Find Us On Social Media :

Hardiknas: Ki Hajar Dewantara Pernah Siapkan Diri Jadi Tameng Bung Karno

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 2 Mei 2018 | 14:30 WIB

Intisari-Online.com – Inilah ciri khas kepribadian Ki Hajar yang diakui rekan-rekan sejawatnya. Kras maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Kesetiaan pada sikapnya ini terlihat jelas pada setiap kiprahnya.

Setamatnya dari ELS (SD Eropa) tahun 1910, Suwardi sempat bekerja di pabrik gula Kalibagor, Banyumas, sambil menulis di beberapa surat kabar, misalnya Sedyatama.

Tahun 1912 dipanggil ke Bandung oleh sahabatnya, E.F.E. Douwes Dekker, untuk membantu penerbitan surat kabar de Express.

Bersama dengan Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, kemudian mendirikan Partai Hindia atau Indische Partij (IP).

Baca juga: Hardiknas: Terlahir sebagai Raden Mas Suwardi Suryaningrat, dari Mana Nama Ki Hajar Dewantara?

Berbeda dengan orsospol sebelumnya yang masih berkutat pada perjuangan kelompok, IP bertujuan menyatukan rakyat untuk mencapai Hindia bebas dari Nederland alias merdeka.

Saat itu bisa dikatakan IP merupakan partai dengan tujuan paling radikal.

Tak pelak, kemunculan IP membuat pemerintahan Belanda miris. Benarlah, tak lama kemudian partai ini dibreidel.

Suwardi tak putus asa. Kritik pedas kepada penjajah kembali dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express November 1923, berjudul "Als ik eens Nederlander was" (Seandainya soya orang Belanda).

Dengan sindiran tajam tulisan itu menyatakan rasa malunya merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah.

Baca juga: 3 Peninggalan Adiluhung Ki Hajar Dewantara Bagi Dunia Pendidikan Indonesia

Suwardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regeringsreglement - UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda.

Akibat tulisan tersebut Ki Hajar harus membayar mahal dibuang ke Belanda Oktober 1914. Alhasil, pemuda yang baru saja mempersunting R.A. Sutartinah ini harus berbulan madu di pengasingan.

Tak hanya dalam bersikap. Secara fisik pun Ki Hajar memiliki keberanian yang mencengangkan. Ini terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas) tanggal 19 September 1945.

Saat itu pemerintah RI menghadapi tantangan, apakah Presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan.

Baca juga:Meskipun Beda Keraton, Hubungan Ki Hajar Dewantara dan Sultan Hamengkubuwana IX Ternyata Sangat Akrab

Sidang kabinet di Pejambon sempat ribut. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat.

Yang lain menolaknya dengan pertimbangan keselamatan. Akhirnya setelah melalui perundingan alot, semua sepakat untuk hadir.

Yang kemudian menjadi pertanyaan, siapa menteri yang harus membuka jalan terlebih dulu memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan Presiden, mengingat ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional.

Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hajar unjuk keberanian. Bersama Menlu Mr. Achmad Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusumasumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi tameng.

Baca juga: Hardiknas: Saat Ki Hajar Dewantara Bermufakat tentang Kabar Kematiannya

Padahal usia bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika diingatkan oleh Sesneg  Abdul Gafur Pringgodigdo, "Ingat, Ki Hajar ‘kan sudah tua."

Ki Hajar menjawab enteng, "Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa.”

Tak sekali itu saja Ki Hajar menunjukkan keberaniannya. Meski baru saja keluar dari tahanan, Desember 1948, ia sudah berani perang mulut dengan tentara Belanda.

Pagi itu satu peleton tentara Belanda dengan sikap garang melakukan sweeping di asrama para Pamong (guru) Tamansiswa, Yogyakarta.

Sebelum rombongan tentara itu berlalu, Ibu Dalimo, salah seorang istri pamong, tergopoh-gopoh mendatangi Ki Hajar. Ia melaporkan, seorang serdadu Belanda merampas kalung emasnya.

Secara tak terduga, Ki Hajar menghardik komandan tentara tersebut dan melarang mereka meninggalkan tempat.

Baca juga: Pendidikan Finlandia Terbaik di Dunia, Ajaran Ki Hadjar Dewantara Diadopsi di Sana

Perang mulut antara Ki Hajar dengan sang komandan dalam bahasa Belanda ini berlangsung sengit. Akhirnya, kalung emas pun berhasil kembali ke pemiliknya.

Tentu, mereka yang tidak mengenal pribadi Ki Hajar secara utuh akan terkaget-kaget menyaksikan adegan ini.

Betapa tidak? Sosok pria kurus berhati lembut yang tidak pernah memaksakan kehendaknya terhadap orang lain, temyata bisa marah meledak-ledak.

Orang sering kali lupa, semboyan tutwuri andayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya berbunyi, ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tutwuri, andayani.

Di depan memberi teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang memberi pengarahan.

Mungkin, peristiwa di atas sekaligus bisa memberi jawaban, apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kalau anak buah yang berada dalam pengayomannya terancam bahaya?

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2000)

Baca juga: Puisi, Bendera, WC, dan 'Konyolnya' Hukuman di Lingkungan Pendidikan Kita