhan dan pemerkosaan Vina Cirebon disebut merupakan korban rekayasa polisi.

Vina dan kekasihnya, Eki, dikabarkan dibunuh oleh 11 anggota geng motor pada 27 Agustus 2016 lalu.

Delapan dari 11 pelaku sudah ditangkap dan diadili, sedangkan tiga orang masih buron.

Sebanyak tujuh pelaku masuk kategori dewasa dan divonis hukuman penjara seumur hidup: Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, Sudirman, dan Rivaldi.

Sementara, satu pelaku atas nama Saka Tatal divonis hukuman penjara 8 tahun karena saat itu masih di bawah umur.

Kini, tiga kuasa hukum dari delapan terpidana, yakni Jogi Nainggolan, Titin Prialianti, dan Widyaningsih mengungkapkan bahwa para terpidana ini bukanlah pembunuh Vina dan Eki.

Jogi Nainggolan mengatakan, terdapat banyak kejanggalan dalam penetapan tersangka kasus ini.

"Ini kasus ada rekayasa dari penyidik Polres Cirebon Kota,” kata Jogi di Cirebon, Sabtu (18/5).

Dia bilang, kasus itu direkayasa lantaran kedelapan terpidana tidak mengenal korban Vina dan Eki, serta tiga pelaku yang masih buron.

“Bagaimana mungkin klien kami yang tidak kenal DPO (daftar pencarian orang/buron) itu duduk sebagai terdakwa,” ucap dia.

Selain itu, tujuh terpidana tinggal di daerah Kesambi, Cirebon, tidak mengenal terpidana Rivaldi yang tinggal di Perumnas.

Jogi juga menegaskan, kedelapan terpidana bukan anggota geng motor yang selama ini disebutkan polisi.

Mereka adalah buruh bangunan.

Tujuh terpidana tengah berkumpul di malam hari saat Vina dan Eki dibunuh.

Mereka juga tidak naik sepeda motor lalu mengejar Vina serta Eki.

Lebih lanjut, Jogi juga membantah jika kliennya melakukan pemerkosaan terhadap Vina.

Kala itu, pihaknya sudah berupaya menunjukkan bukti bahwa kliennya bukanlah pelaku pembunuhan Vina dan Eki serta bukan pelaku pemerkosaan Vina.

Dia bahkan sudah mengajukan praperadilan, tetapi tak berhasil.

Sementara itu, Titin mengatakan, dia meyakini bahwa delapan terpidana kasus Vina bukanlah pelaku yang sebenarnya.

“Kami yakin terpidana yang ada di dalam (penjara) bukan pelakunya. Ini berdasarkan fakta persidangan, bukan BAP,” sambung Titin.

Titin Prialianto, sebagai kuasa hukum dua terpidana Saka Tatal dan Sudirman dalam kasus Vina Cirebon mengungkapkan bahwa di persidangan kasus pembunuhanan Vina tidak membahas soal pemerkosaan.

"Di dalam persidangan tidak pernah bercerita tentang masalah pemerkosaan ya pak, inget ya pak," ujar Titin ditemui di Cirebon, Sabtu (18/5).

Dia menambahkan bahkan di dalam dakwaan tidak disebutkan terkait pemerkosaan.

“Di dalam dakwaan tidak ada masalah pemerkosaan,” ungkapnya.

Jogi menambahkan, tujuannya mengungkap kejanggalan ini adalah untuk mengklarifikasi narasi yang berkembang di masyarakat.

Terutama mengklarifikasi pernyataan para pakar yang notabene tak mengetahui secara detail terkait perjalanan kasus ini.

Jogi menuturkan, lima terpidana yang menjadi kliennya yakni Eko Ramdani bin Kosim, Hadi Saputra Kasanah, Jaya bin Sabdul, Eka Sandy bin Muran, dan Supriyanto bin Sutadi, berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Lima terpidana tersebut juga bekerja sebagai pekerja bangunan.

"Pertama, kami kuasa hukum dari delapan terpidana kasus Vina, khususnya saya menerima kuasa 5 terdakwa yang notabenenya dari keluarga yang tidak mampu," katanya.

"Mereka adalah pekerja bangunan, yang mana tersangka-tersangka ini sudah dilimpahkan ke Polda Jabar."

