Hardiknas: Saat Ki Hajar Dewantara Bermufakat tentang Kabar Kematiannya

Moh Habib Asyhad

Editor

Hari Pendidikan Nasional: Ki Hajar Dewantoro yang Menolak Jimat Eyangnya
Hari Pendidikan Nasional: Ki Hajar Dewantoro yang Menolak Jimat Eyangnya

Intisari-Online.com -Berbicara tentang Hari Pendidikan Nasional adalah berbicara tentang Ki Hajar Dewantoro alis Suryadi Suryaningrat. Melalui Taman Siswa-nya yang ia dirikan di tengah hegemoni sekolah kolonia, Ki Hajar dianggap sebagai pelopor pendidikan di Indonesia. Soal Ki Hajar, konon katanya ia pernah menolak jimat dari eyangnya.

(Baca juga: Hardiknas: Terlahir sebagai Raden Mas Suwardi Suryaningrat, dari Mana Nama Ki Hajar Dewantara?)

Ki Hajar dikenal sebagai sosok yang supel dalam pergaulan. Selain dengar rakyat jelata, ia juga dekat dengan beberapa tokoh nasional termasuk Presiden Soekarno.

Ki Hajar bahkan punya panggilan khusus kepada presiden pertama RI itu: Dimas. Sementara Sang Presiden memanggil Ki Hajar dengan Kang Mas. Beberapa kali bahkan suami Fatmawati ini membawakan oleh-oleh peyeum untuk anak Ki Hajar.

Penulis "Als ik een Nederlander was" ini juga sangat menggemari wayang. Meski demikian, ia bukan sosok yang percaya dengan klenik dan mistik. Soal mati dan hidup, ia tetap berpegang pada apa yang diyakininya.

(Baca juga: Hardiknas: Terkenal Lemah Lembut, Ki Hajar Dewantara Ternyata Pernah Bikin Merah Kuping Belanda)

Suatu ketika eyang Ki Hajar pernah memberinya sebuah jimat. Jimat itu memang diterima tapi ia sama sekali tidak percaya dengan khasiat jimat itu. Secara tidak langsung, ia menolak (keampuhan) jimat si eyang.

Menjelang rapat Ikada yang berlangsung beberapa menit saja itu, Ki Hajar pernah berpesan kepad A.G. Pringgodigdo supaya menyerahkan jimat itu kepada Soekarno. “Tolong ini berikan kepada Presiden, mudah-mudahan berfaedah. Saya tidak memerlukannya,” ujar Ki Hajar kepada laki-laki yang biasa ia panggil dengan Mas Gafur itu.

Seperti disebut di awal, ia begitu pasrah dengan takdir. Ia menghadapi penyakit yang menyerangnya di hari tua dengan tabah.

Kepada anak-anaknya yang berada di luar kota ia sempat berpesan: “Sejak sekarang kamu harus siap lahir-batin. Sewaktu-waktu, denyut nadiku akan berhenti untuk seterusnya. Oleh sebab itu, biasakanlah untuk mendengar acara Berita keluarga dari RRI Yogyakarta setiap jam delapan malam. Aku sudah bermufakat dengan ibumu bahwa berita kematianku nanti akan diberitakan lewat radio saja…” (Intisari, 2000)

Artikel Terkait