Intisari-Online.com - Inilah berbagai versi dalang G30S PKI, hingga orang-orang yang dijatuhi hukuman mati usai terjadi tragedi kelam ini.
Lima puluh tujuh tahun berlalu sejak tragedi kelam dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada 30 September 1965 hingga 1 Oktober 1965.
Ya, melihat tanggal peristiwa tersebut, tentu banyak orang yang mudah menebak tentang peristiwa apakah ini.
Tak lain adalah peristiwa yang dikenal sebagai G30S PKI.
Selain nama tersebut, ada sejumlah sebutan untuk peristiwa yang menewaskan enam orang jenderal dan seorang perwira TNI tersebut.
Peristiwa ini memang punya cukup banyak nama. Selain G30S PKI, masyarakat Indonesia juga mengenalnya sebagai peristiwa G30S saja.
Selain itu, ada istilah Gestapu dan juga Gestok.
Masing-masing penyebutan itu memiliki asal-usulnya.
Tetapi hal yang juga tak kalah sering kali diperbincangkan dan juga membuat orang bertanya-tanya adalah soal siapa dalang G30S PKI.
Siapa dalang di balik G30S tetap menjadi misteri dan 'hanya' muncul berbagai versi.
Seperti apa berbagai versi dalang G30S PKI itu?
Berikut ini 5 versi dalang di balik Gerakan 30 September 1965, dilansir dari dari Historia.id, dalam artikel berjudul Lima Versi Pelaku G30S, yang ditulis Randy Wirayudha.
1. Partai Komunis Indonesia (PKI)
Ini salah satu versi paling terkenal, merupakan versi rezim Orde Baru.
Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968).
Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia.
Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.
Selain itu, rezim Orde Baru membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa.
Oleh karena itu, versi Orde Baru ini mencantumkan “/PKI” di belakang G30S.
Sementara para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September” atau “G30S”.
Selain itu, Orde Baru juga pernah menyebut G30S sebagai Gestapu (Gerakan September Tigapuluh).
Sementara Presiden Soekarno mengajukan penamaan menurut versinya sendiri, yakni “Gerakan Satu Oktober” atau “Gestok.”
Penyebutan G30S/PKI sendiri sebagai bagian propaganda untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat adalah PKI.
Penamaan peristiwa ini selama bertahun-tahun digunakan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi yang ada.
Kesimpulan tersebut diambil tanpa terlebih dahulu melewati sebuah penyelidikan.
2. Konflik Internal Angkatan Darat
Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey, mengemukakan dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat.
Dalam Army and Politics in Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi.
Kedua faksi tersebut sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno.
Kelompok pertama, “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya.
Kelompok kedua, “faksi kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal TNI AH Nasution dan Mayjen TNI Soeharto.
Dalam versi ini, Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat.
3. Presiden Soekarno
Setidaknya ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S.
Yaitu, Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake.
Kemudian, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974);
Dan Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno.
Menurut Asvi ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.”
Untuk menyanggah buku-buku tersebut, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006.
Cetakan kedua memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa.
Kolonel CPM Maulwi Saelan mengatakan, bahwa presiden Soekarno tidak tahu rencana gerakan 30 September tersebut.
4. Letnan Jenderal Soeharto
Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto.
Laporan itu disampaikannya di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan.
Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965.
Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut.
Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto.
Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri.
5. Central Intelligence Agency (CIA)
Dalam versi ini, latar belakang Amerika Serikat mendalangi peristiwa ini yaitu akibat terjadinya Perang Dingin.
Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.
Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia.
Menurut David T Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy, opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Soekarno beralih kebijakan, menyingkirkan Soekarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno.
Kemudian, opsi terakhir yang dipilih.
Orang-orang yang Dieksekusi Pasca-G30S PKI
Siapa dalang G30S PKI tetap menjadi misteri hingge kini meski ada berbagai versi yang bisa diyakini oleh orang-orang.
