Find Us On Social Media :

Pernah Mengalah Dari Sang Kakak, Kali Ini Pangeran Puger Tak Mau Serahkan Takhta Mataram Kepada Ponakannya

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 24 Desember 2023 | 15:17 WIB

Ilustrasi Pangeran Puger menghukum putrinya sendiri. Pangeran Puger pernah mengalah dari saudaranya, Amangkurat II, sebagai raja Mataram Islam, tapi tidak dari sang keponakan, Pangeran Mas.

Intisari-Online.com - Ada beberapa konflik besar yang menandai suksesi dalam sejarah Mataram Islam.

Salah satunya adalah Perang Takhta Jawa Pertama, sebuah konflik perebutan kekuasaan antara Pangeran Puger dan keponakannya, Sunan Mas alias Amangkurat III.

Konflik bermula saat perlawanan Trunojoyo.

Ketika itu, raja Mataram Islam, Amangkurat I, menugaskan putra mahkotanya, Raden Mas Rahmat untuk mempertahankan Keraton Plered.

Tapi Raden Mas Rahmat tidak mau, dia lebih memilih mengawal ayahnya dalam pengungsian.

Posisi Raden Mas Rahmat kemudian diambil alih oleh saudara tirinya, Pangeran Puger.

Dia ingin membuktikan kepada ayahnya bahwa dia punya jasa besar terhadap Mataram.

Dalam pelariannya, Amangkurat I meninggal dunia pada 13 Juli 1677.

Raden Mas Rahmat kemudian naik takhta sebagai Amangkurat II, tapi dia tidak punya istana.

Di Keraton Plered, Pangeran Puger juga menobatkan diri sebagai raja Mataram.

Amangkurat II kemudian membangun istana baru di hutan Wanakarta yang kemudian diberi nama Kartasura pada bulan September 1680.

Amangkurat II lalu membujuk Pangeran Puger supaya bergabung dengannya tetapi ajakan tersebut ditolak.

Dari situlah konflik terjadi.

Pada 28 November 1681 Pangeran Puger menyerah kepada Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II.

Pangeran Puger kemudian mengakui kedaulatan Amangkurat II sebagai raja Mataram.

Beberapa tahun kemudian, Amangkurat II meninggal dunia.

Penggantinya adalah putranya, Sunan Mas atau Amangkurat III.

Sayangnya, Amangkurat III tidak disukai rakyatnya yang lebih menghendaki Pangeran Puger sebagai raja Mataram Islam.

Pangeran Puger sendiri mencari bantuan kepada VOC seraya menegaskan bahwa Amangkurat III adalah musuh mereka bersama.

Dia juga menyatakan bahwa kebanyakan orang Jawa lebih mendukungnya sebagai raja.

Cakraningrat II dari Madura mendukung tuntutan Pangeran Puger.

Karena VOC menganggap Cakraningrat II sebagai sekutu yang tepercaya, akhirnya VOC setuju untuk mendukung Pangeran Puger.

Tahun 1704 VOC mengakui Pangeran Puger sebagai raja dengan gelar Pakubuwana I.

Peristiwa ini merupakan awal dari apa yang disebut "Perang Takhta Jawa Pertama".

Daerah pesisir ternyata tidak tertarik mendukung Pakubuwana I.

Banyak pemimpin pesisir lebih ingin menjadi bawahan VOC, terutama Cirebon, daripada terbawa dalam perang dan memikul beban kekuasaan Mataram.

Namun VOC sendiri tidak tertarik dengan membawahi pemimpin tersebut.

Akhir 1704, Pakubuwana I berhasil menundukkan Demak.

Agustus 1705, pasukan yang terdiri dari prajurit Jawa dan Madura, didukung orang Eropa dari VOC, Bugis, Makassar, Bali, Melayu, Banda, Ambon dan Mardijkers (orang pribumi berbahasa Portugis) menyerang Kartasura.

Amangkurat III terpaksa melarikan diri ke timur dan mencari suaka pada Untung Surapati dengan membawa pusaka Mataram.

September, Pakubuwana I masuk Kartasura dan menduduki takhta Mataram.

Tahun-tahun berikutnya, persekutuan Mataram, VOC dan Madura menjalakan sejumlah kampanye.

Untung Surapati terbunuh di Bangil tahun 1706.

Pasuruan ditundukkan tahun 1707 dan Amangkurat III menyingkir ke Malang bersama para putra Untung Surapati.

Dalam kampanye terakhir ini, pasukan gabungan Mataram dan sekutunya sempat berjumlah 46 000 prajurit.

Perang ini sangat berat bebannya dari segi manusia dan dana.

Amangkurat III akhirnya setuju untuk berunding dengan VOC tahun 1708, dengan syarat dia diberi sebagian dari Jawa dan tidak tunduk pada Pakubuwana I.

Tapi VOC juga rencana lain.

Mereka menangkap Amangkurat III dan mengasingkannya ke Sri Lanka, di mana dia meninggal tahun 1734.