Intisari-Online.com - Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke- 7, gundik sudah menjadi semacam kebutuhan.
Persoalan pergundikan memang bukan sesuatu yang baru.
Namun baru pada pemerintahan J.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.
Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.
Terdapat satu tempat yang juga tidak dapat terlepas dari praktik pergundikan atau pernyaian, yaitu perkebunan-perkebunan.
Berubahnya lahan hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran terutama terjadi setelah tahun 1870.
Wilayah Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda dibuka untuk para pengusaha swasta, dan memperbolehkan tanah di wilayah Hindia Belanda disewakan.
Setelah itu, banyak tenaga kerja buruh yang berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah perkebunan untuk bekerja, baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan.
Tenaga kerja ini kebanyakan berasal dari pribumi,
khususnya Jawa.
Selain di Jawa, perkebunan juga banyak didirikan di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Timur.
Fenomena yang terjadi di dalam perkebunan pun hampir sama, yaitu adanya praktik pernyaian terhadap buruh-buruh perempuan.
Baca Juga: Ramuan Khusus Keperkasaan Raja Jawa yang Punya 45 Gundik, Apa Itu?
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR