Find Us On Social Media :

Berlumur Darah, Inilah Tonggak Sejarah Yang Menandai Lahirnya Orde Baru

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 23 Februari 2024 | 12:17 WIB

Ada beberapa peristiwa yang menjadi tonggak sejarah yang menandai lahirnya Orde Baru, mulai dari Supersemar hingga pembantaian pasca-1965.

Intisari-Online.com - Ada beberapa peristiwa yang menjadi tonggak sejarah yang menandai lahirnya Orde Baru.

Selain Supersemar yang misterius itu, ada juga pembantaian pasca-1965 yang berdarah itu.

Begini penjelasannya.

Surat Perintah 11 Maret 1966 alias Supersemar disebut menjadi salah satu simbol penyerahan mandat kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto pada 11 Maret 1966.

Supersemar dianggap sebagai peristiwa sejarah penting bagi Indonesia karena merupakan tonggak lahirnya Orde Baru.

Bagaimanapun juga, Sumersemar adalah membuka jalan bagi Soeharto untuk naik menjadi presiden dan mengubah tatanan Orde Lama yang dibangun Soekarno.

Menurut sejarawan MC Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2007), Demokrasi Terpimpin Soekarno mulai runtuh pada Oktober 1965.

Peristiwa G30S menimbulkan kekacauan politik.

Di sisi lain, kondisi sosial juga kacau karena tingginya inflasi.

Masalah-masalah ini memicu amarah masyarakat. Gelombang demonstrasi dari berbagai unsur masyarakat bermunculan di berbagai daerah.

"Pada 2 Oktober, Soeharto mengakui perintah dari Sukarno untuk mengambil sendiri komando tentara," tulis Ricklefs.

Syaratnya, Soeharto-lah yang diberi kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban dan keamanan.

Memasuki tahun 1966, keadaan tak bertambah lebih baik. Inflasi mencapai 600 persen lebih.

Rakyat mendesak tiga hal yang dikenal dengan Tritura.

Isi Tritura yakni:

- Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)

- Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S

- Penurunan harga

Puncaknya pada 11 Maret 1966.

Demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran kembali terjadi di depan Istana Negara.

Demonstrasi ini didukung tentara.

Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.

Menurut laporan Harian Kompas, permintaan itu dititipkan Soeharto kepada tiga jenderal AD yang datang menemui Soekarno di Istana Bogor, 11 Maret 1966 sore.

Ketiga jenderal itu adalah Brigjen Amir Machmud (Panglima Kodam Jaya), Brigjen M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi).

Permintaan Soeharto dianggap biasa oleh Soekarno.

Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan.

Supersemar pada pokoknya memberi kewenangan pada Soeharo untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta jalannya pemerintahan.

Namun pada praktiknya, Supersemar diartikan Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno.

Setelah mengantongi Supersemar, Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.

Keputusan tersebut berisi:

1. Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang

2. Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun mendukung G30S

3. Pemurnian MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan MPRS sesuai UUD 1945.

Soekarno yang diasingkan tak bisa berbuat banyak.

Sementara Soeharto mendapat kekuasaan yang semakin besar.

Hingga pada 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di Sidang MPRS.

Pidato yang dikenal sebagai Nawaksara ini ditolak oleh MPRS.

Soekarno dianggap mengecewakan.

Dalam pidato itu, Soekarno bersikeras tidak mau membubarkan PKI.

Popularitas Soekarno kian tergerus.

Hingga pada 7 Maret 1967, Soekarno melepas jabatannya.

Soeharto ditunjuk untuk menjadi penjabat presiden lewat Sidang MPRS.

Soeharto resmi menjabat sebagai presiden pada 27 Maret 1968.

Pembantaian pasca-1965

Selain Supersemar, pembantaian berdarah pasca-1965 juga menjadi salah satu tonggak supermasi Orde Baru.

Ini adalah pembunuhan besar-besaran yang menargetkan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau orang-orang yang dianggap terkait dengannya yang dilakukan di Indonesia sejak 1965 hingga 1966.

Adapun sejumlah kelompok yang menjadi korban pembantaian PKI adalah orang-orang yang diduga simpatisan komunis, perempuan gerwani, anggota serikat buruh, etnis Tionghoa, dan para anasir sayap kiri lainnya.

Pembantaian PKI 1965 terjadi setelah peristiwa G30S.

Gerakan 30 September merujuk pada penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal TNI AD dan satu perwira, yang kemudian dibuang ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

PKI kemudian dituding menjadi dalang di balik peristiwa G30S.

Menindaklanjuti dugaan tersebut, upaya pembantaian PKI pun dilakukan sejak Oktober 1965 hingga 1966 di beberapa kota.

Termasuk Jawa dan Bali.

Sebelum mengulas lebih lanjut mengenai pembantaian PKI 1965, ketahui lebih dulu apa yang melatarbelakangi terjadinya aksi tragis tersebut.

Hal yang melatarbelakangi terjadinya pembantaian PKI 1965 adalah peristiwa G30S.

Peristiwa G30S terjadi pada malam pergantian tanggal 30 September 1965 ke 1 Oktober 1965.

