Penulis
Intisari-Online.com - Pengusutan kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan motivator kondang sekaligus pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI), Julianto Eka Putra, terhadap puluhan siswa sekolah terkenal tersebut masih terus bergulir.
Kasus yang diprediksi mencapai puluhan korban itu telah bergulir sejak tahun 2021, usai sejumlah mantan siswa bersuara dan melaporkan Julianto ke polisi.
Terbaru, mengutip kompas.tv (6/7/2022), dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, menyoroti tidak kunjung ditahannya terdakwa Julianto.
Untuk diketahui, Julianto ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2021 dan kini berstatus sebagai terdakwa, namun tidak ditahan.
Sementara itu, di depan gedung Pengadilan Negeri Kota Malang, sejumlah warga melalukan aksi demonstrasi.
Mereka menuntut hakim adil, dan menahan terdakwa Julianto Eka Putra untuk memberikan perlindungan maksimal bagi korban.
Meski kasus ini baru bergulir sejak 2021 lalu, namun menurut kesimpulan Komnas Perlindungan Anak, dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Julianto Eka Putra sudah terjadi sejak tahun 2009 di angkatan pertama sekolah tersebut.
Julianto diduga melakukan perbuatan tidak terpuji itu bukan hanya kepada siswa yang masih bersekolah. Namun, hal itu juga dilakukan kepada para alumni yang sudah lulus sekolah.
Baca Juga: Peristiwa Rengasdengklok Terjadi Karena Adanya Perbedaan Pendapat Mengenai, Berikut Ulasannya
Berdasarkan keterangan para korban, kata Arist dikutip Tribunnews (7/7/2022), kekerasan seksual yang dilakukan oleh Julianto sering kali terjadi atau dilakukan di sekolah.
"Ini dilakukan di lokasi di mana anak itu dididik yang seyogyanya menjadi entrepreneur dan berkarakter, tetapi karena perilaku si pengelola ini mengakibatkan si anak berada dalam situasi yang sangat menyedihkan," ujar Arist.
Bahkan, kekerasan seksual ini juga diduga dilakukan oleh Julianto ketika ia dan murid-muridnya sedang melakukan kunjungan ke luar negeri.
SPI memang banyak memiliki program kunjungan lantaran adanya pendidikan kewirausahaan, yang dikenal sebagai salah satu keunggulan dari sekolah ini.
Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) yang diduga merupakan lokasi terjadinya pelecehan seksual lebih dari 2 dekade oleh pendirinya, Julianto Eka Putra, merupakan sekolah yang cukup terkenal.
Selain karena banyak prestasi gemilang yang telah ditorehkan oleh anak didik sekolah ini, SPI juga dikenal sebagai sekolah yang menggratiskan biaya pendidikan bagi para siswanya.
SMA SPI tidak menerima dan meminta peserta didik atau wali murid mengeluarkan biaya apapun.
Peserta didik yang diterima di sekolah ini merupakan keluarga yatim piatu atau tidak mampu yang memerlukan pendidikan di jenjang SMA.
Baca Juga: Begini Cara Memijat Payudara dan Mengencangkan Alami dengan Ramuan Ini
SPI yang merupakan SMA berasrama (Boarding school) ini, terkenal bukan hanya di Kota Batu maupun di Indonesia, tetapi juga mancanegara.
Sekolah ini merupakan satu-satunya SMA di kota Batu yang menerapkan muatan lokal entrepreneurship, bahkan lengkap dengan laboratoriumnya bernama Kampoeng Succezz.
Kampoeng Succezz sendiri didirikan sebagai sarana belajar secara langsung dalam menerapkan teori-teori yang didapatkan di kelas, sehingga diharapkan peserta didik dapat mengalami dengan nyata dan menjadi kebiasaan (habit).
Selain itu, sistem pembelajarannya menggunakan moving class. Tak hanya dalam kelas persegi empat, tetapi juga menggunakan sejumlah ruangan berbentuk oval dan bulat. Tujuannya sistem ini yaitu agar para siswa tak terkungkung dalam sebuah ruangan.
Sementara waktu belajar mulai dari pukul 07.00 WIB sampai 15.00 WIB, dan di sela istirahat makan siang, para siswa dapat melihat hewan ternak dan tanaman sayuran yang mereka pelihara dan tanam.
Hal unik yang juga menonjol dari SPI adalah bagaimana penyelenggaraan seleksi masuk sekolah ini.
Rupanya, sekolah yang berlokasi di Jalan Pandanrejo Nomor 2 Bumiaji, Batu, Jawa Timur ini menerima murid dari seluruh Indonesia yang beragam baik agama maupun suku.
Para siswa diseleksi secara administrasi dengan komposisi sesuai demografi Indonesia terdiri dari 40 persen Islam, 20 persen Kristen, 20 persen Katolik, Hindu 10 persen dan Buddha 10 persen.
Sekolah ini dicetuskan oleh Julianto Eka Putra, yang mengaku merasa terketuk hatinya setelah membaca pemberitaan sejumlah media yang mengabarkan ada anak bunuh diri karena keluarga tak mampu membiayai pendidikan.
Sehingga, ia pun berinisiatif membangun sekolah gratis untuk siswa miskin berlatar belakang multikultural, multietnis, dan multireligi.
Sayangnya, hal itu kini tercoreng dengan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap puluhan siswa SPI yang menjeratnya.
Bahkan, sebuah kejahatan yang diduga telah terkubur selama 2 dekade lamanya dan para korban belum mendapatkan keadilan yang seharusnya.
Baca Juga: Gampang Banget, Ini Cara Membuat Rendang Daging Qurban Sapi Sederhana, Ayo Coba
(*)