Namun yang pasti, sebanyak sembilan orang pelaku dalam tragedi G30S PKI membayar aksinya dengan hukuman mati.
Mereka adalah orang-orang yang disebut memimpin langsung penculikan para jenderal dan perwira dalam tragedi 30 September 1965.
Julius Pour dalam bukunya 'Benny: Tragedi Seorang Loyalis' (2007), menulis bahwa, dari 3.000 orang anggota resimen Cakrabirawa, hanya sekitar 60 orang atau 2 persen yang terlibat.
Dari 60-an orang itu, beberapa di antaranya disebut-sebut memimpin langsung penculikan dan menembak para perwira Angkatan Darat dalam peristiwa berdarah ini.
Berikut ini 9 orang yang dijatuhi hukuman mati akibat Gerakan 30 September 1965.
1. Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri.
Letkol Untung adalah Komandan Batalion Kawal Kehormatan II Cakrabirawa.
Untung adalah mantan anak buah Soeharto saat menjadi Komandan Resimen 15 di Solo.
Dia juga Komandan Kompi Batalyon 454 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin.
Eksekusi hukuman matinya dilaksanakan di Lembang Jawa Barat, pada tahun 1967/
2. Letnan Satu Dul Arif.
Lettu Dul Arif adalah Komandan Kompi C dari batalion yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Bersama Untung, dia dieksekusi mati karena memimpin penculikan.
3. Johannes Surono.
Dia adalah komandan peleton III kompi C Batalyon pimpinan Untung di Cakrabirawa, yang memimpin penculikan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.
Surono ditangkap pada 8 Oktober 1965, dan sempat menjadi saksi dalam perkara Letkol Untung.
Tahun 1970, ia dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Pengajuan bandingnya ditolak pada 1986 dan grasinya juga ditolak pada 1989.
4. Sersan Mayor Soekardjo.
Dia memimpin penculikan Brigadir Donald Izacus Panjaitan dan dieksekusi mati pada Oktober 1988.
5. Simon Petrus Solaiman.
Dia memimpin penculikan Mayor Jenderal Raden Soeprapto, yang kemudian ditembak oleh Norbertus Rohayan.
Ditangkap pada 5 Oktober 1965, Solaiman kemudian dijatuhi hukuman mati pada November 1969 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Banding dan grasi yang ia ajukan juga ditolak.
6. Paulus Satar Suryanto.
Dia memimpin penculikan Mayor Jenderal Suwondo Parman.
Satar dijatuhi hukuman mati pada 29 April 1971 oleh mahkamah militer distrik Jakarta.
7. Anastasius Buang.
Dia adalah penembak Mayor Jenderal Suwondo Parman.
Pada pertengahan 1980-an, Buang terancam dihukum mati. Namun ia baru meninggal secara misterius pada September 1989. Jenazahnya berhasil ditemukan oleh keluarganya.
8. Norbertus Rohayan.
Dia adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto.
Rohayan ditangkap pada 5 Oktober 1965 dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Distrik Bandung pada 8 November 1969. Februari 1987, bandingnya ditolak. 5 Desember 1989, grasinya juga ditolak.
9. Sersan Dua Gijadi Wignjosuhardjo.
Dia adalah penembak Letnan Jenderal Ahmad Yani. Dia ditangkap pada 4 Oktober 1965, dan dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1968 oleh mahkamah militer distrik Jakarta.
Seperti Surono, dia jugasempat menjadi saksi dalam perkara Letkol Untung.
Eksekusi matinya baru dilakukan 20 tahun kemudian, tepatnya Oktober 1988.
Itulah berbagai versi dalang G30S, hingga orang-orang yang dihukum mati akibat peristiwa ini.
Baca Juga: G30S PKI Adalah Salah Satu Tragedi Kelam dalam Sejarah Indonesia, Ini Latar Belakang dan Sejarahnya
(*)