Menurut Jogi, selama proses BAP di Polres Cirebon Kota, kliennya mendapatkan tekanan fisik atau kekerasan fisik.

Terlebih saat pelaksanaan BAP, kliennya tidak didampingi oleh kuasa hukum.

"Justru saat BAP lah, klien kami mendapatkan tekanan atau perlakuan fisik seperti foto-foto yang tersebar di media sosial sekaligus ini."

"Keterangan yang disampaikan mereka di BAP di Polres Cirebon Kota itu penuh tekanan, karena saat itu tidak didampingi lawyer dan saat itu para terpidana ini mendapatkan perlakuan fisik seperti foto-foto yang tersebar di media sosial," terang Jogi.

Adanya kekerasan saat BAP ini pun menjadi kejanggalan pertama yang diungkap oleh tim pengacara dari para tersangka kasus pembunuhan Vina dan Eki.

Kejanggalan kedua diungkap oleh Titin, pengacara dari terpidana Saka Tatal dan Sudirman.

Titin mengungkapkan, para terdakwa yang selama ini berada dalam sel bukanlah pelaku pembunuhan.

Oleh karena itu Tintin merasa sangat kecewa dengan vonis seumur hidup yang diberikan kepada terdakwa.

Karena menurut Titin, fakta penyebab kematian korban dalam tuntutan berbeda dengan hasil visum dan autopsi.

Titin menjelaskan, dalam tuntutan korban disebut meninggal karena tusukan di dada dan perut.

Namun hasil visum dan autopsi tidak ditemukan adanya luka akibat tusukan benda tajam.

"Saya ingat betul beberapa saya sampaikan itu, saya ingat betul ketika vonis seumur hidup disampaikan, saya kecewa karena faktanya dalam tuntutan korban meninggal karena tusukan di dada dan perut."

"Tetapi, hasil visum atau autopsi tidak ada luka akibat tusukan benda tajam, itu fakta pertama,” terang Titin.

Selanjutnya, pakaian korban yang diperlihatkan di persidangan juga dalam kondisi utuh.

Jika memang korban mendapat luka tusukan benda tajam, maka seharusnya ada bekas lubang atau bolongan dari benda tajam tersebut.

"Semua kuasa hukum terpidana melihatnya. Jadi kami semua melihat baju yang diperlihatkan di persidangan dan saat dilakukan autopsi baju itu kan dikubur dan diangkat kembali secara utuh."

"Tidak ada bekas bolongan atau tusukan samurai yang disebut dalam tuntutan pendek dan samurai panjang. Itu baju atas nama Eki, karena tuntutan yang disabet pakai samurai itu Eki," jelas Titin.

Oleh karena itu, Titin merasa ada perbedaan yang mencolok antara tuntutan dengan hasil visum korban.

"Sekali kami sampaikan, kami berbicara fakta persidangan, kalau rekayasa saya tidak tahu, karena saat BAP tidak didampingi oleh kami, kita berbicara fakta persidangan. Sangat tidak sesuai antara antara tuntutan dengan fakta visum dan forensik," tegas Titin.

Kejanggalan ketiga, kematian korban digambarkan sama yakni karena benturan di belakang kepala tanpa adanya sabetan.

"Nah digambarkan kematiannya sama, karena benturan di belakang kepala tapi tidak ada sabetan," imbuh Titin.

Kejanggalan keempat, Titin lantas mengungkap tak adanya bahasan soal rudapaksa di persidangan.

Soal temuan sperma juga tak bisa dijelaskan oleh dokter, terutama terkait pemilik sperma tersebut.

"Fakta lainnya, di dalam persidangan tidak pernah dibahas soal perkosaan."

"Sementara, kalau dari hasil pertama kali datang ditemukan sperma, cuma tidak juga dijelaskan sperma itu milik siapa, dokter juga tidak bisa menjelaskan itu," ujar Titin.

Atas kejanggalan-kejanggalan tersebut, Titin pun berharap adanya penyelidikan ulang atas kasus pembunuhan Vina dan Eki ini.

Karena menurut Titin, para terdakwa tidak ada sangkut pautnya dengan kasus pembunuhan Vina dan Eki.

"Ya tentu, kami berharap ada penyelidikan ulang yang terhadap kasus ini, kasihan klien kami ini sebenarnya korban, karena tidak ada sangkut pautnya sama kasus Vina dan Eki," imbuh Titin.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News