Advertorial
Intisari-online.com - Sistem pendidikan di Finlandia terkenal sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia.
Uniknya, meski pemerintah Finlandia tak mengenal Ki Hadjar Dewantara, terdapat kesamaan antara konsep pendidikan di Finlandia dengan prinsip-prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang ditulis puluhan tahun lalu.
Dalam buku “Pusara” (1940), Ki Hadjar Dewantara menyatakan:
“Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi.”
BACA JUGA:Potret Pendidikan Finlandia: Waktu Belajar Hanya 3 Jam, Tak Ada PR dan Ujian, Tapi Terbaik di Dunia
Kesamaan lainnya adalah pengaruh besar kesetaraan pada kinerja pendidikan.
“Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya.”
Sekitar 80 tahun yang lalu, dalam buku Keluarga, Ki Hadjar Dewantara berpendapat “Anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratinya yang unik, tak mungkin pendidik ‘mengubah padi menjadi jagung’, atau sebaliknya.”
Konsep yang sama jika merujuk pada pandangan pemerintah Finlandia yang menganggap standarisasi kaku dan berlebihan merupakan musuh kreativitas.
Kesamaan yang terakhir muncul dalam Mimbar Indonesia (1948) saat Ki Hadjar Dewantara menganggap “Bermain adalah tuntutan jiwa anak untuk menuju ke arah kemajuan hidup jasmani maupun rohani.”
Secara singkat, Finlandia juga selalu menekankan bahwa anak harus bermain.
Di era 1960-an, pendidikan di Finlandia pernah mengalami titik nadir, bahkan sempat kalah dari Amerika Serikat.
Tapi seiring berjalannya waktu, sistem pendidikan di negara tersebut terus membaik, membaik, dan membaik. Hingga pada era 2000-an, Finlandia disebut sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Jauh di atas Amerika—apalagi Indonesia.
Terkait hal ini, satiris dan aktivis anti-perang Amerika Serikat Michael Moore tertarik mencari jawabannya. Satu pertanyaan yang ia lontarkan waktu itu: “Apa yang telah mereka lakukan?”
Moore tahu ke mana harus mencari jawabannya. Benar, Menteri Pendidikan setempat. Dan Anda tahu, apa jawaban Ibu Menteri Krista Kiuru terkait pertanyaan Moore tadi? “Mereka tidak pernah diberi PR!”.
Ibu Menteri kemudian melanjutkan, “Mereka harus menjadi anak-anak, menjadi remaja, untuk menikmati hidup.”
BACA JUGA:9 Gaya Pendidikan di Jepang Ini Keren Banget! Dijamin Bikin Kita Cemburu dan Iri
Setelah dari Menteri Pendidikan, Moore melanjutkan petualangannya ke sekolah-sekolah. Kepada salah seorang guru ia bertanya, berapa lama anak-anak menghabiskan waktunya mereka di sekolah? “Tiga jam sehari, 20 jam dalam seminggu,” jawab guru tersebut.
Dan tiga jam itu tidak diseluruhnya di dalam kelas, justru kegiatan di luar kelas yang diperbanyak.
“Jika hanya PR, PR, dan PR, tidak ada waktu untuk belajar, dan itu tidak berguna untuk jangka panjang,” ujar Leena Liusvaara, salah seorang kepala sekolah di Finlandia.
Benar, murid-murid di Finlandia memiliki masa pendidikan yang paling pendek dibanding negara-negara lain.
Meski demikian, mereka lebih berprestasi dibanding murid-murid di belahan dunia lainnya.
“Kami mengajari mereka untuk bahagia, untuk menghargai orang lain dan dirinya sendiri,” ujar seorang guru matematika di negara yang terletak di wilayah Eropa Utara itu.
BACA JUGA:Punya Potensi Gigi Berlubang? Coba Lakukan 8 Cara Ini untuk Memulihkannya