Intisari-Online.com-Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke- 7,gundiksudah menjadi semacam kebutuhan.
Persoalanpergundikanmemang bukan sesuatu yang baru.
Namun baru pada pemerintahanJ.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.
Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.
Orang Belanda memang hobi memberikan nama profesi rendahan yang diambil dari orang-orang pribumi.
Salah satunya untuk menamakan pelacuran dengan sebutan Sarina.
Sarina merupakan bangsa pribumi yang berprofesi sebagai gundik.
Awalnya ia hanya melayani dan mengurus keperluan hidup para serdadu Eropa yang bertugas di Hindia Belanda.
Namun lama kelamaan, Sarina dijadikan sebagai wanita pelacur oleh para prajurit tersebut.
Seorang serdadu Belanda pernah bercerita dalam sebuah tulisan di sebuah majalah mengenai kehidupan seksual di tangsi militer.
Baca Juga:Gundik Firaun yang Mengaku Tuhan Ini Lebih dari 200 Perempuan, Berapa Banyak Anaknya?
Para serdadu, yang tinggal bersama istri, peliharaan (wanitanya), dan anak-anak dengan tempat tidur yang sempit, seperti tenda pengungsian bencana alam.
Tidak jarang, di antara serdadu itu ada yang menjual isterinya semalam suntuk untuk tidur dengan kawan serdadunya yang lain.
Selain itu masih banyak serdadu KNIL yang dijumpai masih senang mencari pelacur di sekitar tangsi.
Maka tidak heran apabila penyakit kelamin menyebar di wilayah tangsi militer.
Hal ini oleh pemerintah colonial sebelum tahun 1920 dibiarkan begitu saja.
Tahun 1930-an, kondisi perekonomian para serdadu mulaimemungkinkan untuk berumah tangga dan hidup sederhana, gaji mereka bertambah.
Sebelumnya, hal ini sulit sekali dan kehidupan seksual serdadu cukup kacau.
Sementara itu, mantan Perwira KNIL, S.E.W. Roorda van Eysinga menyebutkan bahwa keadaannyan sangat memprihatikan.
Hubungan seksual di dalam barak militer selayaknya hewan.
Mereka melakukan hubungan seksual dalam tangsi tanpa sekat-sekat yang menutup di setiap tempat tidur.
Ratusan prajurit tidur bersama gadis atau pembantu rumah tangga mereka di tempat tidur.
Baca Juga: Tak Ubahnya Seekor Sapi, Mirisnya Hubungan Serdadu dan Para Gundik di Barak Militer
Bahkan tidak dipisahkan oleh tirai satu dengan lainnya.
Tanpa megindahkan kesopanan mereka bercinta, di hadapan para penghuni lain, tak ubahnya seperti seekor sapi, kuda.
Pada paruh kedua abad ke-19, praktik hidup bersama menjadi kehidupan baru dalam tangsi-tangsi di Hindia Belanda.
Mereka kadang berada dalam satu bangsal bersama seratus serdadu.
Para serdadu itu tidur dengan “gundik-gundiknya” di tempat tidur kayu tanpa tirai dan bersenggama “tanpa rasa kesopanan”.
Berbeda dengan serdadu yang berasal dari luar Hindia Belanda, serdadu pribumi yang masuk dalam tentara kolonial biasanya sudah menikah.
Mereka bahkan sudah menjadi kepala keluarga di usia muda.
Hal ini terjadi karena kebiasaan perjodohan di kalangan orang Jawa.
Mereka pun yang telah menjadi tentara kolonial tidak serta merta melepaskan kehidupan sosial dan seksual mereka.
Mereka oleh pemimpin KNIL, Jenderal Haga, diizinkan untuk melanjutkan hubungan di dalam tangsi juga.
Baca Juga:Pergundikan: Pegawai Kompeni Girang Kantornya Gagal Sediakan 'Perawan yang Sudah Mateng Kawin'
(*)