Menguak Kekejaman Amangkurat I Raja Mataram Islam yang Bantai 6.000 Ulama dan 8 Pejabat Kerajaan

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Pembantaian ulama oleh Amangkurat I.
Ilustrasi - Pembantaian ulama oleh Amangkurat I.

Intisari-online.com - Amangkurat I adalah raja keempat Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1646-1677.

Ia dikenal sebagai raja yang zalim dan bengis karena banyak melakukan pembunuhan terhadap rakyat dan abdi Mataram, bahkan saudara dan ulama sendiri.

Salah satu peristiwa kekejaman yang terkenal adalah pembantaian ulama oleh Amangkurat I yang terjadi di alun-alun Plered pada tahun 1647/1648.

Pembantaian ini dipicu oleh upaya kudeta yang dilakukan oleh adik Amangkurat I, Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, yang didukung oleh para ulama dan kiai.

Meskipun kudeta ini gagal dan Pangeran Danupoyo tewas dalam pertempuran.

Amangkurat I merasa tidak aman dan ingin menumpas semua kelompok yang dianggap bersekongkol dengan adiknya.

Amangkurat I kemudian memerintahkan empat orang pembesar keraton, yaitu Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wirapatra.

Meminta untuk mengumpulkan sekitar 5.000-6.000 ulama dan anggota keluarga mereka di alun-alun Plered dengan dalih mengadakan rapat.

Setelah semua berkumpul, Amangkurat I memberi isyarat dengan tembakan meriam dari istana untuk memulai pembantaian.

Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, semua ulama dan keluarganya dibantai habis tanpa ampun.

Darah mengalir deras di alun-alun Plered dan mayat-mayat berserakan di mana-mana.

Baca Juga: Gara-Gara Ulah VOC Diizinkan Ikut Campur Pemerintahan, Ini Kondisi Mataram Islam pada Masa Amangkurat I

Amangkurat I berpura-pura marah dan terkejut atas peristiwa tersebut dan menuduh para ulama sebagai pengkhianat yang bertanggung jawab atas kematian Pangeran Danupoyo.

Kemudian ia juga membantai delapan pembesar yang dihukum Amangkurat I adalah:

1.Tumenggung Wiraguna, abdi dalem senior yang istrinya diselingkuhi oleh Amangkurat I semasa menjadi putra mahkota.

2.Pangeran Purbaya, adik Amangkurat I yang juga mendukung Wiraguna dalam kasus perselingkuhan tersebut.

3.Pangeran Singasari, adik Amangkurat I yang juga diduga terlibat dalam upaya kudeta Pangeran Danupoyo.

4.Tumenggung Jayengrana, menantu Amangkurat I yang juga diduga terlibat dalam upaya kudeta Pangeran Danupoyo.

5.Tumenggung Jayengsari, menantu Amangkurat I yang juga diduga terlibat dalam upaya kudeta Pangeran Danupoyo.

6.Tumenggung Jayengkaton, menantu Amangkurat I yang juga diduga terlibat dalam upaya kudeta Pangeran Danupoyo.

7.Tumenggung Jayengpura, menantu Amangkurat I yang juga diduga terlibat dalam upaya kudeta Pangeran Danupoyo.

8.Tumenggung Jayengprana, menantu Amangkurat I yang juga diduga terlibat dalam upaya kudeta Pangeran Danupoyo.

Pembantaian ulama dan delapan pembesar ini merupakan salah satu kekejaman Amangkurat I yang tercatat dalam Babad Tanah Jawi, sebuah sastra berbentuk tembang macapat berbahasa Jawa yang berisi mengenai sejarah pulau Jawa.

Baca Juga: Daftar Lengkap Raja-raja Mataram Islam Termasuk dengan Tahunnya

Dalam babad ini, masa pemerintahan Amangkurat I digambarkan sebagai masa kelaliman yang dimetaforakan dengan kuku yang putus.

Metafora ini mengacu pada peristiwa ketika Amangkurat I terluka di kakinya akibat serangan musuh dan harus memotong kukunya.

Kuku yang putus melambangkan kehilangan kekuasaan dan kehormatan raja Mataram.

Babad Tanah Jawi sendiri memiliki beragam susunan dan isi, dan tidak ditemukan salinan yang berusia lebih tua daripada abad ke-18.

Terdapat dua kelompok induk naskah babad ini: pertama, induk babad yang ditulis oleh Carik Tumenggung Tirtowiguno atas perintah Pakubuwana III pada tahun 1788; kedua, induk babad yang ditulis oleh Carik Adilangu II pada tahun 1722.

Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram.

Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan, sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.

Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain, H.J. de Graaf.

Menurutnya, apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya peristiwa sejarah abad ke-16 sampai pada abad ke-18.

Namun, untuk sejarah di luar era itu, de Graaf tidak menyebutnya sebagai data sejarah karena sarat dengan campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.

Artikel Terkait