Penulis
Intisari-Online.com – Tanah Papua tidak hanya dihuni oleh Suku Dani, Suku Asmat, dan masih banyak suku lainnya yang berjumlah sekitar 260-an suku yang mendiami pulau ini.
Salah satu suku asli yang mendiami Tanah Papua adalah suku Bauzi, disebut juga dengan Baudi, Bauri atau Bauji.
Namun, oleh lembaga misi dan bahasa Amerika Serikat, bernama Summber Institute of Linguistic (SIL), nama Suku Bauzi dimasukkan ke dalam daftar 14 suku paling terasing.
Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) Papua memasukkan suku Bauzi ini ke dalam daftar 20 suku terasing yang telah teridentifikasi.
Luasnya hutan belanjtara, pegununga, lembah, rawa, hingga sungai-sungai besar yang berkelok-kelok di sekitar kawasan Mamberamo membuat suku ini nyaris tidak bersentuhan langsung dengan peradaban modern.
Suku Bauzi, menurut sejarah penyebarannya, berasal dari Waropen utara, yang kemudian menyebar ke selatan danau Bira, Noiadi, dan tenggara Neao, dua daerah yang terletak di perbukitan Van Rees Mamberamo.
Suku Bauzi menyebar di sekitarnya karena memiliki kemampuan berpindah menggunakan perahu menyusuri sungai atau berjalan kaki.
Suku Bauzi memiliki jumlah penduduk hanya beberapa ribu jiwa, data yang terilis dari SIL pada tahun 1991 sekitar 1.500 jiwa, yang menyebar di bagian utara dan tengah wilayah Mamberamo.
Meskipun dipastikan telah bertambah setiap tahun, namun belum ada data resmi mengenai perkembangan mereka.
Begitu terisolirnya suku Bauzi dan tidak tersentuh kehidupan modern, sebagian laki-laki suku ini masih mengenakan cawat, yang berupa selembar daun atau kulit pohon yang telah dikeringkan lalu diikat dengan tali pada ujung alat kelamin, juga memasang hiasan berupa tulang pad lubang hidung.
Sementara, para wanita mengenakan selembar daun atau kulit kayu yang diikat dengan tali di pinggang untuk menutupi auratnya.
Namun, pada acara adat dan penyambutan tamu, kaum prianya mengenakan hiasan di kepala dari bulu kasuari dan mengoles tubuh dengan air sagu.
Suku ini hidup pada taraf meramu, berburu, dan semi nomaden atau berpindah-pindah, karenanya mereka membuat sejumlah peralatan seperti panah, tombak, parang, pisau belati, dan lain-lain untuk berburu.
Binatang hutan yang menjadi buruan mereka adalah babi, kasuari, kus-kus, dan burung, yang dimasak dengan cara dibakar atau bakar batu.
Suku Bauzi menokok sagu sebagai makanan pokok dan menanam umbi-umbian, sayangnya jarang mengonsumsi sayur-sayuran.
Tak heran, bila anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui suku Bauzi sering mengalami gejala kurang gizi dan anemia.
Tetapi, walaupun terbatas, mereka memiliki pengetahuan mengenai cara pengobatan alami dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan hutan (etno-medicine).
Dengan membangun bifak di pinggiran sungai dan hutan, mereka membantu proses perburuan, meramu, atau berkebun, dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan makanan dan kenyamanan suatu wilayah.
Sayangnya, mereka tidak mengenal cara bercocok tanam yang baik, maka dengan bantuan misionaris, mereka mulai sedikit mengenal cara-cara berkebun.
Di perkambungan kecil tempat bermukim, mereka membangun rumah-rumah gubuhk berdinding kulit kayu dan beratap daun rumbia (daun sagu) atau kulit pohon, yang dibuat berbentuk rumah panggung.
Tergolong suku terasing, tak heran bila sebagian besar suk Bauzi belum bisa berbahasa Indonesia, termasuk tidak bisa baca-tulis dan berhitung.
Komunikasi dilakukan secara lisan dengan menggunakan bahasa lokal.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari