Perempuan Pribumi 'Jajakan Diri' sebagai Gundik dengan Berbagai Cara

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

(Ilustrasi) Gundik sudah menjadi persoalan sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17
(Ilustrasi) Gundik sudah menjadi persoalan sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17

Intisari-Online.com - Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17,gundiksudah menjadi semacam kebutuhan.

Eksploitasi atas Hindia Belanda yang subur dan besar tidak mungkin dilakukan tanpa penempatan militer bagi banyak negara besar

Maka dibentuklah Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger atau KNIL.

KNIL adalah tentara kerajaan Hindia Belanda yang didirikan Belanda tahun 1830.

Tujuan dibentuknya KNIL adalah untuk mengawasi dan mengontrol wilayah jajahan.

Namun ada yang menarik dengan kehidupan antara serdadu dengan perempuan-perempuan yang tinggal dalam tangsi militer.

Hubungan pernyaian antara serdadu dengan perempuan pribumi disebutkan dapat mencegah serdadu dari tindak asusila.

Hal itu lantaran laki-laki yang mempunyai pasangan tidak akan menggunakan uangnya untuk mabukmabukan.

Resiko terkena penyakit kelamin pun kecil, karena ia hanya berhubungan dengan hanya satu perempuan.

Mereka para bintara yang memiliki pasangan mempunyai kamar sendiri-sendiri.

Prajurit tidur bersama istri-istri di bangsal serdadu yang dipisahkan dengan sekat, dan setiap malam, pasangan bisa menutup tempat tidur dengan kelambu lalu mematikanlampu.

Baca Juga: Kisah Pria Tukang Koleksi Gundik Cantik dari Berbagai Macam Etnik

Untuk menjadi seorang nyai di tangsi militer KNIL terdapat beberapa jalan.

Ada seorang perempuan pribumi yang menawarkan diri, ataspermintaan serdadu atau ditawarkan sebagai nyai oleh keluarga mereka.

Ada juga hubungan pernyaian yang terjalin karena para serdadu mencari sendiri nyai mereka di sekitar tangsi.

Banyak gadis dan perempuan muda pribumi yang bekerja di warung-warung makan dekat tangsi dan kemudian menjadi nyai dengan cara demikian.

Pada saat itu bahkan terdapat sebuah kelompok gundik tangsi profesional.

Mereka adalah para perempuan yang memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan menawarkan diri menjadi gundik anggota militer kolonial.

Gundik tangsi profesional akan berdiri di gerbang tangsi dan menawarkan diri kepada para serdadu yang baru datang dari Eropa dan kepada mereka yang sedang mencari nyai.

Gundik-gundik ini sudah berpengalaman, dan memberikanpelayanan yang baik kepada para serdadu calon pasangan mereka.

Rata-rata umur seorang nyai di dalam tangsi tentara kolonial berusia antara 12-35 tahun.

Usia menikah bagi anak perempuan pribumi pada waktuitu adalah sekitar 13 tahun.

Jadi bukan hal yang aneh jika seorang anak perempuan berusia 12 tahun sudah hidup dalam pernyaian.

Baca Juga: Gundik Firaun yang Mengaku Tuhan Ini Lebih dari 200 Perempuan, Berapa Banyak Anaknya?

Bagi seorang perempuan pribumi, menjadi seorang nyai merupakan sebuah dilema sosial tersendiri.

Hal itu lantaran mereka adalah seseorang yang berasal dari negara yang terjajah.

Seorang nyai harus melayani seorang kafir Eropa dan merendahkan diri mereka di depan bangsa sendiri.

Mereka juga harus terpaksa menempatkan diri di luar masyarakat pribumi.

Posisi mereka bukanlah seorang pelacur, walaupun seorang gundik dianggap rendah oleh masyarakat pribumi atau pun masyarakat Eropa.

Posisi seorang gundik adalah diantara perempuan biasa dan seorang pelacur.

Baca Juga: Pergundikan: Pegawai Kompeni Girang Kantornya Gagal Sediakan 'Perawan yang Sudah Mateng Kawin'

(*)

Artikel Terkait