Intisari-Online.com -Persoalanpergundikanmemang bukan sesuatu yang baru.
Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17,gundiksudah menjadi semacam kebutuhan.
Namun baru pada pemerintahanJ.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.
Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.
Namun, pada kenyataannya noni-noni Belanda itu gampang merana berada di daerah tropis sehingga terjadi penolakan.
Penolakan itu jugadikarenakanpasangan keluarga yang datang ke Hindia dikhawatirkan hanya akan bertujuan memperkaya diri.
Memang saat itu Hindia terkenal sebagai tempat pelarian pengusaha yang mengalami kebangkrutan di Eropa.
Kemudian juga ada alasan yang lebih bersifat biologis.
Disebutkan bahwa perkawinan suami-istri Belanda di Hindia ternyata sering mandul.
Sejak 1635, dewan komisaris mengubah taktik dan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia.
Baca Juga: Gundik Firaun yang Mengaku Tuhan Ini Lebih dari 200 Perempuan, Berapa Banyak Anaknya?
Peraturan itu membuat banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai sehingga, kapan saja ia memutuskan kembali ke Belanda, ia bisa membebaskan diri dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan.
Sistem pergundikan ini sudah ada sejak sebelum Belanda tiba, dan menurut Blusse, sistem ini ditentang para pembesar gereja di Batavia.
Meski begitu hidup bersama seorang gundik atau nyai memberikan beberapa keuntungan.
Hal itu dirasa menyenangkan bagi para laki-laki Eropa karena pernyaian menjamin keadaan yang tidak mengikat.
Laki-laki Eropa ini menikmati keuntungannya tetapi tidak mau menanggung kerugiannya.
Hidup dalam pernyaian memberikan dampak keteraturan terhadap perilaku hidup sang laki-laki Eropa.
Mempunyai seorang nyai akan menahan laki-laki Eropa dari minuman keras, menjauhkan dari para pelacur, dan menjaga pola pengeluaran.
Selain itu seorang nyai dapat menjelaskan bagaimana kehidupan di Hindia Belanda kepada tuan Eropa-nya.
Nyai dapat mengajarkan bahasa pribumi dan memperkenalkan adat istiadat dan kehidupan di Hindia Belanda
keberadaan seorang nyai atau gundik membawa perubahan yang sangat besar bagi penduduk Belanda.
Seorang nyai tidak hanya mempengaruhi budaya tuan Eropa-nya, tetapi juga mempengaruhi garus keturunan yang berbeda dalam masyarakat Eropa khususnya Belanda.
Baca Juga: Serdadu Belanda Bocorkan Kehidupan Ranjang di Barak Militer: 'Mirip Tenda Pengungsian Bencana Alam'
Apabila bangsa Inggris menganggap adanya separuhkasta (orang-orang Indo) melebihi batas sosial, bangsa Belanda lebih bersikap realistis.
Bangsa Belanda menganggap hibriditas merupakan akibat yang tidak dapat dihindari dari kolonialisme.
Sistem pergundikan itu menghasilkan sejarah panjang keberadaan para nyai.
Baca Juga: Gundik Sarina: Para Wanita Berkebaya Putih Lengan Pendek 'Jual Diri' pada Serdadu di Tangsi Militer
(*)