Latar Belakang Pemberontakan PKI Madiun, Inilah Sederet Peristiwa yang Terjadi sebelum Pecahnya Pemberontakan Madiun tahun 1948

Khaerunisa

Editor

(Ilustrasi) Muso, salah satu tokoh PKI dalam pemberontakan PKI Madiun.
(Ilustrasi) Muso, salah satu tokoh PKI dalam pemberontakan PKI Madiun.

Intisari-Online.com - Apa latar belakang pemberontakan PKI Madiun?

Pemberontakan PKI Madiun meletus pada 18 September 1948.

Kala itu, Madiun menjadi benteng terakhir Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang tersisa.

Hanya tersisanya Madiun membuat pimpinan FDR lokal daerah ini khawatir.

Kemudian, pecahlah pemberontakan yang dikenal sebagai Pemberontakan Madiun pada tahun 1948.

FDR merupakan front persatuan partai-partai dan organisasi sayap kiri (komunis) yang didirikan pada Februari 1948.

Pendiri dari Front Demokrasi Rakyat adalah Amir Sjarifuddin setelah ia tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia.

Amir Sjarifuddin menjabat Perdana Menteri Indonesia antara tahun 1947 hingga 1948.

Sebelumnya, ia juga sempat menjabat sebagai Menteri Penerangan antara tahun 1945 hingga 1948.

Pemberontakan PKI Madiun sendiri memiliki latar belakang yang sangat kompleks.

Pendirian FDR juga menjadi salah satu dari sederet peristiwa yang melatarbelakangi Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948.

Inilah latar belakang Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan sederet peristiwa yang terjadi sebelum pecahnya pemberontakan ini.

Secara umum, Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 terjadi karena kekecewaan golongan sayap kiri terhadap keputusan Perdana Menteri baru, Mohammad Hatta.

Mohammad Hatta adalah sosok menggantikan Amir Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri.

Program utama Kabinet Hatta adalah melaksanakan Perjanjian Renville dan rasionalisasi tentara Indonesia.

Kala itu, setelah tidak dicapainya kesepakatan, Hatta akhirnya membentuk kabinet baru tanpa golongan sayap kiri.

Fraksi Amir sempat ditawari posisi, tetapi tidak terjadi kesepakatan karena pihak Amir menginginkan posisi kunci.

Perjanjian Renvile dan Berakhirnya Kabinet Amir Sjarifuddin

Berakhirnya Kabinet Amir Sjarifuddin terjadi usai penandatanganan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.

Dalam penandatanganan perjanjian tersebut, Amir Sjarifuddin menjadi delegasi Indonesia.

Perjanjian ini dianggap memberikan dampak kerugian bagi Indonesia.

Sejumlah pimpinan partai menolak hasil perjanjian tersebut, banyak rakyat dan pemerintah yang menyalahkan Amir Sjarifuddin.

Amir Sjarifuddin pun meletakkan jabatannya. Dengan demikian, berakhirlah pemerintahan sayap kiri pimpinan Amir Sjarifuddin.

Sementara itu, Presiden Soekarno menyuruh Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk kembali menyusun kabinet baru, yang hasilnya menimbulkan kekecewaan.

Kabinet Hatta tersusun tanpa keikutsertaan golongan sosialis maupun golongan kiri.

Pembentukan FDR

Kecewa dengan keputusan Hatta, golongan sayap kiri mulai masuk ke pihak oposisi dan melakukan rapat di Surakarta pada 26 Februari 1948.

Rapat itulah yang kemudian menghasilkan pembentukan Front Demokrasi Rakyat (FDR).

FDR terdiri dari PSI, PKI, PBI, Pesindo, dan SOBSI, dengan Amir Sjarifuddin sebagai pemimpinnya.

Dalam perkembangannya, FDR berubah menjadi radikal dan programnya fokus untuk menentang program Kabinet Hatta.

FDR memiliki dua basis kekuatan utama, yaitu TNI-Masyarakat dan SOBSI, yang merupakan organisasi buruh terbesar dengan hampir 300.000 anggota.

