Penulis
Intisari-Online.com -Peristiwa Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 benar-benar bikin tak puas rakyat Indonesia.
Dalam perjanjian tersebut, yang diakui oleh Belanda sebagai wilayah Indonesia hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.
Karena perjanjian itu pula Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mundur dari jabatannya pada seminggu kemudian.
Tak hanya mundur, Amir kemudian menggelorakan perlawanan terhadap pemerintah pusat yang berbasis di Madiun, Jawa Timur.
Perlawanan itu kelak kita kenal sebagai Pemberontakan Madiun 1948.
Setelah Perjanjian Linggarjati yang tak membuah hasil bagus, Indonesia dan Belanda kembali berunding.
Tempat perundingan disepakati diadakan di sebuah kapal bernama Renville, Januari 1948.
Terkait Perjanjian Linggarjati, Indonesia menuduh Belanda mengingkari perjanjian.
Perjanjian iktu nyatanya tak membuat Belanda menghentikan operasi militernya.
Mereka bahkan bergerak ke Jawa dan Madura yang merupakan wilayah RIS.
Langkah Belanda ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda I.
Indonesia berusaha menanganinya dengan meminta pertolongan internasional.
Baca Juga: Bagaimana Akar Sejarah Sengketa Batas Wilayah Antara Indonesia dan Malaysia?
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) berusaha menengahi.
Negara yang terlibat tergabung dalam Good Offices Committee (GOC) atau Komisi Tiga Negara (KTN).
Indonesia menunjuk Australia, Belanda menunjuk Belgia, dan Amerika Serikat ditunjuk berdasarkan keinginan Indonesia dan Belanda.
Amerika Serikat mempertemukan Indonesia di kapal perang Renville.
Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin sementara Belanda diwakili Gubernur Jenderal Van Mook.
Perjanjian Renville kemudian menyepakati gencatan senjata.
Belanda juga mendapat tambahan wilayah kekuasaan.
Selain itu, kedaulatan Belanda atas Indonesia diakui sampai selesai terbentuknya Republik Indonesia Serikat.
Bagi Indonesia, Perjanjian Renville hanya memberikan janji referendum di wilayah kekuasaan Belanda di Jawa, Madura, dan Sumatera.
Rakyat di wilayah jajahan Belanda dijanjikan boleh memilih bergabung dengan RIS atau membentuk negara sendiri.
Baca Juga: Peristiwa Amul Jamaah, Tonggak Sejarah Berdirinya Daulah Bani Umayyah
Berikut isi Perjanjian Renville:
- Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.
- Republik Indonesia merupakan negara bagian dalam RIS.
- Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk.
- Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.
- Wilayah kekuasaan Indonesia dengan Belanda dipisahkan oleh garis demarkasi yang disebut Garis Van Mook.
- Tentara Indonesia ditarik mundur dari daerah-daerak kekuasaan Belanda (Jawa Barat dan Jawa Timur).
- Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan kepalanya Raja Belanda.
- Akan diadakan plebisit atau semacam referendum (pemungutan suara) untuk menentukan nasib wilayah dalam RIS.
- Akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS.
Seperti disebut di awal, perjanjian justru merugikan bagi Indonesia.
Perjanjian ini membuat wilayah Indonesia semakin sedikit.
Belanda menguasai wilayah-wilayah penghasil pangan dan sumber daya alam.
Selain itu, wilayah Indonesia terkungkung wilayah yang dikuasai Belanda.
Belanda mencegah masuknya pangan, sandang, dan senjata ke wilayah Indonesia.
Indonesia mengalami blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.
Adam Malik dalam bukunya Mengabdi Republik: Angkatan 45 (1978) menilai bagi Indonesia, Perjanjian Renville jauh lebih buruk dan merugikan.
Efek yang paling dirasakan Indonesia adalah keharusan tentaranya pindah dari wilayah yang mereka kuasai sebelumnya.
Ribuan tentara dari Divisi Siliwangi di Jawa Barat berbondong-bondong pindah ke Jawa Tengah akibat Perjanjian Renville.
Divisi ini dijuluki Pasukan Hijrah oleh rakyat Yogyakarta yang menyambut kedatangan mereka.
Peristiwa itu dikenal sebagai Long March Siliwangi.
Kondisi politik Indonesia juga bertambah kacau setelah Perjanjian Renville.
Menurut buku Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948) karangan Pramoedya Ananta Toer, rakyat kecewa terhadap perjanjian itu.
Sebagai bentuk penolakan atas keputusan itu, sejumlah partai menarik dukungan dari pemerintah.
Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mundur dari jabatannya pada 23 Januari 1948.
Selain itu, setelah Perjanjian Renville disepakati, Belanda langsung mendeklarasikan pemerintahan federal di Sumatera.
Padahal sebagian Sumatera adalah wilayah Indonesia.
Pada akhirnya, Belanda yang sudah diuntungkan dengan Perjanjian Renville, malah mengingkari perjanjian ini.
Pada 18 Desember 1948 pukul 06.00, pesawat DC-3 Dakota milik Belanda menerjunkan pasukan dari udara menuju ibu kota Indonesia di Yogyakarta.
Serangan Belanda terhadap Ibu Kota Indonesia dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.
Setelah Amir mundur, jabatan Perdana Menteri dipegang oleh Mohammad Hatta.
Sekitar sebulan setelah Amir mundur, lahirFront Demokrasi Rakyat (FDR), yang menjadi penentang paling keras Kabinet Hatta.
Dalam organisasi FDR inilah, Amir merupakan salah-seorang pentolannya.
Awal Agustus 1948, Musso yang dikenal sebagai pemimpin PKI Madiun datang ke Indonesia.
Dua pekan kemudian, Amir Sjarifuddin secara terbuka mengumumkan bahwa dia sudah "menjadi komunis" sejak 1935.
"Dia bergabung dengan Partai Komunis Ilegalnya Musso di Surabaya," tulis George Mc Turnan Kahin, dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1995).
Beberapa bulan kemudian, meledaklah peristiwa Madiun 1948, yang menurut sejarah resmi, disebut sebagai pemberontakan PKI di Madiun.
Dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut, Amir Sjarifuddin dijatuhi hukuman mati.
Pada 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, Amir bersama 10 orang kelompoknya, ditembak mati oleh satuan TNI, setelah tertangkap sebulan sebelumnya.
Baca Juga: Akhir Tragis Musso, Sosok Pemimpin PKI yang Tewas Saat Melawan Pasukan RI di Madiun 31 Oktober 1948