Dalam tragedi tersebut sebanyak tujuh perwira TNI AD diculik dan dibunuh, lalu jasadnya dibuang ke Lubang Buaya.

Pada 1 Oktober 1965, sekitar pukul 07.00, pemimpin G30S yaitu Letnan Kolonel Untung Syamsuri mengumumkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) pusat di Jakarta.

Bahwa aksi ini untuk melindungi Presiden Soekarno yang kabarnya hendak dikudeta oleh Dewan Jenderal.

Letkol Untung sendiri diketahui terafiliasi dengan PKI.

Lebih lanjut, Dewan Jenderal yang dipercaya sejalan dengan Amerika Serikat dan anti-PKI.

Juga ingin menyingkirkan Soekarno yang kala itu lebih condong ke Uni Soviet dan anti-Barat.

Kabarnya, PKI mendapat informasi tentang Dewan Jenderal dari rekan mereka di militer yang merupakan simpatisan PKI.

Berbekal informasi itu, para perwira militer simpatisan PKI yang loyal kepada Soekarno pun secara diam-diam bergerak untuk mencegah terjadinya kudeta.

Letkol Untung bersama rekan-rekannya yang lain kemudian menyusun rencana penculikan tujuh perwira TNI.

Mereka diduga merupakan Dewan Jenderal untuk kemudian dibawa ke hadapan Presiden Soekarno.

Namun dalam praktiknya, semua rencana yang sudah disusun itu kacau-balau.

Ketujuh perwira TNI AD tersebut justru dibunuh dan jasadnya dibuang ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Dalam pelaksanaannya, tidak sedikit tokoh PKI yang terlibat dalam G30S.

Hal ini kemudian melahirkan sebuah narasi yang menyebutkan PKI merupakan dalang di balik terjadinya peristiwa G30S.

Aksi demonstrasi kemudian muncul di berbagai daerah yang menuntut agar pemerintah segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya.

Setelah G30S terjadi, Mayor Jenderal Soeharto dan kawan-kawannya menyalahkan PKI sebagai dalang G30S.

Merebaknya isu dugaan penyiksaan dan mutilasi terhadap tujuh perwira TNI AD di Lubang Buaya pun memicu pecahnya demonstrasi anti-PKI.

Soeharto mengirimkan pasukan terjun payung Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah Kolonel Sarwo Edhie ke Semarang, Jawa Tengah.

Sesampainya RPKAD di Semarang, warga membakar habis markas PKI, tentara menyapu bersih pedesaan dengan dibantu oleh penduduk setempat dalam membunuh orang-orang yang diduga komunis.

Sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966, sekitar 200.000 hingga jutaan anggota dan simpatisan PKI dibunuh oleh satuan tentara Indonesia dan milisi sipil yang antikomunis, dengan dikomandoi oleh Soeharto.

Pembantaian PKI 1965 terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Jawa, Bali, hingga Sumatera.

Setiap wilayah mengalami genosida yang berbeda-beda.

Akan tetapi, di semua wilayah, setiap anggota PKI dan tersangka simpatisannya menjadi sasaran utama.

Upaya pembantaian PKI 1965 semakin merebak setelah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar pada 11 Maret 1966.

Lewat Supersemar, Presiden Soekarno secara resmi menyerahkan kuasa untuk mengatasi keadaan kepada Soeharto.

Selanjutnya, Soeharto tanpa pikir panjang langsung menumpas PKI.

Setidaknya ada 500.000 orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dihabisi di berbagai penjuru Indonesia.

Ada pula yang dipenjara hingga puluhan tahun, salah satunya Kolonel Latief.

Tidak hanya dilakukan oleh satuan tentara Indonesia, pembantaian PKI juga didukung oleh masyarakat setempat yang antikomunis.

Guna memastikan tidak ada lagi tubuh PKI di Indonesia, Presiden Soeharto memutuskan untuk membubarkan PKI dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 1/3/1966.

Keputusan tersebut semakin diperkuat melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966 yang ditetapkan oleh Ketua MPRS Jenderal TNI AH Nasution pada 5 Juli 1966.

Pembantaian PKI di Jawa Timur dan Bali

Pembantaian PKI oleh Ansor di Jawa Timur Gerakan Pemuda Ansor adalah organisasi kepemudaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan keagamaan yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam sejarahnya, GP Ansor sempat terlibat dalam beberapa peristiwa penting, salah satunya pembantaian PKI.

Salah satu daerah yang berupaya menumpas keberadaan PKI adalah Bojonegoro.

Ada 25 desa di dalam Kecamatan Kanor, Bojonegoro, yang rata-rata ada anggota PKI di setiap desanya.

Mulanya, keberadaan PKI tidak mengganggu masyarakat.

Namun, lambat laun kegiatan yang dilakukan PKI membuat masyarakat merasa tidak nyaman.

Puncak amarah masyarakat Kanor terjadi setelah peristiwa G30S 1965.

Kala itu, anggota-anggota PKI yang berada di Kantor pun mulai diberantas.

