Find Us On Social Media :

Mau Untungnya Saja, Lelaki Eropa Mengambil Gundik Sudah Hal Lumrah

By Muflika Nur Fuaddah, Senin, 5 Desember 2022 | 15:47 WIB

(Ilustrasi) Gundik sudah menjadi persoalan sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17

Intisari-Online.com - Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke- 7, gundik sudah menjadi semacam kebutuhan.

Persoalan pergundikan memang bukan sesuatu yang baru. 

Namun baru pada pemerintahan J.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.

Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Bagi bangsa Belanda, menikahi perempuan-perempuan pribumi asli maupun yang berdarah campuran di Hindia Belanda adalah hal normal.

Masalah pergundikan atau pernyaian dalam masyarakat Hindia Belanda memang unik.

Bahkan bangsa kulit putih telah menjalani hidup bersama dengan perempuan-perempuan pribumi tidak hanya di Hindia Belanda saja.

Tetapi hampir di semua masyarakat kolonial, di Asia, Afrika, atau Amerika Selatan.

Kehidupan kolonial di mana-mana tampaknya agak digenangi oleh masalah seks.

Pertemuan dua ras yang berbeda berkembang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bentangan pertemuan budaya ini.

Pertemuan dan percampuran antar ras menjadi bagiandari moral dan kebiasaan di wilayah Hindia Belanda, yaitu laki-laki lajang, baik dari kelas atas maupun kelas bawah akan hidup bersama dengan seorang nyai.

Baca Juga: Ramuan Khusus Keperkasaan Raja Jawa yang Punya 45 Gundik, Apa Itu?

Hidup bersama seorang gundik atau nyai memberikan beberapa keuntungan.

Hal itu dirasa menyenangkan bagi para laki-laki Eropa karena pernyaian menjamin keadaan yang tidak mengikat.

Laki-laki Eropa ini menikmati keuntungannya tetapi tidak mau menanggung kerugiannya.

Hidup dalam pergundikan atau pernyaian memberikan dampak keteraturan terhadap perilaku hidup sang laki-laki Eropa.

Mempunyai seorang nyai akan menahan laki-laki Eropadari minuman keras, menjauhkan dari para pelacur, dan menjaga pola pengeluaran.

Selain itu seorang nyai dapat menjelaskan bagaimana kehidupan di Hindia Belanda kepada tuan Eropa-nya.

Nyai dapat mengajarkan bahasa pribumi dan memperkenalkan adat istiadat dan kehidupan di Hindia Belanda.

Terdapat satu tempat yang juga tidak dapat terlepas dari praktik pergundikan atau pernyaian, yaitu perkebunan-perkebunan.

Berubahnya lahan hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran terutama terjadi setelah tahun 1870.

Wilayah Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda dibuka untuk para pengusaha swasta, dan memperbolehkan tanah di wilayah Hindia Belanda disewakan.

Setelah itu, banyak tenaga kerja buruh yang berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah perkebunan untuk bekerja, baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan.

Baca Juga: Gundik Sarina: Para Wanita Berkebaya Putih Lengan Pendek 'Jual Diri' pada Serdadu di Tangsi Militer

Tenaga kerja ini kebanyakan berasal dari pribumi,khususnya Jawa.

Selain di Jawa, perkebunan juga banyak didirikan di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Timur.

Fenomena yang terjadi di dalam perkebunan pun hampir sama, yaitu adanya praktik pernyaian terhadap buruh-buruh perempuan.

Perempuan yang direkrut ke Sumatera Timur pada awalnya adalah para istri dari buruh kontrak dan perorangan.

Mereka direkrut selain sebagai tenaga kerja juga untuk memenuhi kebutuhan seks dari tuan kebun, mandor,dan buruh laki-laki.

Baca Juga: Serdadu Belanda Bocorkan Kehidupan Ranjang di Barak Militer: 'Mirip Tenda Pengungsian Bencana Alam'

(*)