Intisari-Online.com - Posisi juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan diisi wajah baru, yaitu Febri Diansyah. Meski demikian Febri sebenarnya bukanlah muka lama di dunia peperangan melawan korupsi. Sebab, bertahun-tahun lamanya Febri menjadi menjadi aktivis antikorupsi di Indonesia Corruption Watch (ICW).
Beruntung, Intisari pernah melakukan wawancara langsung dengan sosok yang percaya bahwa akar dari semua kejahatan adalah korupsi tersebut.
---
Keterlibatan Febri Diansyah sejak 2007 dalam Indonesia Corruption Watch (ICW), sebuah lembaga swadaya masyarakat di bidang pemantauan dan pemberantasan korupsi, tak lepas dari aktivitasnya semasa kuliah.
Semasa berkuliah, lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) ini aktif di lembaga pengawasan peradilan, Indonesia Court Monitoring (ICM) di Yogya. Tapi itu cuma alasan sampingan. “Alasan utamanya justru ilmu yang saya tekuni, yaitu ilmu hukum,” tutur Febri.
Pria berkacamata dan berjenggot tipis ini kemudian bercerita tentang pengamatannya terhadap berbagai profesi para lulusan fakultas hukum, mulai dari hakim, jaksa, atau pengacara. Beberapa orang dari profesi tersebut, menurut Febri, “Menggunakan ilmu hukumnya untuk me-make-up ‘zombi-zombi’ alias membenarkan sesuatu yang jahat.” Ia merenung: hanya sebatas itukah manfaat ilmu hukum?
Pertanyaan itu mengarah pada keinginan untuk melakukan perubahan ketika pria kelahiran Padang, 8 Februari 1983, ini mulai membaca buku-buku tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer. Di buku-buku karyanya, Pram memaparkan fakta kemiskinan yang terus merajalela meski sekolah-sekolah terus melahirkan orang-orang pintar. Menurut Febri, semua ini terjadi akibat mereka yang berpendidikan tidak mau melakukan perubahan.
Korupsi kemudian menjadi fokus utama dari perubahan yang akan dia perjuangkan. Terutama setelah memahami konsep “The root of all evil is corruption” semasa Febri aktif di pers mahasiswa. Saat menjadi pemimpin redaksi majalah mahasiswa itu, korupsi menjadi bahan diskusinya setiap saat. “Kalau dulu hanya sekadar kuliah, mungkin saya tidak akan tertarik dengan korupsi,” kisahnya.
Febri juga sengaja memilih konsentrasi studi hukum perdata, di tengah banyak rekan aktivis mengambil konsentrasi hukum pidana atau hukum tata negara. Keputusannya itu antara lain dipicu wacana kala itu yang sedang hangat membahas tentang kontrak karya perusahaan-perusahaan multinasional pengeruk kekayaan alam Indonesia. Hukum perdata menjadi tempat untuk mempelajarinya.
Pilihan ini ternyata tepat. Di ICW, ilmu yang dipelajarinya dulu amatlah berguna. “Apalagi semua itu masih bisa didalami kembali, karena adanya akses yang lebih jauh terhadap data-data yang diperlukan,” tuturnya.
Belum lagi soal legitimasi sosial untuk berbicara mengenai pemberantasan korupsi. Saking bergunanya ilmu semasa kuliah, Febri sempat berujar: seandainya dirinya bisa bisa kembali kuliah, dia akan benar-benar belajar mengenai teori-teori hukum yang dulu sering dipandangnya sebelah mata lantaran dianggap “cuma sekadar teori”.