Latar Belakang Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948, Diawali Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin

Khaerunisa

Penulis

Amir Sjarifuddin digiring oleh aparat TNI setelah tertangkap pada November 1948 di Kudus, Jawa Tengah.
Amir Sjarifuddin digiring oleh aparat TNI setelah tertangkap pada November 1948 di Kudus, Jawa Tengah.

Intisari-Online.com - Permasalahan yang menjadi latar belakang pemberontakan PKI Madiun sangat kompleks.

Tetapi, latar belakang pemberontakan PKI Madiun ini diawali oleh jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin.

Amir Sjarifuddin sendiri dikenal sebagai sosok yang menorehkan perjuangan dalam tiga masa. Yaitu sejak pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, hingga tiga tahun masa pertama Revolusi.

Setelah perjuangan meraih kemerdekaan Bangsa Indonesia membuahkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Amir Sjarifuddin dipercaya menjabat sebagai menteri, di antaranya menteri penerangan dan menteri pertahanan.

Kemudian, ia pun menjadi perdana menteri Indonesia kedua setelah Sutan Sjahrir, sejak 3 Juli 1947 hingga berakhir pada 29 Januari 1948.

Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin pada 1948 terjadi setelah ia memimpin delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville, ia dituding membawa kerugian bagi Indonesia ketika mengadakan dengan Belanda tersebut.

Kabinet Amir Sjarifuddin pun tidak lagi mendapat dukungan, sejumlah partai politik menarik dukungannya dari pemerintah.

Kemudian, Mohammad Hatta menjadi sosok menggantikan Amir Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri.

Fraksi Amir sempat ditawari posisi, tetapi tidak terjadi kesepakatan karena pihak Amir menginginkan posisi kunci.

Kala itu, setelah tidak dicapainya kesepakatan, Hatta akhirnya membentuk kabinet baru tanpa golongan sayap kiri.

Kecewa dengan keputusan Hatta, golongan sayap kiri mulai masuk ke pihak oposisi dan melakukan rapat di Surakarta pada 26 Februari 1948.

Rapat itu menghasilkan pembentukan Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi radikal. Programnya fokus untuk menentang program Kabinet Hatta.

FDR ini terdiri dari PSI, PKI, PBI, Pesindo, dan SOBSI, dengan Amir Sjarifuddin sebagai pemimpinnya.

FDR memiliki dua basis kekuatan utama, yaitu TNI-Masyarakat dan SOBSI, yang merupakan organisasi buruh terbesar dengan hampir 300.000 anggota.

Kebencian FDR terhadap pemerintah semakin bertambah kala Hatta memulai program rasionalisasi dan memandang TNI-Masyarakat sebagai organisasi militer berhalun komunis yang tidak terlatih.

FDR mulai mencari dukungan dari para petani dan mendorong pemogokan buruh. Pemerintah pun marah dan menuding pemogokan sebagai tindakan yang membahayakan Republik.

Situasi Semakin Memanas setelah Kembalinya Musso. Musso adalah tokoh komunis senior Indonesia yang pernah belajar ke Uni Soviet, ia kembali dan membentuk badan baru yang terdiri dari partai-partai sayap kiri.

Mereka lantas melakukan perjalanan propaganda ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyebarkan komunisme.

Peristiwa inilah yang dijadikan alasan untuk melancarkan kampanye anti-PKI dan melakukan penculikan perwira kiri.

Memasuki September 1948, pemerintah dan golongan sayap kiri melancarkan aksi saling culik.

Itulah latar belakang pemberontakan Madiun. Pemberontakan ini mencapai puncaknya pada 18 September 1948.

Saat itu, Madiun menjadi daerah yang tersisa sebagai benteng terakhir FDR, membuat pimpinan FDR lokal khawatir sehingga pecahlah pemberontakan ini.

Pada 18 September 1948 pukul 03.00 pagi, FDR Madiun mulai merebut pejabat pemerintah daerah, sentral telepon, dan markas tentara yang dipimpin oleh Sumarsono dan Djoko Sujono.

Hanya dalam hitungan jam, Madiun sepenuhnya sudah berhasil dikuasai FDR.

Dua anggota FDR yaitu Setiadjit dan Wikana mengambil alih pemerintahan sipil dan membentuk Front Pemerintah Nasional Daerah Madiun.

Setelah mendengar apa yang terjadi, Musso dan Amir menuju Madiun untuk mendiskusikan situasi bersama Sumarsono, Setiadjit, dan Wikana.

Pada 19 September 1948 malam, Presiden Soekarno menyatakan bahwa pemberontakan Madiun adalah upaya untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan Musso sudah membentuk "Republik Soviet Indonesia".

Pemberontakan PKI Madiun berakhir dengan ditangkap dan dieksekusinya para pemimpin pemberontakan ini.

Pada 28 Oktober, pemerintah menangkap 1.500 orang dan Musso berhasil ditembak mati pada 31 Oktober 1948 ketika sedang bersembunyi di kamar kecil.

Sebulan kemudian, 29 November, Djoko Sujono dan Maruto Darusman juga ditangkap.

Sementara itu, Amir juga menghadapi nasib yang sama. Ia ditangkap pada 4 Desember 1948.

Amir, Maruto, Djoko, Suripno, dan FDR lain yang tertangkap dieksekusi pada 19 Desember 1948.

Dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun diperkirakan mencapai 24.000 orang, 8.000 di antaranya dari Madiun, 4.000 di Cepu, dan 12.000 di Ponorogo.

Baca Juga: G30S PKI Adalah Tragedi Kelam Indonesia yang Terjadi Tahun 1965, Awal Mula Redupnya Kekuasaan Soekarno, Inilah Sejarahnya

(*)

Artikel Terkait