Find Us On Social Media :

Mitos Pasukan Ghaib Ratu Pantai Selatan dan Gunung Merapi, Bantuan Mistis untuk Mataram Islam dalam Perang Melawan Pajang

By Afif Khoirul M, Kamis, 27 April 2023 | 16:10 WIB

Ilustrasi - Misteri pasukan Ghaib Mataram Islam.

Intisari-online.com - Panembahan Senopati adalah pendiri Mataram Islam, sebuah kerajaan yang ada pada abad ke-16.

Sebelumnya, Mataram Islam merupakan bagian dari Pajang, yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya.

Senopati ingin lepas dari Pajang dan memperbesar wilayahnya.

Untuk itu, ia melakukan berbagai langkah politik dan militer, termasuk mengajak para mantri pemajekan untuk pindah ke Mataram dan memberontak kepada Sultan Hadiwijaya.

Pada tahun 1586, Senopati memimpin pasukannya untuk menyerbu Pajang.

Dalam perang ini, ia dikatakan mendapat dukungan dari pasukan gaib yang terdiri dari makhluk-makhluk halus seperti jin, siluman, dan lelembut.

Pasukan gaib ini diyakini berasal dari Ratu Pantai Selatan dan Gunung Merapi, yang dianggap sebagai penjaga dan pelindung Mataram.

Pasukan gaib ini bisa menyamar sebagai manusia atau binatang dan mengacaukan musuh dengan cara-cara yang tidak biasa.

Pajang tidak diam saja. Mereka juga memiliki dukungan dari para ulama, kyai, dan dukun yang memiliki ilmu kebatinan dan kesaktian.

Mereka berusaha melawan pasukan gaib Mataram dengan menggunakan mantra-mantra dan ilmu hitam.

Perang antara Mataram dan Pajang berlangsung keras dan berdarah-darah.

Baca Juga: Ternyata Mataram Islam Gagal Mengalahkan VOC Di Batavia Karena Kotoran Manusia

Akhirnya, Senopati berhasil mengalahkan Pajang dan merebut wilayahnya.

Ia pun menobatkan diri sebagai raja Mataram Islam yang merdeka dan berdaulat.

Pasukan gaib Ratu Pantai Selatan dan Gunung Merapi konon tetap setia membantu Mataram dalam perang-perang selanjutnya.

Mereka menjadi salah satu faktor yang membuat Mataram menjadi kerajaan besar dan kuat di Pulau Jawa.

Setelah Panembahan Senopati meninggal pada 1601, ia digantikan oleh putranya yang bernama Panembahan Hadi Hanyokrowati atau Panembahan Seda Krapyak.

Ia melanjutkan kebijakan ayahnya untuk memperluas wilayah Mataram Islam dengan menaklukkan daerah-daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Juga berhasil mengalahkan Pangeran Benawa, saudara angkatnya yang memberontak dan mendirikan kerajaan Pajang II.

Namun, masa pemerintahan Panembahan Seda Krapyak tidak berlangsung lama.

Ia meninggal pada 1613 karena sakit. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Sultan Agung adalah raja Mataram Islam yang paling terkenal dan dihormati. 

Dia berhasil membawa Mataram Islam ke puncak kejayaan dan kekuasaan.

Baca Juga: Ketika Mataram Islam Merengek Minta Bantuan VOC Untuk Menumpas Pemberontakan Trunojoyo

Sultan Agung memiliki visi untuk menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram Islam.

Untuk itu, ia melakukan berbagai perang dan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain di Jawa, seperti Surabaya, Madura, Cirebon, Banten, hingga Batavia.

Ia juga melakukan reformasi administrasi, militer, ekonomi, sosial, budaya, dan agama di Mataram Islam.

Salah satu reformasi yang dilakukan Sultan Agung adalah mengubah sistem penanggalan Jawa dari sistem Saka ke sistem Anno Javanico (AJ).

Sistem penanggalan ini dimulai pada tahun 1633 Masehi atau tahun 1555 Saka atau tahun 1044 Hijriyah.

Tahun ini dipilih karena bertepatan dengan kemenangan Mataram Islam atas Surabaya.

Sultan Agung juga membangun banyak bangunan bersejarah dan monumental di Mataram Islam, seperti Masjid Agung Kotagede, Makam Imogiri, Keraton Karta, dan Benteng Plered.

Ia juga mengembangkan seni dan budaya Jawa, seperti wayang kulit, gamelan, tari-tarian, sastra, dan bahasa.

Sultan Agung meninggal pada 1645 dan digantikan oleh putranya yang bernama Amangkurat I.

Sayangnya, masa pemerintahan Amangkurat I ditandai dengan banyak pemberontakan dan konflik internal.

Salah satu pemberontakan terbesar adalah Trunojoyo yang berhasil merebut ibu kota Mataram Islam di Plered pada 1677.

Amangkurat I melarikan diri ke Tegal dan kemudian meninggal di sana. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Amangkurat II.

Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk menghadapi pemberontakan Trunojoyo.

VOC bersedia membantu dengan syarat mendapat hak monopoli dagang dan wilayah-wilayah strategis di pantai utara Jawa.

Dengan bantuan VOC, Amangkurat II berhasil mengalahkan Trunojoyo pada 1679.

Namun, hubungan antara Mataram Islam dan VOC menjadi tegang karena VOC menuntut pembayaran utang perang dan wilayah-wilayah yang dijanjikan.

Hal ini menyebabkan perang antara Mataram Islam dan VOC berkepanjangan hingga abad ke-18.

Perang ini melemahkan Mataram Islam secara politik dan ekonomi.

Akhirnya, pada 1755, Mataram Islam dibagi menjadi dua kerajaan berdasarkan Perjanjian Giyanti yang disepakati bersama VOC.