Moratorium tersebut hangus September tahun ini dan bisa dilanjutkan karena UU Cipta Kerja yang kontroversial.
Undang-undang itu memperbolehkan perusahaan yang telah beroperasi secara ilegal untuk mendaftarkan secara retroaktif untuk izin dalam 3 tahun dan keluar dari sanksi hukum jika mereka melakukannya.
Sementara itu, tanah Adat yang hendak 'dicuri' ini adalah milik suku Moi, salah satu dari 250 suku etnis Papua.
Mengikuti keputusan tersebut, advokat Moi dan kepala dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) di Sorong merayakan di depan kantor distrik daerah.
Ambrosisus Klagilit, koordinator advokat untuk cabang Sorong dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan ia "bersyukur" untuk kemenangan hukum tersebut.
"Keputusan ini penting bagi kami warga Adat karena kami yakin ini merupakan keputusan yang memastikan masa depan dan tanah kami. Kami merasa terlindungi sekarang," ujarnya dikutip dari Al Jazeera.
Total tanah yang dicakup tiga perusahaan itu membentang sebesar 90.031 hektar, menurut Greenpeace Indonesia, wilayah yang lebih besar daripada kota New York.
Oktober lalu, Greenpeace Indonesia merilis sebuah laporan dengan pakar pemetaan lingkungan TheTreeMap yang menemukan seperlima dari perkebunan kelapa sawit Indonesia berada di wilayah yang ilegal, termasuk tanah Adat, taman nasional, daerah aliran sungai (DAS) dan wilayah konservasi yang dirancang sebagai "hutan nasional".