Advertorial
Intisari-Online.com -Semua orang tahu Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantoro adalah laki-laki dengan hati lembut.
Meski demikian, ia tak segan-segan untuk menghantam Pemerintah Kolonial Belanda. Sekitar 1910-an, ia pernah membuat merah kuping Pemerintah Belanda dengan pamflet satirnya ‘Als ik eens Nederlander was’ (Anda aku seorang Belanda).
(Baca juga: Hardiknas: Terlahir sebagai Raden Mas Suwardi Suryaningrat, dari Mana Nama Ki Hajar Dewantara?)
Tahun 1913 itu pemerintah kolonial hendak merayakan hari kemerdekaan Belanda dengan besar-besaran. Tahun itu adalah tepat seabad Belanda lepas dari penjajahan Perancis-nya Napoleon. Tak hanya oleh kalangan kolonialis, pemerintah berharap perayaan itu juga diikuti oleh seluruh warga Hindia Belanda (waktu itu belum ada Indonesia).
Usulan ini tentu saja membuat pemuda Suwardi Suryaningrat, yang waktu itu aktif di Indische Partij (IP), gerah. Menurut laki-laki yang waktu itu berusia 24 tahun itu, sangat tidak pantas Belanda merayakan hari kemerdekaannya di atas tanah jajahannya. Lebih lagi mereka mengajak serta Pribumi. Ia kemudian menulis pamflet galak itu.
(Baca juga: Hari Pendidikan Nasional: Ki Hajar Dewantoro yang Menolak Jimat Eyangnya)
Berikut beberapa penggalannya:
“…Seandainya aku orang Belanda, aku protes peringatan yang akan diadakan itu… Tapi aku bukan bangsa Belanda. Aku hanya putra bangsa kulit coklat warga negara jajahan Belanda. Karenanya, aku tidak protes… Sudah sebagai kewajibanku sebagai penduduk tanah jajahan Belanda untuk memperingati dengan sepenuhnya hari kemerdekaan Negeri Belanda, negara yang kami pertuan. Aku akan minta pada segenap kawan sebangsa dan sependuduk jajahan kerajaan Belanda untuk ikut merayakannya…
Dengan demikian, kami akan mengadakan ‘demonstrasi kesetiaan’. Alangkah besar hati dan gembiraku… Syukur alhamdulillah bahwa aku bukan orang Belanda…”
Reaksi Belanda atas pamflet itu pun tak kalah galaknya. Bersama dua rekannya, dr Cipto Mangunkusumo dan Deuwes Dekker, pada 13 September 1913, Ki Hajar Dewantoro dibuang ke Negeri Belanda selama hampir enam tahun. (Intisari, 1989)