Sementara Hatta memulai program rasionalisasi dan memandang TNI-Masyarakat sebagai organisasi militer berhalun komunis yang tidak terlatih, sehingga kebencian FDR terhadap pemerintah pun semakin bertambah.

FDR pun mulai mencari dukungan dari para petani dan mendorong pemogokan buruh.

Pemerintah marah dan menuding pemogokan sebagai tindakan yang membahayakan Republik.

Kembalinya Musso

Peristiwa lain yang terjadi sebelum pecahnya Pemberontakan PKI Madiun adalah kembalinya Musso, yang membuat situasi semakin memanas.

Musso adalah tokoh komunis senior Indonesia yang pernah belajar ke Uni Soviet, ia kembali dan membentuk badan baru yang terdiri dari partai-partai sayap kiri.

Mereka lantas melakukan perjalanan propaganda ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyebarkan komunisme.

Peristiwa inilah yang dijadikan alasan untuk melancarkan kampanye anti-PKI dan melakukan penculikan perwira kiri.

Memasuki September 1948, pemerintah dan golongan sayap kiri melancarkan aksi saling culik.

Situasi itulah yang kemudian membuat Madiun menjadi daerah yang tersisa sebagai benteng terakhir FDR.

Pecahnya Pemberontakan PKI Madiun hingga Penumpasannya

FDR Madiun memulai aksinya pada 18 September 1948 dengan merebut pejabat pemerintah daerah, sentral telepon, dan markas tentara yang dipimpin oleh Sumarsono dan Djoko Sujono.

Dalam serangan itu, terdapat dua perwira yang tewas terbunuh dan empat orang terluka.

FDR dapat menguasai Madiun sepenuhnya hanya dalam hitungan jam.

Pada 19 September 1948 malam, Presiden Soekarno pun menyatakan bahwa pemberontakan Madiun adalah upaya untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan Musso sudah membentuk "Republik Soviet Indonesia".

Sementara Musso pada hari yang sama pukul 23.30, menyatakan perang terhadap Indonesia dengan menuding Soekarno dan Hatta menjadi budak imperialisme Amerika dan pengedar Romusha.

Namun setelah itu, beberapa pemimpin FDR justru memutuskan untuk berbalik arah, menyatakan kesediaan untuk berdamai dengan pemerintah Indonesia.

Mereka menyiarkan melalui radio bahwa apa yang terjadi di Madiun bukan kudeta, melainkan upaya untuk mengoreksi kebijakan pemerintah.

Pada 23 September 1948, Amir juga menyatakan bahwa konstitusi FDR adalah negara Republik Indonesia, bendera mereka tetap merah putih, dan lagu kebangsaan mereka masih Indonesia Raya.

Sayangnya, upaya tersebut tampak diabaikan pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia mengirimkan Brigade Siliwangi Letkol Sadikin untuk mengerahkan pasukannya dan menguasai Madiun.

Dalam peristiwa ini, Gubernur Jawa Timur RM Suryo, serta beberapa tokoh lainnya tewas.

Sementara itu, untuk menghindari konflik dengan TNI, FDR/PKI pun mundur ke pegunungan.

Pemberontakan berhasil dipadamkan saat Amir, Maruto, Djoko, Suripno, dan FDR lain yang tertangkap dieksekusi pada 19 Desember 1948.

Pada 28 Oktober, pemerintah menangkap 1.500 orang dan Musso berhasil ditembak mati pada 31 Oktober 1948.

Djoko Sujono dan Maruto Darusman ditangkap pada 29 November. Sementara itu, Amir ditangkap pada 4 Desember 1948.

Itulah latar belakang terjadinya Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan peristiwa di sekitarnya.

Baca Juga: Kontroversi Amir Syarifuddin, Tokoh Pemberontakan PKI Madiun 1948 yang Akhir Hayatnya Berujung Tragis

(*)

Artikel Terkait