Find Us On Social Media :

Apakah Perbedaan Korupsi, Pencucian Uang dan Penggelapan?

By Ade Sulaeman, Kamis, 9 Maret 2017 | 17:40 WIB

Apakah Perbedaan Korupsi, Pencucian Uang dan Penggelapan?

Intisari-Online.com -

Pertanyaan:

Sebenarnya apa perbedaan korupsi dan pencucian uang? Apakah seorang sekretaris yang menggunakan uang perusahaan swasta juga disebut sebagai korupsi? Kemudian apa hal itu merupakan jenis dari penggelapan? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

(Ada Ganjar Pranowo, Anas Urbaningrum, dan Ade Komarudin dalam Daftar Penerima Uang Korupsi e-KTP)

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan Anda. Anda menyebutkan 3 (tiga) tindak pidana, yakni, tindak pidana korupsi, pencucian uang dan penggelapan. Tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang bukanlah jenis dari penggelapan karena baik tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana penggelapan merupakan tindak pidana yang berbeda satu sama lainnya dan memiliki karasteristiknya masing-masing. Berikut ini akan kami jabarkan penjelasan terkait dengan masing-masing tindak pidana tersebut.

Korupsi, sebagaimana diartikan oleh Henry Campbell Black dalam sebuah kamus hukum yang berjudul Black’s Law Dictionary, adalah sebagai berikut (terjemahan bebas):

Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain

Namun, hukum positif di Indonesia mengatutr bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi. Hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), yang menyebutkan:

Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Jika mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU KPK di atas, maka ada begitu banyak jenis tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU PTPK”), yang jika dikelompokkan berdasarkan jenisnya, maka kelompok-kelompok tindak pidana korupsi tersebut sebagai berikut:

  1. Korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan Negara, diatur dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK;
  2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap, diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d dan Pasal 13 UU PTPK;
  3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan, diatur dalam ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b dan Pasal 10 huruf c 3 UU PTPK;
  4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan, diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f dan Pasal 12 huruf g UU PTPK;
  5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 12 huruf h UU PTPK;
  6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf i UU PTPK;
  7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, diatur dalam ketentuan Pasal 12B jo. Pasal 12C UU PTPK;

Selain dari tindak-tindak pidana tersebut di atas, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu:

  1. 1.      Merintangi Proses Pemeriksaan Perkara Korupsi, diatur dalam ketentuan Pasal 21 UU PTPK;
  2. 2.      Tidak Memberi Keterangan atau Memberi Keterangan yang Tidak Benar, diatur dalam ketentuan Pasal 22 jo. Pasal 28 UU PTPK;
  3. 3.      Bank yang Tidak Memberikan Keterangan Rekening Tersangka, diatur dalam ketentuan Pasal 22 jo. Pasal 29 UU PTPK;
  4. 4.      Saksi atau Ahli yang Tidak Memberi Keterangan atau Memberi Keterangan Palsu, diatur dalam ketentuan Pasal 22 jo. Pasal 35 UU PTPK;
  5. 5.      Orang yang Memegang Rahasia Jabatan Tidak Memberikan Keterangan atau Memberi Keterangan Palsu, diatur dalam ketentuan Pasal 22 jo. Pasal 36 UU PTPK;
  6. 6.      Saksi yang Membuka Identitas Pelapor, diatur dalam ketentuan Pasal 24 jo. Pasal 31 UU PTPK;

Karasteristik tindak pidana korupsi di atas, mensyaratkan bahwa pelakunya/tersangkanya/terdakwanya haruslah aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara atau orang lain/korporasi yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara.

Selanjutnya, kami akan menjelaskan mengenai tindak pidana pencucian uang atau yang lazim dikenal sebagai money laundering. Tindak pidana pencucian uang (“TPPU”) ini didefinisikan oleh Sutan Remy Sjahdeini, dalam bukunya berjudul Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, sebagai berikut:

Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal

Namun hukum positif yang berlaku di Indonesia tentang TPPU, tidak mengatur secara implicit mengenai apa yang dimaksud dengan TPPU, akan tetapi di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU 8/2010”), dijabarkan dan diatur jenis-jenis dan bentuk TPPU, yaitu terdiri dari:

  1. 1.      TPPU yang berkaitan dengan perbuatan dengan tujuan menyembunyikan asal usul harta kekayaan, diatur dalam ketentuan Pasal 3 UU 8/2010;
  2. 2.      TPPU yang berkaitan dengan perbuatan menyembunyikan informasi tentang harta kekayaan, diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU 8/2010;
  3. 3.      TPPU yang berkaitan dengan perbuatan menerima dan/atau menguasai harta kekayaan, diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU 8/2010.

