Find Us On Social Media :

Apa Itu Aliran Wujudiyah yang Berkembang di Aceh Tapi Tidak Sesuai dengan Syekh Nuruddin?

By Mentari DP, Senin, 12 Desember 2022 | 12:30 WIB

Apa itu aliran wujudiyah yang berkembang di Aceh tapi tidak sesuai dengan Syekh Nuruddin?

Intisari-Online.comSyekh Nuruddin awalnya belajar bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam ilmu agamanya saat beribadah haji ke Makkah.

Sepulang dari Makkah, didapati bahwa di Aceh, aliran wujudiyah sudah berkembang. Jelaskan apa itu aliran wujudiyah?

Pertanyaan aliran wujudiyah dan Syekh Nuruddin ada di halaman 173.

Tepatnya pada buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas XI.

Untuk jawabannya, Anda bisa membuka halaman 155 dan mulai membaca pada sub bab d. Jejak dan Langkah Nuruddin bin Ali ar-Raniri.

Syekh Nuruddin memiliki nama lengkap Syekh Nuruddin Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi.

Jika ditelaah dari namanya, Syekh Nuruddin memiliki darah keturunan (nasab) dari suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW.

Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama.

Sedangkan nama populernya adalah Syekh Nuruddin Ar-Raniri atau Syekh Nuruddin. Dia adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).

Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, wilayah Gujarat India, dan wafat pada 21 September 1658 M.

Pada tahun 1637 M, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di daerah tersebut sampai tahun 1644 M.

Baca Juga: Ini 2 Karya Syekh Abdus Samad yang Terkenal dan Sampai Saat Ini Masih Dipergunakan

Mula-mula Syekh Nuruddin mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama saat beribadah haji ke Makkah.

Peranan Syekh Nuruddin dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan.

Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengurangi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya.

Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di wilayah ini, Syekh Nuruddin berupaya menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.

Bahkan, Syekh Nuruddin merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktik sufi yang salah dan benar.

Sepulang dari Makkah dan baru tiba di Aceh, di wilayah tersebut telah berkembang luas aliran wujudiyah.

Aliran wujudiyah ini dianut dan dikembangkan oleh Syekh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani.

Apa itu aliran wujudiyah?

Aliran wujudiyah berasal dari pemikiran dan ajaran panteisme Ibnu Arabi yang kemudian dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani.

Aliran wujudiyah ini mengacu kepada dua hal, yaitu kesatuan wujud Tuhan dengan makhluk dan perbedaan antara syariat dan hakikat.

Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah (salah satu aliran tasawuf), Syekh Nuruddin pindah ke Semenanjung Malaka untuk memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu.

Baca Juga: Di Negara-negara Mana Syekh Yusuf Belajar Kepada Ulama-ulama Terkemuka pada Tahun 1644?

Pada tahun 1637 M, ia kembali ke Aceh dan tinggal selama tujuh tahun.

Saat itu Syekh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal.

Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636 M-1641 M) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin.

Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, ditambah jabatan sebagai Syekh di Masjid Bait al-Rahmān.

Baca Juga: Inilah Ulama Indonesia yang Pernah Diundang untuk Presentasi di Hadapan Para Ulama Universitas Al-Azhar Kairo Mesir pada 1879 M