Find Us On Social Media :

Syekh Mutamakkin, Ulama Bangsawan yang Bikin Ketar-Ketir Ulama Mataram Islam

By Afif Khoirul M, Minggu, 21 Mei 2023 | 09:15 WIB

Ilustrasi - Syekh Mutamakkin dari Mataram Islam.

Intisari-online.com - Syekh Ahmad al-Mutamakkin atau yang biasa dipanggil Mbah Cebolek atau Mbah Mbolek adalah salah satu ulama besar yang hidup di Jawa Timur pada abad ke-17.

Beliau memiliki latar belakang keluarga bangsawan yang dekat dengan Kerajaan Tuban dan Kerajaan Mataram.

Namun, beliau lebih memilih untuk meninggalkan kehidupan istana dan mengabdikan diri di bidang ilmu dan dakwah.

Beliau juga dikenal sebagai tokoh tasawuf yang mengajarkan konsep wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti yang sempat menimbulkan kontroversi di kalangan ulama lainnya.

Asal-usul Keluarga

Syekh Mutamakkin lahir pada tahun 1645 M di Desa Cebolek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Nama aslinya adalah Sumahadiwijaya.

Ayahnya adalah Pangeran Benowo II atau Raden Sumahadinegara, seorang adipati Tuban yang pada tahun 1617 M hijrah ke Giri (Gresik) untuk mencari suaka setelah Kerajaan Mataram menyerang Kerajaan Pajang.

Ibunya adalah putri dari Sayyid Ali Bejagung, seorang keturunan Arab yang menjadi ulama terkemuka di Tuban.

Sejak kecil, Syekh Mutamakkin sudah menunjukkan minat yang tinggi terhadap ilmu agama.

Beliau belajar dari berbagai guru di Tuban, Gresik, dan Surabaya.

Baca Juga: Misteri Kematian Raden Mas Kentol Kejuron, Putra Panembahan Senopati yang Berontak Demi Takhta Mataram Islam

Beliau juga mengikuti tradisi para ulama Nusantara yang melakukan haji sekaligus ngaji di tanah Haramain (Mekkah dan Madinah) dan Yaman.

Di sana, beliau berguru kepada Syekh Zein bin Muhammad al-Hijazi, seorang ulama Yaman yang ahli dalam bidang fiqih, tafsir, hadis, dan tasawuf.

Perjalanan Dakwah

Setelah kembali dari tanah suci, Syekh Mutamakkin memutuskan untuk berdakwah di berbagai daerah di Jawa.

Salah satu tempat yang menjadi pusat dakwah beliau adalah Kajen, Pati, Jawa Tengah.

Di sana, beliau mendirikan pesantren yang menjadi cikal bakal pesantren-pesantren tua di Jawa-Madura.

Beliau juga membangun masjid dan makam yang hingga kini masih menjadi tempat ziarah bagi para santri dan masyarakat.

Syekh Mutamakkin dikenal sebagai guru besar agama yang berpandangan jauh dan luas.

Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu syariat, tetapi juga ilmu-ilmu hakikat atau tasawuf.

Beliau mengajarkan konsep wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti, yaitu kesatuan antara hamba dan Tuhan.

Beliau menggunakan Serat Dewaruci sebagai media untuk menyampaikan ajaran tasawufnya kepada masyarakat awam.

Baca Juga: Kehidupan Politik Kerajaan Mataram Islam Sejak Berdiri Hingga Runtuh

Serat Dewaruci adalah sebuah karya sastra Jawa yang menceritakan tentang perjalanan Bima, salah satu tokoh wayang, untuk mencari air keabadian.

Ajaran tasawuf Syekh Mutamakkin ternyata menimbulkan reaksi negatif dari sebagian ulama lainnya, terutama dari kalangan ulama istana Mataram.

Mereka menganggap bahwa ajaran Syekh Mutamakkin menyimpang dari ajaran Islam yang ortodoks dan menista nama-nama penghulu.

Bahkan katib di Tuban dengan memberikannya kepada dua ekor anjing piaraannya.

Mereka juga merasa terancam oleh pengaruh Syekh Mutamakkin yang semakin besar di kalangan rakyat.

Karena itu, beberapa ulama istana seperti Katib Anom Kudus, Katib Witana Surabaya, dan Katib Busu Gresik membawa tudingan kesesatan Syekh Mutamakkin kepada raja Mataram saat itu, yaitu Susuhunan Amangkurat IV (1719-1726).

Mereka meminta agar raja menghentikan sepak terjang Syekh Mutamakkin dan mengusirnya dari Kajen.

Namun, raja tidak langsung mengabulkan permintaan mereka.

Raja malah ingin bertemu langsung dengan Syekh Mutamakkin untuk mendengar penjelasannya.

Pertemuan antara raja dan Syekh Mutamakkin akhirnya terjadi di Plered, ibukota Mataram saat itu.

Dalam pertemuan tersebut, Syekh Mutamakkin berhasil menjelaskan maksud dan tujuan ajarannya dengan bijak dan santun.

Baca Juga: Mataram Islam Berkuasa Di Priangan, Kesultanan Cirebon Pun Bersekongkol Dengan VOC Untuk Merebutnya

Beliau juga menunjukkan kepatuhan dan kesetiaannya kepada raja dengan memberikan hadiah berupa dua ekor anjing piaraannya yang bernama Abdul Qohhar dan Qomaruddin.

Raja pun merasa puas dengan penjelasan Syekh Mutamakkin dan membebaskannya dari segala tuduhan.

Syekh Mutamakkin kemudian kembali ke Kajen dan melanjutkan dakwahnya hingga akhir hayatnya.

Beliau wafat pada tahun 1728 M dan dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya.

Hingga kini, makam Syekh Mutamakkin masih menjadi tempat ziarah bagi para santri dan masyarakat yang menghormati jasa-jasanya dalam menyebarkan ilmu agama di tanah Jawa.

Kesimpulan

Syekh Mutamakkin adalah ulama bangsawan yang menolak kekuasaan dan lebih memilih untuk mengabdikan diri di bidang ilmu dan dakwah.

Beliau adalah tokoh tasawuf yang mengajarkan konsep wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti dengan menggunakan Serat Dewaruci sebagai media.

Ajarannya sempat menimbulkan kontroversi di kalangan ulama istana Mataram, namun beliau berhasil membela diri dengan bijak dan santun.

Beliau juga mendirikan pesantren di Kajen yang menjadi cikal bakal pesantren-pesantren tua di Jawa-Madura.