Gundik Era Kolonial dan Perempuan di Perkebunan yang Menanggung Beban Berat

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Penulis

(Ilustrasi) Persoalan pergundikan memang bukan sesuatu yang baru
(Ilustrasi) Persoalan pergundikan memang bukan sesuatu yang baru

Intisari-Online.com - Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke- 17,gundiksudah menjadi semacam kebutuhan.

Persoalanpergundikanmemang bukan sesuatu yang baru.

Namun baru pada pemerintahanJ.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.

Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Terdapat satu tempat yang juga tidak dapat terlepas dari praktik pergundikan atau pernyaian, yaitu perkebunan-perkebunan.

Berubahnya lahan hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran terutama terjadi setelah tahun 1870.

Wilayah Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda dibuka untuk para pengusaha swasta, dan memperbolehkan tanah di wilayah Hindia Belanda disewakan.

Setelah itu, banyak tenaga kerja buruh yang berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah perkebunan untuk bekerja, baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan.

Perekrutan buruh kuli pun dilakukan demi memenuhi kebutuhan tenaga kuli yang banyak di perkebunan.

Kuli-kuli diambil dari daerah-daerah yang padat penduduknya, tidak hanya dari kaum pribumi tetapi ada juga kuli yang berasal dari China dan Malaysia.

Mereka berasal dari lapisan masyarakat paling rendah di pedesaan, yaitu kaum proletar yang tidak memiliki apa-apa.

Baca Juga: Serdadu Belanda Bocorkan Kehidupan Ranjang di Barak Militer: 'Mirip Tenda Pengungsian Bencana Alam'

Jika sebelumnya mereka berada dalam kondisi yang memprihatinkan, setelah direkrut untuk bekerja di perkebunan mereka pun kembali kepada kondisi yang tidak jauh berbeda, tanpa harapan.

Para majikan Eropa menganggap buruh-buruh kuli sebagai bagian inventaris yang dapat dijadikan hak milik dengan mudah.

Kebutuhan buruh kontrak yang semakin meningkat menyebabkan pengusaha perkebunan melakukan perekrutan buruh perempuan pribumi dalam skala besar.

Di sisi lain, perekrutan buruh perempuan ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan sosial dan seksual para buruh kuli laki-laki yang juga terus meningkat.

Para buruh perempuan sebagian besar berasal dari Jawa, dan mereka biasanya berasal dari kelompok masyarakat miskin.

Menjadi buruh kontrak di perkebunan menjadi suatu harapan untuk keluar dari kehidupan yang tanpa masa depan.

Walaupun dalam kenyataannya, kehidupan mereka di perkebunan lebih berat, bahkan lebih berat dari buruh kuli laki-laki karena dalam hirarki dunia perkebunan, buruh perempuan berada di posisi paling rendah.

Wanita yang bekerja di perkebunan sekaligus menjadi isteri, sehingga secara fisik menanggung beban yang amat berat.

Tidak mengherankan apabila kehidupan terutama di Deli terkenal serba berat.

Pergi ke Deli berarti seperti menjalani suatu hukuman sehingga memerlukan pertimbangan sunguh-sungguh sebelum memutuskan untuk bermigrasi ke sana.

Bahkan anak ditakut-takuti akan dibawa ke Deli apabila tidak berkelakuan baik.

Baca Juga: Para Gundik Serdadu Kolonial di Perkebunan, Bebaskan 'Tuannya' dari Rasa Sepi

Struktur sosial dalam perkebunan swasta di Hindia Belanda tidak jauh berbeda dengan struktur dalam masyarakat Hindi Belanda secara umum.

Kelompok Eropa tetap berada di puncak hierarki, sedangkan kaum pribumi yang mayoritas berada paling bawah.

Yang membedakan adalah kedudukan, fungsi, dan peranannya dalam perkebunan itu sendiri.

Sejak perintisan perekebunan, bangsa Eropa berkedudukan di lapisan atas berdasarkan peranannya sebagai pengambil prakarsa, penanaman modal, pengelola, pendeknya selaku wiraswastawa utamanya

Baca Juga: Dapat 'Membungkam Keliaran' Lelaki Eropa, Para Gundik Pribumi Bawa Perubahan Besar

(*)

Artikel Terkait