Demikianlah, Raja Sunda Lingga Buana memberikan restunya dan menemani putrinya untuk dinikahkan di ibu kota Majapahit, Trowulan.
Ketika raja Sunda dan rombongan kerajaannya tiba di Majapahit pada tahun 1357, mereka disambut oleh Gajah Mada.
Alih-alih menjalin aliansi, perdana menteri yang ambisius itu melihat peristiwa itu sebagai kesempatan untuk menuntut penyerahan Sunda ke Majapahit.
Dia juga bersikeras bahwa sang putri harus disajikan sebagai selir, bukan menjadi ratu Majapahit.
Keluarga kerajaan Sunda marah dan menolak tuntutan tersebut, hingga mendorong Gajah Mada untuk meluncurkan pasukan Majapahit dengan rombongan kecil.
Meskipun menunjukkan keberanian besar dalam melawan Majapahit, keluarga kerajaan Sunda yang kalah jumlah dengan cepat dimusnahkan.
Bahkan Raja Lingga Buana sendiri terbunuh dalam pertempuran.
Cerita mengatakan bahwa Putri Dyah Pitaloka kemudian melakukan bunuh diri ritualistik untuk mempertahankan kehormatan kerajaannya, daripada hidup melalui penaklukan dan perbudakan.
Pertempuran ini kemudian akan dikenal sebagai Perang Bubat, dinamai dari alun-alun Bubat tempat pertempuran itu terjadi.
Kisah tersebut diturunkan dari generasi ke generasi, dan menciptakan ketegangan etnis antara Jawa dan Sunda dalam waktu yang lama.