Ansor kemudian mendata nama-nama anggota yang diduga PKI untuk ditindaklanjuti.

Sejumlah anggota PKI pun ditahan selama beberapa pekan. Sementara itu, Ansor melanjutkan aksi mereka.

Penumpasan PKI dilakukan malam hari sekitar pukul 23.00 WIB hingga menjelang subuh.

Pemuda Ansor yang dibantu oleh Barisan Serba Guna (Banser) mendapat pembagian tugas berbeda.

Ada yang bertugas mengeksekusi, mengantarkan, ada juga yang berjaga di tempat tahanan.

Setelah itu, anggota PKI yang hendak dieksekusi digiring keluar menuju dekat aliran Bengawan Solo dengan berjalan kaki. Di tempat itulah, para anggota PKI dibantai oleh Ansor.

Selain di Bojonegoro, pembantaian PKI juga dilakukan di Lumajang, Jawa Timur.

Menurut saksi yang bertugas sebagai anggota Pertahanan Sipil (Hansip) di dusunnya, menjelang proses pembantaian, musala dan masjid dipenuhi oleh warga yang ketakutan.

Disebutkan bahwa pelaku pembantaian PKI tidak hanya Banser atau Ansor, melainkan juga sejumlah warga lainnya.

Ujar saksi, anggota dan tersangka PKI diangkut menggunakan truk dan digiring ke bantaran sungai di Srebet.

Dalam kondisi kedua tangan disilangkan ke belakang dan kedua ibu jari diikat dengan benang, mereka dibunuh.

Konon, jasad mereka dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang sudah dipersiapkan di dekat sungai itu.

Pembantaian PKI di Bali

Operasi pembantaian PKI di Bali dimulai pada 7 Desember 1965.

Saat itu, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin oleh Mayor Djasmin mendarat di Bali.

Akan tetapi, disebutkan bahwa sebelum RPKAD datang ke Bali, situasi di Pulau Dewata itu sudah tegang.

Sebab, gerombolan antikomunis menyerang dan membakar habis rumah-rumah anggota PKI.

Lalu, beberapa anggota PKI juga ditangkap, sedangkan sebagian lainnya menyerahkan diri ke polisi untuk mendapat perlindungan.

Sesampainya RPKAD di Bali, target pertama jatuh pada salah satu donatur Central Daerah Besar PKI Bali, yaitu I Gede Poeger.

I Gede Poeger bersama beberapa pemimpin PKI di Bali dieksekusi pada 16 Desember 1965.

Disebutkan bahwa I Gede Poeger dieksekusi dengan ditusuk menggunakan pisau dan kepalanya ditembak.

Kala itu, pasukan RPKAD diperkirakan telah membunuh sekitar 30 orang PKI di Bali.

Sejak Oktober 1965 hingga pertengahan tahun 1966, diperkirakan sekitar satu setengah juta anggota PKI dan organisasi yang berafiliasi dengannya dibunuh.

Lalu, sekitar satu juta orang lainnya ditahan tanpa pernah diadili.

Kendati begitu, jumlah korban tewas yang akurat dan terverifikasi masih belum diketahui sampai saat ini.

Sebelum pembunuhan selesai, Angkatan Darat Indonesia memperkirakan korban tewas sebanyak 78.500, sedangkan PKI memperkirakan angkanya mencapai dua juta orang.

Lalu, pada 1966, seorang sejarawan kebangsaan Anglo-Irlandia, yaitu Benedict Anderson, menetapkan jumlah korban tewas sebanyak 200.000 jiwa.

Kemudian, pada 1985, ia menyimpulkan bahwa total 500.000 hingga 1 juta orang telah terbunuh.

Penangkapan dan pemenjaraan pun terus berlanjut selama sepuluh tahun setelah pembersihan.

Menurut laporan Amnesty International tahun 1977, satu juta kader PKI dan orang lain yang teridentifikasi simpatisan PKI ditahan.

Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang diketahui hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban.

Sementara itu, beberapa riset menyatakan bahwa korban mencapai lebih dari 2 juta orang.

Tidak hanya korban, keluarga korban juga turut mengalami diskriminasi karena dituduh sebagai keluarga PKI.

Selain harus kehilangan pekerjaan, banyak juga di antara mereka yang tidak bisa melanjutkan sekolah, dikucilkan dari lingkungan, hingga kesulitan mendapat pekerjaan.

Pada 2008, Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro Justisia untuk menganalisis peristiwa pembunuhan massal 1965.

Setelah sekitar empat tahun bekerja, Komnas HAM telah memeriksa sebanyak 349 saksi korban dan berkunjung ke tempat-tempat yang diduga menjadi tempat penahanan.

Lalu, pada 23 Juli 2012 lalu, Tim Penyelidik Pro Justisia Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikannya dan menyatakan terdapat dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa pembunuhan PKI 1965.

Itulah beberapa peristiwa yang menjadi tonggak sejarah yang menandai lahirnya Orde Baru, mulai dari Supersemar hingga pembantaian pasca-1965, semoga bermanfaat.