Penulis
Intisari-Online.com - Apa kesepakatan tentang dasar negara yang dihasilkan dari anggota BPUPKI yang memiliki keragaman latar belakang agama dan kebudayaan?
Pertanyaan "Apa kesepakatan tentang dasar negara yang dihasilkan dari anggota BPUPKI yang memiliki keragaman latar belakang agama dan kebudayaan?" terdapat pada buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kelas X halaman 152.
Setelah dibentuk pada 29 April 1945, BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia, melaksanakan sidang sebanyak dua kali.
Sidang pertama diselenggarakan pada pada 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945, sementara itu sidang kedua pada tanggal 10-17 Juli 1945.
Keanggotaan dan pelaksanaan sidang BPUPKI menjadi salah satu contoh bagaimana bangsa Indonesia menjalankan toleransi dalam keberagaman yang ada.
Seperti diketahui Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama dan budaya.
Namun, untuk menjadi negara Indonesia, kemajemukan yang ada di Indonesia terjalin dalam satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat.
Indonesia adalah negara yang memayungi berbagai kebudayaan di dalamnya.
Kebinekaan budaya difasilitasi dan dimajukan. Tak hanya itu, Indonesia memfasilitasi segala macam ragam kebudayaan yang berkolaborasi dari Sabang sampai Merauke.
Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan dari Aceh hingga Papua.
BPUPKI memiliki anggota sebanyak 70 orang yang berlatarbelakang suku dan agama yang tidak sama.
Namun, para anggota dari latarbelakang suku dan agama yang berbeda itu tetap dapat mencapai kesepakatan yang menjadi hasil sidang BPUPKI meski prosesnya tak mudah.
Dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewargaan kelas X, dipelajari tentang kolaborasi antarbudaya di Indonesia.
Kolaborasi merupakan sebuah kerja sama yang dilakukan, baik individu maupun kelompok.
Mereka yang terlibat dalam kerja sama itu mendasarkan dirinya pada nilai yang disepakati, komitmen yang dijaga serta keinginan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa perbedaan latar belakang budaya, tidak menghalangi siapapun untuk bisa bekerja bersama-sama.
Dengan semangat kolaboratif, jati diri yang berbeda itu bisa bergandengan tangan menciptakan prakarya kebudayaan.
Karena bersifat kolaborasi, maka identitas-identitas yang turut di dalamnya tidak kehilangan jati dirinya.
Persis seperti gambaran tentang jati diri bangsa Indonesia yang berasal dari keragaman identitas yang masih sangat terjaga, meski dalam satu waktu, ada identitas yang secara bersama-sama disepakati sebagai identitas nasional.
Pancasila merupakan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila, tidak ada Indonesia. Begitupun sebaliknya.
Identitas Indonesia adalah Pancasila. Keduanya seperti dua sisi mata uang.
Sidang BPUPKI adalah pertemuan yang menghasilkan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Lalu, seperti apa kesepakatan tentang dasar negara yang dihasilkan dari anggota BPUPKI yang memiliki keragaman latar belakang agama dan kebudayaan?
Baca Juga: Bak SukuMetkayina diAvatar: The Way of Water, Suku Thailand IniBisa Melihat dengan Jelas di BawahAir
Pada sidang BPUPKI yang pertama, setelah tiga hari menjalankan sidang untuk merumuskan dasar negara, ternyata anggota BPUPKI belum mencapai kesepakatan.
Oleh karena itu, pada 1 Juni 1945, dibentuklah Panitia Sembilan, yaitu kelompok kecil yang diambil dari panitia kecil saat sidang pertama BPUPKI.
Tugas dari Panitia Sembilan adalah bertanggung jawab dalam merumuskan dasar negara, memberikan masukan secara lisan atau tertulis tentang rumusan dasar negara, dan menampung masukan yang berkaitan dengan perumusan dasar negara.
Panitia Sembilan melibatkan Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, KH Wahid Hasjim, Abdul KH Muzakkir, Abikusno Cokrosuroyo, Haji Agus Salim, dan AA Maramis.
Pertemuan Panitia Sembilan menghasilkan apa yang dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta hakikatnya adalah teks deklarasi kemerdekaan Indonesia yang di dalamnya berisi manifesto politik, alasan eksistensi Indonesia, sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia.
Piagam Jakarta terbentuk setelah melalui perdebatan pemikiran para tokoh Panitia Sembilan.
Namun, setelah dibacakan Soekarno pada hari pertama sidang kedua BPUPKI yang diselenggarakan bulan Juli 1945, isi Piagam Jakarta masih menimbulkan perdebatan, khususnya pada bagian dasar negara yang terdapat pada alinea keempat, yang isinya:
Salah satu tokoh yang menyatakan keberatannya terhadap frasa tersebut adalah Latuharhary.
Baca Juga: Mirip Suku Metkayina di FilmAvatar: The Way of Water, Ini Kisah Orang Laut di Kepulauan Riau
Namun, meski butir pertama tersebut juga diperdebatkan oleh Wongsonegoro, Djajadiningrat, Agus Salim, dan Wachid Hasyim, pada akhirnya, anggota sidang menerima Piagam Jakarta dengan suara bulat.
Itulah kesepakatan tentang dasar negara yang dihasilkan dari anggota BPUPKI.
Selajutnya, terdapat perubahan dari Piagam Jakarta hingga terbentuk Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia saat ini.
Perubahan itu terjadi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Meski telah disetujui pada sidang BPUPKI kedua, isi Piagam Jakarta kembali memicu konflik.
Bagian yang dipermasalahkan masih sama, yakni bunyi sila pertama dalam Piagam Jakarta, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Moh Hatta pun mengumpulkan wakil golongan Islam seperti Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan untuk membicarakan persoalan tersebut.
Dalam pembicaraan informal, akhirnya disepakati bahwa frasa "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa" demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, Moh. Hatta membacakan beberapa perubahan sebagaimana telah disepakatinya bersama beberapa wakil golongan Islam.
Setelah ada perubahan isi, Piagam Jakarta diubah namanya menjadi Pembukaan UUD 1945, dan diresmikan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Alasan butir pertama dalam Piagam Jakarta diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa tak lain adalah demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Baca Juga: Siapa Mereka? Kubu Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi Hadirkan Saksi Ahli Meringankan
(*)