Adapun yang dimaksud dengan harta kekayaan sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan-ketentuan di atas adalah harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 8/ 2010, yang selengkapnya berbunyi:

Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

  1. korupsi;
  2. penyuapan;
  3. narkotik;
  4. psikotropika;
  5. penyelundupan tenaga kerja;
  6. penyelundupan migran;
  7. di bidang perbankan;
  8. di bidang pasar modal;
  9. di bidang perasuransian;
  10. kepabeanan;
  11. cukai;
  12. perdagangan orang;
  13. perdagangan senjata gelap;
  14. terorisme;
  15. penculikan;
  16. pencurian;
  17. penggelapan;
  18. penipuan;
  19. pemalsuan uang;
  20. perjudian;
  21. prostitusi;
  22. di bidang perpajakan;
  23. di bidang kehutanan;
  24. di bidang lingkungan hidup;
  25. di bidang kelautan dan perikanan; atau
  26. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih

Dalam UU 8/2010, selain tindak-tindak pidana sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, juga diatur mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, yaitu:

  1. 1.      Pejabat/ pegawai PPATK dan atau penegak hukum dalam rangka melaksanakan tugas yang diamanatkan UU 8/2010, yang memperoleh dokumen atau keterangan, namun tidak merahasiakan dokumen atau keterangan yang diperoleh tersebut secara sah, diatur dalam ketentuan Pasal 11 UU 8/2010;
  2. 2.      Direksi atau pengurus pihak pelapor yang memberitahukan kepada pengguna jasa tentang transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun ataupun telah disampaikan kepada PPATK, diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU 8/2010;
  3. 3.      Pejabat/ pegawai PPATK dan atau penegak hukum dan atau lembaga pegawas dan pengatur yang memberitahukan laporan transaksi mencurigakan kepada pengguna jasa transaksi keuangan mencurigakan atau pihak lain, diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (3) UU 8/2010;
  4. 4.      melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK, diatur dalam ketentuan Pasal 14 UU 8/2010;
  5. 5.      Pejabat atau pegawai PPATK melanggar kewajiban, diatur dalam ketentuan Pasal 15 UU 8/2010;
  1. 6.      Pejabat/ pegawai PPATK yang Tidak Merahasiakan pihak pelapor dan pelapor, diatur dalam ketentuan Pasal 16 UU 8/2010;

Kemudian, yang terakhir, kami akan membahas mengenai penggelapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi , diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun

Berdasarkan ketentuan di atas, maka seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana penggelapan apabila sesuatu barang atau uang yang ada di bawah kekuasaannya, diperoleh bukan karena kejahatan, namun menjadikan barang tersebut menjadi kepunyaannya atau seolah-olah kepunyaannya.

Menjawab pertanyaan anda yang terakhir, dimana anda menanyakan apakah seorang sekretaris yang menggunakan uang perusahaan swasta dinyatakan korupsi atau tidak. Jawabannya adalah , karena sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, tindak pidana korupsi melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Namun, bagi seorang sekretaris yang menggunakan uang perusahaan swasta, ketentuan yang yang lebih tepat untuk perbuatan tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 KUHP, yang mengatur tentang Penggelapan dalam Jabatan, yang selengkapnya berbunyi demikian:

Penggelapan yang dilakukan oleh , diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

Sangat jelas dinyatakan bahwa tindak pidana dalam Pasal 374 KUHP adalah tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh orang yang menguasai barang itu karena pekerjaannya atau mendapat upah untuk itu. Hal ini sesuai dengan pertanyaan Anda, terkait dengan uang perusahaan swasta yang berada dibawah kekuasaan sekretaris yang memang menerima upah untuk menjadi sekretaris dan bertanggung jawab terhadap uang yang ada di bawah kekuasaannya.

Demikian penjelasan kami, semoga memberikan manfaat dan pemahaman bagi Anda.

(LBH Mawar Saron)

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Perberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; dan
  4. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

 

Referensi:

  1. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (London: West Publisher, 9th Edition, 2009);
  2. Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), hal. 5.