Intisari-online.com - Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang berkuasa antara abad ke-16 hingga abad ke-18.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan ketika diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645 M), yang berhasil menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, serta melawan penjajahan VOC. N
amun, setelah Sultan Agung wafat, kerajaan ini mengalami kemunduran akibat pemberontakan dan konflik internal.
Salah satu raja yang menghadapi tantangan tersebut adalah Amangkurat I (1646-1677 M), putra dan penerus Sultan Agung.
Amangkurat I dan Sultan Agung memiliki kepribadian dan gaya kepemimpinan yang sangat berbeda.
Sultan Agung dikenal sebagai raja yang bijaksana, berwibawa, religius, dan berani.
Ia menerapkan politik ekspansi dan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Kalimantan.
Lalu membangun infrastruktur, budaya, dan agama di wilayah kekuasaannya.
Kemudian mengembangkan sistem penanggalan Jawa, aksara Jawa, sastra Jawa, seni pertunjukan wayang kulit, serta memperkuat ajaran Islam dengan mendirikan pesantren-pesantren.
Sultan Agung juga gigih melawan VOC, yang mencoba menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Ia menolak permintaan VOC untuk mendirikan loji-loji dagang di pantai utara Jawa, dan melakukan dua kali serangan besar-besaran ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629.
Meskipun serangan-serangan tersebut gagal merebut benteng VOC, namun ia berhasil melemahkan kekuatan VOC secara ekonomi dan militer.
Sultan Agung juga membentuk aliansi dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara untuk melawan VOC.
Sementara itu, Amangkurat I dikenal sebagai raja yang zalim, curiga, otoriter, dan oportunis. Ia menerapkan politik sentralisasi dan pemusatan kekuasaan di tangan raja.
Ia mencabut hak-hak para adipati dan bupati di daerah-daerah bawahan, serta membubarkan pasukan-pasukan lokal yang loyal kepada ayahnya.
Ia juga mengeksekusi atau mengasingkan banyak anggota keluarga kerajaan dan pejabat-pejabat senior yang dianggap berpotensi memberontak.
Bahkan membunuh adiknya sendiri, Pangeran Alit, yang terlibat dalam skandal perselingkuhan dengan istri seorang tumenggung.
Amangkurat I juga bersikap lebih lunak terhadap VOC daripada ayahnya.
Ia mengizinkan VOC untuk mendirikan loji-loji dagang di beberapa pelabuhan penting di Jawa.
Bahkan meminta bantuan VOC untuk menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di wilayah kekuasaannya.
Salah satu pemberontakan terbesar adalah Pemberontakan Trunajaya (1674-1680), yang dipimpin oleh seorang penguasa Madura yang didukung oleh Makassar.
Pemberontakan ini berhasil menduduki ibu kota Mataram di Plered pada tahun 1677, sehingga Amangkurat I harus melarikan diri ke arah timur.
Baca Juga: Tak Terjebak Nafsu Duniawi, Pangeran Benowo Relakan Pajang Dikuasai Mataram Islam, Demi Agama?
Dalam pelariannya itu, Amangkurat I meninggal dunia karena sakit pada tahun 1677.
Dia digantikan oleh putranya, Amangkurat II, yang terus berjuang untuk merebut kembali takhta Mataram dari tangan Trunajaya.
Amangkurat II meminta bantuan kepada VOC dan Bupati Ponorogo, serta menjanjikan pembayaran dalam bentuk uang dan wilayah.
Keterlibatan VOC berhasil membalikkan situasi.
Pasukan VOC dan Mataram merebut kembali daerah-daerah Mataram yang diduduki, dan merebut ibu kota Trunajaya di Kediri pada tahun 1678.
Pemberontakan terus berlangsung hingga Trunajaya ditangkap VOC pada akhir 1679, dan juga kekalahan, kematian atau menyerahnya pemimpin-pemberontakan lain pada tahun 1680.
Trunajaya menjadi tawanan VOC, tetapi dibunuh oleh Amangkurat II saat kunjungan raja pada tahun 1680.
Dari perbandingan kepemimpinan Amangkurat I dan Sultan Agung dalam menghadapi tantangan peperangan Mataram Islam, dapat dilihat bahwa keduanya memiliki perbedaan yang signifikan.
Sultan Agung lebih berhasil dalam mempertahankan dan memperluas wilayah Mataram, serta melawan penjajahan VOC dengan cara militer dan diplomasi.
Ia juga lebih dihormati dan dicintai oleh rakyatnya karena kebijakan-kebijakannya yang bijaksana dan adil.
Sedangkan Amangkurat I lebih gagal dalam mengatasi pemberontakan dan konflik internal yang mengancam keutuhan Mataram.
Karena dirinya lebih ditakuti dan dibenci oleh rakyatnya karena kekejamannya dan keserakahannya.
Ia bahkan harus mengorbankan sebagian wilayah Mataram untuk mendapatkan bantuan dari VOC.
Pemberontakan Trunajaya dikenang sebagai perjuangan heroik bagi rakyat Madura melawan kekuatan asing Kesultanan Mataram dan VOC.
Muncul usulan agar Raden Trunajaya diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Namanya kemudian diabadikan sebagai nama bandar udara di Sumenep, Bandar Udara Trunojoyo dan Universitas Trunojoyo di Bangkalan, Madura.