Intisari-Online.com - Nama tersangka kasus pelecehan seksual terhadap 12 santriwati di Bandung, Jawa Barat, Herry Wirawan, masih menjadi pembicaraan.
Ini terkait dengan hukuman untuk guru pesantren bernama Herry Wirawan itu.
Kelakukan Herry Wirawan baru terungkap empat tahun setelah kejadian.
Mirisnya sebagian besar korban sudah hamil dan melahirkan anak.
Oleh karenanya, pihak berwajib menjerat Herry Wirawan dengan pasal berlapis dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara.
Namun sepertinya masyarakat Indonesia tidak puas dengan hukuman itu. Mereka menutut hukuman yang lebih berat.
Salah satunya hukuman kebiri.
Di Indonesia, hukuman kebiri belum atau jarang terjadi.
Akan tetapi sebenarnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) terkait kebiri.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan Seksual Terhadap Anak Beleid tersebut telah diteken Presiden Jokowi pada 7 Desember 2020.
Selanjutnya ada pasal terkait Perlindungan Anak jika korban masih di bawah umur.
Atau selain kebiri kimia, pelaku bisa dikenakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi.
Kebiri kimia adalah prosedur medis untuk menekan dorongan seksual dan menghentikan muncul kembali.
Kebiri kimia dilakukan dengan cara memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang.
Tujuannya agar produksi hormon testosteron di tubuh mereka berkurang.
Namun tidak semua orang menyetujui hukuman kebiri untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Salah satunya ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel.
Rez menyampaikan bahwa hukuman kebiri bukanlah tindakan yang tepat untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Dia punya alasan sendiri.
Pertama, suntik kebiri adalah memasukkan anti-androgen ke dalam tubuh. Akibatnya hasrat seksual melemah atau bahkan hilang sama sekali.
Akan tetapi perasaan-perasaan dendam, amarah, dan lain-lain justru bisa mengalami brutalisasi.
"Alih-alih menghentikan pelaku, justru membuat potensi kebahayaannya kian dahsyat," kata Reza kepada Kompas.com pada Senin (12/5/2014).
Aksi brutal yang dimaksud Reza adalah potensi bahaya dan intensitas perilaku kekerasan menjadi berlipat ganda.
Menurutnya, kebiri justru bisa membuat para pelaku mengembangkan cara-cara baru yang non-seksual untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatifnya.
Perasaan negatif itu seperti sakit hati, amarah, dan dendam, di mana semua perasaan itu sudah terbentuk sejak pelaku merasakan viktimisasi.
Nantinya perasaan-perasaan itu semakin buas.
Alih-alih hukuman kebiri, Reza lebih menyarankan hukuman yang lebih tepat.
Misalnya rajah di bagian tubuh terbuka, simbol khusus pada KTP, dan public notice dari polisi.
Jika masih belum bisa mengubah sikap pelaku, maka hukuman yang ideal bagi pelaku pelecehan seksual pada anak adalah hukuman mati.
"Idealnya, menurut saya, adalah hukuman mati," katanya