Ketika Amangkurat I Memimpin Mataram Islam Dengan Sewenang-sewenang

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Geger Pecinan menjadi salah satu konflik internal yang pernah terjadi di Mataram Islam.
Geger Pecinan menjadi salah satu konflik internal yang pernah terjadi di Mataram Islam.

Geger Pecinan menjadi salah satu konflik internal yang pernah terjadi di Mataram Islam.

Intisari-Online.com -Mataram Islam mencapai punjak kejayaannya di masa Sultan Agung.

Tapi kegemilangan itu ternyata tidak dilanjutkan dengan baik oleh raja selanjutnya, Amangkurat I.

Justru di masa Amangkurat I-lah Mataram Islam pelan-pelan menemui kemunduran.

Di masa kejayaannya, Mataram Islam berhasil menaklukkanhampir seluruh Jawa dan sebagian Sumatra.

Sultan Agung juga dikenal sebagai raja yang bijaksana, adil, dan religius.

Namun, setelah Sultan Agung wafat, kerajaan Mataram mengalami kemunduran dan krisis.

Putra mahkota Sultan Agung, Raden Mas Sayyidin, naik takhta dengan gelar Amangkurat I pada tahun 1646.

Ia adalah raja Mataram keempat dengan gelar susuhunan.

Sayangnya, ia tidak mewarisi sifat ayahnya yang mulia. Ia justru dikenal sebagai raja yang zalim, bengis, dan diktator.

Amangkurat I berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan cara-cara kejam.

Ia membunuh atau mengasingkan siapa saja yang dianggap sebagai ancaman atau lawan politiknya.

Ia juga menindas rakyatnya dengan pajak dan kerja paksa yang berat.

Ia tidak peduli dengan kesejahteraan dan kepentingan rakyatnya, melainkan hanya mementingkan diri sendiri dan keluarganya.

Akibat kebijakan-kebijakan Amangkurat I yang sewenang-wenang, banyak terjadi pemberontakan dan perlawanan dari berbagai pihak.

Beberapa di antaranya adalah:

Pemberontakan Pangeran Alit (1648)

Adik Amangkurat I itu tidak puas dengan perlakuan kakaknya.

Pangeran Alit dibantu oleh para ulama dan santri yang tidak senang dengan sikap Amangkurat I yang anti-Islam.

Pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh Amangkurat I dengan bantuan VOC.

Pangeran Alit ditangkap dan dibunuh oleh Amangkurat I.

Pemberontakan Trunajaya (1674-1679)

Dia adalah bangsawan Madura yang menentang kekuasaan Mataram.

Trunajaya dibantu oleh para pemberontak dari Jawa Timur, Bali, Lombok, Makassar, dan Bugis. Pemberontakan ini berhasil merebut ibu kota Mataram di Plered pada tahun 1677.

Amangkurat I terpaksa melarikan diri ke Tegal bersama putra mahkotanya, Pangeran Adipati Anom.

Pemberontakan Surapati (1686-1706)

Dia adalah seorang budak asal Bali yang melarikan diri dari VOC dan bergabung dengan Trunajaya.

Surapati kemudian mendirikan kerajaan sendiri di Pasuruan dan melawan VOC serta Mataram.

Pemberontakan-pemberontakan ini menyebabkan kerajaan Mataram terpecah-pecah dan melemah.

Amangkurat I sendiri meninggal dunia pada tahun 1677 di tengah pelariannya.

Ia digantikan oleh putranya, Amangkurat II.

Amangkurat II berhasil mengalahkan Trunajaya pada tahun 1679 dengan bantuan VOC.

Namun, ia harus membayar mahal atas bantuan tersebut.

Ia harus menyerahkan sebagian wilayah Mataram kepada VOC sebagai ganti rugi perang.

Ia juga harus mengakui VOC sebagai penguasa tertinggi di Jawa.

Dengan demikian, masa pemerintahan Amangkurat I menandai awal kemunduran dan penjajahan Mataram oleh VOC

Amangkurat II kemudian memindahkan ibu kota Mataram dari Plered ke Kartasura pada tahun 1680.

Ia berusaha memulihkan kekuasaan dan kestabilan Mataram, tetapi menghadapi berbagai tantangan.

Salah satunya adalah pemberontakan Surapati, seorang budak asal Bali yang melarikan diri dari VOC dan mendirikan kerajaan sendiri di Pasuruan.

Surapati melawan VOC dan Mataram hingga akhir hayatnya pada tahun 1706.

Amangkurat II juga menghadapi persaingan dari adiknya, Pangeran Puger, yang menolak bergabung dengannya karena mendengar isu bahwa ia bukanlah putra Amangkurat I yang sebenarnya, melainkan anak Cornelis Speelman yang menyamar sebagai Raden Mas Rahmat.

Isu ini muncul pada tahun 1680 dan menyebabkan kericuhan di tengah rakyat.

Amangkurat II meninggal pada tahun 1703 dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Surya atau Amangkurat III.

Namun, hubungan Amangkurat III dan VOC tidak baik, sehingga pihak Belanda menentang penobatannya.

Mereka justru menunjuk Pangeran Puger untuk menggantikan Amangkurat II untuk memimpin Kerajaan Mataram.

Perebutan tahta antara Amangkurat III dan Pangeran Puger menimbulkan perang saudara pada tahun 1704-1708.

Perang saudara ini berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Puger (bergelar Pakubuwono I) dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Amangkurat III (bergelar Hamengkubuwono I).

Kedua kerajaan ini tetap berada di bawah pengawasan VOC.

Dengan demikian, Kerajaan Mataram Islam secara resmi berakhir pada tahun 1755.

Kerajaan ini meninggalkan banyak peninggalan sejarah dan budaya yang masih dapat dilihat hingga kini, seperti candi-candi, makam-makam raja, keraton-keraton, serta seni dan sastra Jawa.

Artikel Terkait